“Belum siap-siap, Vin?” Aileen baru saja turun dan mendapati Ervin—adiknya—tengah meregangkan otot di teras dekat ruang makan.
“Masih pagi, Kak. Bentar lagi.”
“Mama mana, Vin?” tanya Aileen yang hanya melihat ART di ruang makan sedang menyiapkan sarapan mereka. Padahal biasanya mamanya hampir tidak pernah absen membantu menyiapkan sarapan.
“Ke sebelah tadi bilangnya.”
“Oooh.” Beberapa detik kemudian, Aileen baru sadar apa arti ucapan Ervin. “Maksudnya ke sebelah? Ke … tempat Tante Trias?”
“Iya, tumben-tumbenan kan.”
Aileen mendadak panik. Bergegas—bahkan hampir seperti berlari kecil—Aileen menyusul mamanya.
“Permisi, Pak. Saya—” Aileen berpikir sejenak saat menghadapi security di depan rumah Gama. Mengaku sebagai calon istri Gama mungkin bisa lebih mudah memberinya akses masuk, tapi bulu-bulu halus di belakang lehernya tiba-tiba saja meremang hanya sekadar membayangkan. “Saya tetangga sebelah. Mama saya lagi berkunjung ke Tante Trias. Saya mau ke dalam ketemu mama saya sama Tante Trias.”
Seingat Aileen, terakhir kali ia ke rumah Gama adalah saat SMP. Itu pun terpaksa. Gama sakit saat masa orientasi siswa dan karena mereka bertetangga, tanggung jawab mengantar Gama diserahkan kepadanya.
Baru kali ini lagi ia menginjakkan kaki di pelataran luas yang dihias rimbunnya pepohonan. Rumah Gama sebenarnya tidak kalah besar dibanding rumah keluarganya.
Sama-sama berasal dari kalangan old money, kakek Gama adalah salah satu pengusaha batu bara yang sukses pada zamannya. Karena itu mereka bisa tinggal di lingkungan yang eksklusif karena rumah yang ditinggali keluarga Aileen juga adalah peninggalan dari kakek buyutnya.
“Cari siapa, Neng?”
Aileen tersentak kaget, padahal tadi ia sedang asik memperhatikan kandang burung di samping rumah. “Eh, itu … saya cari mama saya, tetangga sebelah.”
“Oh, Bu Rhea. Anaknya Bu Rhea ya? Ada di dalam, Neng.”
Aileen mengekori ke mana langkah wanita paruh baya yang ia perkirakan sebagai ART di rumah Gama itu melangkah.
“Permisi, Bu Rhea, disusul anaknya,” lapor ART itu kepada dua orang wanita yang sedang duduk santai di ruang makan rumah itu.
“Nah, ini dia yang dari tadi kita omongin, Mbak.” Rhea berdiri, menarik tangan anaknya dan mengajak Aileen mendekat. “Minta maaf sama ibunya Gama!” perintah Rhea yang jelas tidak bisa lagi ditawar Aileen.
“Tante, yang semalam, aku minta maaf—”
“Nggak apa-apa, Leen. Nggak apa-apa. Beneran. Mending kamu panggilin Gama di atas. Harusnya dia udah siap sih, tapi belum turun. Pintu pertama sebelah kiri ya.”
“Eh? Aku, Tante?”
“Tolongin Tante ya.”
Aileen melirik kepada mamanya seakan minta persetujuan. Kalau mamanya menggeleng, ia tidak akan berani naik ke kamar Gama. Namun mamanya malah mengangguk dan kembali duduk bercengkerama dengan ibu Gama.
Terpaksa Aileen melangkahkan kakinya perlahan sambil mengedarkan pandangan, memperhatikan seisi rumah Gama. Setibanya di anak tangga teratas, Aileen langsung menuju pintu pertama di sisi kiri, seperti tadi diarahkan.
Aileen terdiam, meragu sejenak di depan pintu berwarna coklat tua.
“Udahlah! Nggak usah berisik!”
Samar-samar Aileen mendengar suara Gama yang agak keras.
“Aku bakal nikah sama dia! Ok?”
Aileen mengernyitkan kening dengan bingung. Dengan siapa Gama bicara sampai seperti orang kesal di pagi hari? Aileen maju selangkah, bukan berniat tidak sopan, tetapi ia penasaran dan ingin mendengar percakapan Gama dengan lebih jelas, apalagi Gama sedang berbicara tentang pernikahan mereka.
Namun sayangnya … pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka, dan sosok Gama muncul di hadapannya dengan tangan memegang ponsel yang dirapatkan ke telinga.
“Aileen?” Tanpa berpamitan dengan orang yang sedang berada di sambungan telepon dengannya, Gama memutus sambungan telepon tersebut begitu saja. “Kamu … ngapain di sini?” tanya Gama sambil berusaha menormalkan suaranya yang mungkin terdengar seperti orang gugup.
