“Aku waktu itu lagi kehilangan arah. Bukan berarti kamu bisa macem-macem lagi ke aku. Kamu … mesti tau batasnya.”
“Right. I’m sorry. Kupikir kamu lagi marah banget dan perlu ditenangin lagi.” Gama mundur, demi menjaga kewarasan otaknya.
Namun, karena Gama tidak menjawab pertanyaannya tadi dan malah mempertahankan senyuman tengilnya, Aileen jadi ingin mencekik leher Gama.
“Udah kan? Udah liat ruang kerjaku? Sana, pulang!”
Bukannya menuruti perkataan Aileen, Gama memilih melemparkan diri ke sofa yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Aku lagi nggak ada kerjaan. Ibu nggak ada di rumah. Di apartemen sendirian. Bosen, Leen. Kamu kerja aja, aku nggak bakal ganggu.”
“Mana ada orang kerja ditontonin?”
“Nanti kalo aku lagi kerja, kamu boleh kok nontonin aku kerja,” balas Gama tidak ingin kalah.
Aileen menggeleng pasrah. “Mau minum apa?”
“Kamu duduk sini aja. Aku nggak haus.” Gama menepuk sisi sofa yang kosong di sampingnya. “Ada yang perlu aku omongin.”
“Tadi katanya disuruh kerja, sekarang diajakin ngomong,” gerutu Aileen. Meskipun begitu, ia akhirnya duduk di samping Gama, memberi jarak tidak kurang dari satu jengkal agar tidak terlalu dekat dengan Gama.
“Cari cincin yuk, Leen.”
“Hah? Buat apa?”
“Buat cincin nikah lah. Orang tuamu kan udah ok.”
“Tapi kan orang tuamu belum.”
Setelah menghela napas panjang, Gama bangkit dari duduknya. “Nanti malem kamu ada acara nggak?”
Aileen menggeleng, ia memang belakangan ini meminta sekretarisnya agar mengurangi waktunya meeting terutama di luar jam kerja. Dia perlu waktu untuk sendiri. Bagaimana pun juga dia tetaplah seorang wanita yang perasaannya hancur setelah melihat perselingkuhan sang kekasih.
“Ketemu Ibu nanti malem aja ya. Kelamaan kalo nunggu sampe weekend. Nanti aku jemput ke sini lagi. Kita dinner di luar aja. Karena dadakan, nanti Ibu panik, bingung nyiapin apa kalau aku ngabarin jam segini.”
Aileen hanya bisa mengerjap pelan dan terdiam, bahkan sampai Gama pamit dan menghilang di balik pintu ruang kerjanya.
***
“Kamu itu … sebenernya mau maju apa nggak sih?” Vania memperhatikan penampilan atasan sekaligus teman dekatnya itu dari atas ke bawah. Calon mertua mana yang akan mau menerima kalau Aileen berpenampilan seperti itu. “Laki-laki tadi bukannya seserius itu sampe langsung mau ngajak kamu dinner sama ibunya?”
Aileen mematut diri di depan kaca. Powder room di dalam ruang kerjanya memang cukup nyaman untuknya bersiap menghadiri sebuah acara, baik acara formal maupun acara hura-hura. Dan malam ini, alih-alih mengenakan pakaian formal, ia malah mengenakan dress berwarna gold yang membalut tubuhnya dengan ketat. Belum lagi panjang dress-nya itu di atas lutut dengan belahan hingga setengah paha.
“Ini … kayak mau ke club, Leen. Gimana kalo ibunya bakal nolak kamu?”
“Good then.”
Vania menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Menurutnya, sungguh tidak adil bagi Gama yang sudah menawarkan diri untuk membantu Aileen—meskipun dengan cara yang paling absurd sekalipun, yaitu dengan menawarkan sebuah pernikahan—namun Aileen malah maju mundur dengan rencana itu.
“Lift direksi udah di-locked?” tanya Aileen memastikan. Ia tidak mungkin kan turun dengan pakaian seperti itu? Kalau pegawai di perusahaannya melihat, bisa-bisa ia jadi headline di semua chat group yang ada di perusahaannya.
“Udah. Beneran kamu nggak mau ganti … dengan yang lebih proper?”
“Kenapa sih? Biarin aja mereka nilai aku apa adanya.”
