Erik benar-benar membawaku ke masa lalu. Kini mobilnya berhenti di depan warung kopi yang ada bagian depan kampus kami dulu. Aku menoleh menatapnya yang mengulas senyum ke arahku.
''Ayo kita sarapan dulu,'' ujar Erik keluar duluan.
Meskipun aku ingin bertanya-tanya tentang alasan dia membawaku ke mari, tetapi tidak jadi begitu aroma roti terpanggang menyeruak masuk ke hidungku.
Aku tersenyum tanpa sadar. Ingatan masa lalu seolah kembali menyeretku kembali masuk ke masa ketika aku masih kuliah dulu. Tiba-tiba kurasakan tangan Erik menggenggam tanganku.
''Kami pesan dua roti panggang isian keju dan cokelat. Satu es teh hangat dan satunya lagi kopi hitam panas,'' ujar Erik menjelaskan pesanannya. Ia kemudian menuntunku untuk duduk di salah satu bangku pojok yang menghadap ke jendela.
Suasana warung cukup ramai. Wajar saja, pagi hari sebagian di dominasi oleh mahasiswa laki-laki yang butuh ngopi. Aku melirik Erik yang sudah duduk di sebelahku.
''Kenapa harus di sini?''
Akhirnya aku bersuara tentang pemilihan tempat ini kepada Erik. Kulihat ia hanya mengulas senyum sambil menggeleng pelan.
''Entahlah, mungkin karena pertama kali kita bertemu di sini?'' ujarnya tidak yakin.
Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Melihat ke luar jendela samping warung yang mengarah ke bangunan asrama kampus khusus laki-laki. Aku bisa mengingat dengan jelas bahwa di tempat aku duduk sekarang ini adalah tempat di mana aku dan Erik bertemu untuk pertama kalinya.
Warung ini sudah menjadi favorit Erik sejak kuliah. Semenjak sudah semester tiga, aku jadi sering ke sini. Bukan untuk ngopi atau sekadar membeli roti panggang, karena itu juga sudah ada di kantin fakultasku. Aku ke mari untuk menemui senior Unit Kegiatan Mahasiswa atau biasa disebut UKM yang kumasuki yaitu Kak Ferdi, koordinator bagian hubungan masyarakat atau humas.
Sebagai anggota bagian humas, aku selalu mencari Kak Ferdi setiap akan diadakannya acara. Yang secara kebetulan Kak Ferdi sangat menyukai untuk nongkrong di warung ini juga.
Ingatanku ambyar begitu roti panggang tersaji di depanku. Erik dengan sigap langsung memotong roti rasa keju da memberinya kepadaku. Rasa keju, rasa favoritku.
''Terima kasih,'' ujarku sedikit tersipu.
Erik sendiri lebih menyukai roti panggang rasa cokelat yang dinilainya sangat cocok dengan kopi hitam yang rasanya pahit. Dan pagi ini haus kuakui bahwa aku senang Erik membawaku ke tempat ini. Setelah kami resmi jadian, warung ini menjadi salah satu tempat favorit kami betemu apabila ada waktu senggang selepas jeda jam mata kuliah.
Setelah sarapan pagi, Erik kembali menjalankan mobilnya. Pikiranku tidka henti-henti mengira-ngira tentang tujuan selanjutnya. Ada puluhan tempat yang dulu kami datangi bersama. Nostalgia hari ini sungguh membuat hatiku mulai bimbang.
Aku mengernyit menyadari bahwa mobil Erik tidak meninggalkan kampus. Ia malah memarkir mobil di sekitaran gedung perpustakaan yang tersambung oleh bangunan gedung perkuliahan umum.
Aku menoleh menatap Erik bingung. ''Kenapa di sini? Kita tidak akan masuk peprustakaan untuk membaca bukan?''
Erik terkekeh sejenak. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah tiket pentas seni. Aku kemudian memutar kepalaku dan menemukan Gedung Utomo yang merupakan salah satu gedung terbesar yang ada di kampus ini.
Biasanya Gedung Utomo dipakai untuk acara wisuda yang mampu menampung hingga lima ribu orang. Acara seminar, workshop hingga pentas seni juga sering disewa oleh pihak penyelenggara kepada pihak kampus. Selain itu biasa acara inagurasi....
''Kau?'' tunjukku menyadari sesuatu.
Erik tersenyum tipis. ''Kau paham bukan? Ayo keluar.''
Aku tidak bisa berkata apapun saat ini. Gedung Utomo adalah tempat acara inagurasi juniorku sewaktu aku masih semester tiga. Pada lantai yang kuinjak inilah menjadi saksi bisu, bagimana Erik menyatakan perasaannya kepadaku.
''Kau benar-benar akan masuk?'' tanyaku ketika kami berdua mulai mengantri masuk ke dalam gedung.
''Acaranya menarik. Teater yang menceritakan sepasang kekasih yang mengalami kisah tragis,'' balas Erik tersenyum.
Begitu aku amsuk ke dalam gedung, tidak banyak yang berubah secara interior. Bahkan tempa duduknya masih tersusun secara tribun. Aku dan Erik memilih bagian tengah yang sangat pas untuk menonton pertunjukkan di atas panggung.
Seperti ucapan Erik, teater yang dipentaskan sungguh menakjubkan. Suasana yang gelap dengan penerangan remang serta alunan musik instrumental membuat seisi gedung larut akan pertunjukkan.
''Jika memang ini yang terbaik, maka biarkan kau menikah dengannya,'' ujar pemeran wanita kepada pemeran pria.
''Tidak! Aku akan meninggalkan keluargaku demi bersamamu,'' sanggah pemeran pria mendekati pemeran wanita.
''Janganlah kau begini. Aku mencintaimu bukan untuk mendapat kebencian lain, apalagi dari keluargamu sendiri.''