“Disuruh ibu kamu buat manggil kamu turun.”
“Hah?”
“Dipanggil Tante Trias. Ayo ah, turun.”
Gama tersenyum tengil, bukannya menuruti Aileen, ia malah menarik tangan Aileen untuk ikut masuk ke kamarnya.
“Ngapain sih, Gam? Ada mamaku juga di bawah.”
“Santai aja, Leen. Mau liat-liat kamarku yang juga jadi calon kamarmu nggak?”
“Nggak,” jawab Aileen pelan, tetapi matanya—yang sejak tadi memang sudah menyisir kamar Gama—tidak mampu untuk berbohong.
“Sini deh, aku tunjukin sesuatu.” Gama menarik tangan Aileen, mengajaknya ke rak buku yang mengakuisisi satu sisi dinding kamar.
“Kamu suka baca?” tanya Aileen penasaran melihat banyaknya buku di kamar Gama dan anehnya, buku-buku di sana tidak hanya terdiri dari satu bidang. Mulai dari psikologi, kedokteran, ekonomi, bidang-bidang lain, hingga buku humor/komedi tersimpan rapi di rak buku setinggi langit-langit kamar itu.
“Hm. Aku nggak mau film yang kubikin cacat logika. Jadi ya paling nggak wawasanku harus luas. Sebagian lagi aku baca waktu aku lagi ngerjain film dengan latar cerita tentang itu. Kayak waktu aku ngangkat cerita tentang bipolar, aku mesti banyak baca buku tentang penyakit itu, selain konsultasi sama psikolog profesional.”
Aileen tidak memberikan respon apa pun. Ia tidak mau terlihat kagum dengan cerita Gama. Jadi, ia memilih mengambil satu buku sebagai pengalih perhatiannya.
“Aku boleh pinjem novel ini nggak?” tanya Aileen begitu menemukan pilihannya.
“Dasar anak hukum.”
Aileen mulai membuka novel di tangannya. Novel berjudul The Testament itu adalah karangan John Grisham, bercerita tentang surat wasiat, sesuai judulnya. “Justru di antara semua novelnya John Grisham, ini yang paling nggak terlalu berbau hukum, alurnya enak dibaca. Belum baca ya?” selidik Aileen.
“Nggak semua buku di sini udah kubaca, Leen. Waktuku nggak selowong itu. Kadang aku beli aja dulu, ntar kalo ada waktu baru kubaca. Atau baru baca beberapa halaman tapi udah nggak tertarik.”
“Ini … nggak apa-apa aku pinjem dulu meskipun kamu belum baca?”
“Kalo ke orang lain sih nggak bakal kuizinin. Tapi karena buat calon istri, boleh.”
Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas selagi Gama mengambil sesuatu dari bagian rak yang cukup tinggi.
“Foto kita waktu kecil, waktu kamu belum musuhin aku.”
Setelah mengambil satu album foto dari Gama, Aileen duduk di bean bag yang tidak jauh dari rak buku. Baru foto pertama yang terlihat, Aileen sudah menahan tawanya.
“Itu waktu kita piknik di Ragunan,” terang Gama.
“Iya, inget.” Aileen meilirik Gama versi dewasa yang sekarang duduk di lantai, tepat di sampingnya. Andai Gama tidak lebih segala-galanya dibanding dirinya, mungkin mereka akan tetap berteman. “Gama. Sampe sekarang aku masih sama, aku nggak gampang ngalah.”
“I know. Aku juga sama. Tapi ayo kita coba, sedikiiit aja, aku coba turunin egoku, kamu turunin ego kamu.”
“Kalo nggak bisa—”
“Kita mulai dari nanti malem. Kamu makan malem di sini ya. Ayah sama Kak Beta mau makan malam di sini. Jangan pake baju yang aneh-aneh kayak semalem ya. Kak Beta rese.”
“Rese mana dibanding kamu?”
“Rese aku dikit. Banyakan dia,” jawab Gama sambil terkekeh.
“Resenya gimana sih?”
“Liat aja nanti. Pokoknya jangan terlalu dimasukin hati kalau dia ngomong yang nggak ngenakin.”
Aileen mengangguk-angguk. Pada dasarnya ia bukan orang yang gampang ditindas, jadi ia tidak terlalu memikirkan seperti apa nanti perlakuan kakak kedua Gama kepadanya. “Btw, Gam. Tadi kayaknya kamu ngegas ditelepon? Ada masalah?”
Gama terkesiap beberapa detik sebelum menggeleng. “Biasa, kerjaan.”
Aileen tidak bertanya lebih jauh, meskipun tahu kalau Gama sedang berbohong.