“Tapi ini bukan apa adanya kamu. Ini justru—”
“Vania … udah deh, jangan ngomel kayak mamaku. Malam ini, aku bakal bener-bener mempertimbangkan semuanya. Dari gimana sikap Gama dan ibunya ke aku. Toh aku udah skeptis sama yang namanya cinta. Love my ass! Asal aku diperlakukan dengan baik dan nggak dihianati aja rasanya udah cukup.”
***
Aileen tiba di basement tepat saat Gama memasuki area parkir basement. Memang di situlah Aileen meminta Gama menjemputnya, bukan di area drop off lobby seperti biasa.
“Kita dinner di mana?” tanya Aileen setelah masuk ke dalam mobil Gama dan mulai menautkan seatbelt. “Kamu nggak jemput Tante Trias dulu?”
Hening.
Menyadari tidak ada sahutan dari Gama untuk beberapa saat, Aileen menoleh dan mendapati Gama yang hanya menatapnya tanpa berkedip. Oh damn it! Aileen lupa kalau ia berhadapan dengan laki-laki yang berhasil sekali mencuri ciuman darinya dan hampir berhasil sekali lagi melakukannya—andai saja ia tidak buru-buru mengembalikan akal sehatnya.
“Ibu nanti dianter sopir ke restoran.” Sambil menjawab, tangan Gama bergerak cepat mengecilkan suhu AC mobil, lantas mengambil jaketnya yang ada di kursi belakang. “Jangan sampe masuk angin sebelum makan malam,” ucapnya tanpa berani melihat kembali ke arah Aileen.
Aileen lantas menutupi pahanya yang sedikit tersingkap dengan jaket yang baru saja diangsurkan Gama. “Bajuku terlalu terbuka ya?”
“Kenapa nggak pake baju kerja tadi aja?” Gama memilih melemparkan pertanyaan alih-alih menjawab.
“Gerah. Kenapa? Kamu nggak suka aku pake ini?”
“Nggak apa-apa,” jawab Gama sembari menggeleng. Nanti ia akan berbisik kepada ibunya kalau mereka akan lanjut ke club setelah makan malam, andai saja ibunya terlihat tidak menyukai pakaian yang dikenakan Aileen.
Aileen hanya mengedikkan bahu dan selanjutnya memilih menjaga ketenangan di dalam mobil sampai mereka tiba di restoran yang terletak tidak jauh dari kantornya.
“Kamu nggak bawa sweater, cardigan, bolero, atau apa pun itu yang bisa bikin kamu nggak kedinginan, Leen?” Gama tadinya mencoba mengabaikan pakaian Aileen, tapi beda cerita begitu mereka telah turun dari mobil dan beberapa orang mulai menatap Aileen.
“Nggak bawa,” jawab Aileen santai.
Gama menarik tangan Aileen, memintanya berhenti sebentar selagi ia kembali ke mobil dan mengambil jaket yang tadi ditinggalkan Aileen.
“Pake ini.”
“Apaan sih, Gam? Nggak matching tau.”
“Pernah masuk angin nggak? Siapa yang peduli sama mix and match kalo nanti kamu berpotensi minta kerokan ke Bibi?” Itu alasan yang menurut Gama paling masuk akal untuk diterima Aileen, karena ia tahu Aileen bukan orang yang bisa disetir apalagi untuk urusan semacam pakaian.
“Gama!”
“Ssst!” Tanpa mendebat Aileen lagi, kedua tangan Gama melingkari pundak Aileen, mengajaknya masuk ke restoran.
“Bu. Udah lama, Bu? Belum kan?”
Sosok wanita yang disapa Gama langsung menoleh.
“Tadi siang aku udah ketemu sama Kak Alfa. Tadinya mau ngnalin ke Ibu pas weekend, tapi kelamaan kayaknya,” celoteh Gama tanpa sadar kalau ibunya sedang berdiri, membeku menatap Aileen.
“Malam, Tante.” Aileen tersenyum lebar, merasa usahanya untuk menggagalkan pernikahan mereka akhirnya berhasil. Ibu Gama pasti berat menyetujui pernikahan mereka karena ia berani mengenakan pakaian terbuka di pertemuan ‘pertama’ Gama memperkenalkannya sebagai calon istri.
Trias akhirnya sadar siapa sosok perempuan yang akan dikenalkan anak bungsunya sebagai calon istri. “Aileen?”