Pemeran wanita mundur selangkah lalu mengangkat sebelah tangannya agar pemeran pria tidak berjalan ke arahnya lagi.
''Tetapi sungguh, hanya kau yang kucintai.''
''Cinta tak harus memiliki, kurasa hal itu benar.''
Usai mengatakan hal tersebut, pemeran wanita pergi dan meninggalkan pemeran pria yang kini terduduk sambil tertunduk dengan sebelah tangannya menutupi wajahnya, menyembunyikan matanya yang mulai mengeluarkan air mata.
Aku terdiam di tengah tepuk tangan dari penonton begitu pertunjukkan selesai, lampu dalam gedung kembali dinyalakan dan seluruh pemain dan orang-orang yang bekerja dibalik layar naik ke panggung untuk mengucapkan sepatah kata dan rasa terima kasih.
''Benar-benar tragis bukan?'' ujarku menoleh ke Erik.
Erik ikut menoleh menatapku. ''Aku tidak tahu bahwa ceritanya akan seperti itu. Temanku memiliki adik yang memberinya tiket lalu menyodorkannya padaku. Aku kira akan menyenangkan menonton ini bersamamu.''
''Ini ceritanya tergolong mainstream. Banyak film atau novel yang mengangkatnya. Tetapi kau tahu apa yang membuatnya tragis?'' ujarku menatap lekat Erik.
Kulihat mata Erik berkedip dan wajahnya menegang seolah tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya.
''Ini tragis, karena ceritanya begitu nyata bagiku,'' lanjutku lalu menghela napas panjang.
''Jadi menurutmu apakah pilihan pemeran wanitanya sudah tepat? Meninggalkan pria yang juga dicintainya demi menjaga hubungan pria dengan keluarganya?'' tanya Erik.
''Norma. Penulis memberikan akhir yang tragis, namun tetap manusiawi untuk mencegah pandangan bahwa cinta antar lawan jenis adalah hal yang selalu harus jadi prioritas. Padahal masih ada keluarga yang tidak kalah dalam memberikan sesuatu perihal cinta,'' balasku lalu kembali menatap ke depan.
''Tetapi terkadang cinta juga bisa egois. Kenapa harus mengalah untuk kebahagiaan diri sendiri?''
Aku menoleh menatap Erik yang sedikit terkejut dengan kalimatku yang terakhir. Dia kemudian menunduk sejenak seraya berpikir.
''Bella, jika kau adalah wanita itu, apakah kau akan pergi atau memperjuangkan kisah cintamu?''
''Tanyakan nanti ketika hari ini telah selesai. Ketika langit sudah terang oleh bintang dan bulan.''
Selanjutnya aku dan Erik memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran yang menyajikan pizza. Sekali lagi tentang nostalgia masa lalu, kami sewaktu kuliah dulu adalah penggemar berat makanan yang berasal dari Itali tersebut. Hampir setiap berkencan akan selalu mampir untuk memakan pizza dengan ukuran reguler dan tidak ada yang paling cocok selain minuman bersoda untuk menjadi teman makan.
''Kau masih sering ke tempat seperti ini?'' tanya Erik yang duduk di depanku.
Aku menggeleng pelan. ''Aku mulai membatasi jenis makanan yang masuk ke tubuhku. Makanan cepat saji, sudah kukurangi juga.''
''Aku masih sering,'' balas Erik tertunduk.
Aku menahan napas mendengarnya berkata seperti itu. Dan kurang lebih sejam kemudian kami menikmati pizza yang memang sudah lama tidak kucicipi. Selain itu banyak obrolan seputar masa lalu yang membuatku lupa sejenak kalau Erik adalah tunangan Mbak Tiara.
Matahari sudah mulai kembali keparduan ketika Erik membawaku ke suatu tempat yang tidak asing. Tetapi bukan juga bagian dari nostalgia kampus. Festival yang kemarin kudatangi bersama Mbak Kania. Sekarang Erik yang membawaku ke sana lagi.
''Akan ada pertunjukkan kembang api,'' ujar Erik membuatku terhenyak.
Belum berakhir nostalgia hari ini. Kembang api. Bersinar riuh dalam kegelapan. Aku masih ingat betul, bagaimana terakhir kali aku bertemu dengan Erik, ketika hari itu dia mengajakku menonton perunjukkan kembang api spesial pergantian tahun. Namun dia tidak kunjung datang dan mulai menghilang....
Erik menggenggam tanganku melewati kerumunan orang yang semakin ramai. Semuanya berkumpul di pinggir pantai untuk melihat pertunjukkan. Genggaman Erik semakin erat kala mulai merasa terdorong oleh orang sekitar, bahkan sebelah tangannya juga merangkulku.
Tepat pukul sembilan malam, letusan pertama mulai terdengar. Aku menengadah ke atas dan melihat semburan cahaya kembang api.
Sebelum aku menoleh untuk memuji betapa indahnya kembang api tersebut, kurasakan Erik menyelipkan secarik kertas pada tanganku.
''Aku akan mendengar jawabanmu di tempat yang kutulis di sini, tetang bagaimana pilihanmu jika menjadi pemeran wanita dalam teater tadi. Temui aku untuk jawabannya atau cukup kirim pesan saja. Semua terserah padamu,'' ujar Erik berbisik tepat di telingaku.
Aku menarik napas dalam mendengarnya.
''Sekarang nikmatilah pertunjukkan kembang api ini sendirian lagi. Lain kali kita akan menonton bersamanya lagi,'' lanjut Erik lalu kurasakan tangannya mulai melepas tanganku dan kusadari bahwa dia telah berjalan mundur dan mungkin mulai menghilang dari kerumunan. Menghilang sekali lagi.
***