Hari yang ditunggu-tunggu oleh Aldy pun akhirnya tiba. Hari dimana Maureen akhirnya bisa pulang. Dengan segelas kopi hitam ditemani sebatang rokok yang telah dihisapnya lebih dari setengah, Aldy duduk di salah satu dari dua kursi yang ada di balkon lantai dua.
Wajahnya terlihat kelelahan karena tadi malam ia benar-benar baru selesai mendekor kamar Maureen sesuai permintaan adik kesayangannya itu. Bukan hanya dekorasi kamar, tapi ia sendiri juga yang menyusun barang-barang dari kamar Maureen yang lama di rumah lamanya dengan mendiang ibunya. Walau ada beberapa barang yang Aldy pilah dan simpan di gudang.
Dan karena hari ini adalah hari Minggu, ia tak keberatan tidak tidur semalaman karena tak perlu khawatir akan mengantuk di kelas. Dan juga, Maureen dijadwalkan bisa keluar dari rumah sakit jam delapan pagi. Jadi, Aldy memilih untuk menahan kantuk dan lelahnya sedikit lagi sampai Maureen pulang.
Pintu gerbang dibuka oleh satpam pribadi rumah mereka, dan mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi Heri pun melintas masuk ke dalam pekarangan depan rumah yang cukup luas itu hingga berhenti tepat di depan pintu utama.
Sang supir membukakan pintu untuk Heri dan Maureen lalu membuka bagasi untuk membawa barang-barang Maureen dari rumah sakit.
"Gimana, Maureen suka sama rumah Papah?"
Maureen mengangguk sambil tersenyum kepada ayahnya. Maureen memang terbiasa memanggil Heri dengan sebutan Papah, sementara Aldy dengan sebutan Ayah.
Mereka berdua berjalan masuk melalui pintu utama. Langkah Maureen terhenti berkat keindahan yang tersaji di depan matanya. Perlahan melanjutkan langkah kakinya dari ruang tamu menuju ruang tengah. Mata gadis itu masih saja melihat ke sekeliling. Rumah yang akan ia tinggali saat ini jauh berbeda dengan rumah lamanya yang tergolong lumayan sederhana.
Namun yang dicari oleh kedua mata Maureen bukanlah barang-barang mewah yang sedari tadi menghiasi pandangannya, melainkan keberadaan seseorang yang sangat ingin ditemuinya lebih dari siapapun.
Dan orang itu sudah berdiri di pinggiran lantai dua, menatap ke bawah di mana Maureen menatapnya balik.
Saat pandangan mata mereka berdua bertemu, Maureen benar-benar tidak bisa menahan rasa bahagianya. Hal itu terlihat jelas dari ekspresi yang Maureen tunjukkan.
Aldy, lelaki yang juga menunggu kepulangan Maureen menyajikan senyuman kepadanya dari lantai atas.
Namun senyumannya malah dibalas cemberut oleh Maureen, membuat Aldy mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan maksud Maureen.
"Iih Kak Aldy, sini cepet turun!" pinta Maureen dengan aksen manja yang khas.
Aldy yang mendengar itu terkekeh pelan dan menuruti permintaan Maureen. Ia melangkah menuruni tangga hingga sampai tepat di hadapan Maureen. Tanpa peringatan terlebih dahulu, Maureen menerjang ke arah Aldy dan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aldy dan menyandarkan kepalanya ke dada Aldy.
Heri yang berdiri tepat di dekat mereka hanya bisa tersenyum melihat tingkah Maureen yang kelewat manja dengan Aldy.
Aldy masih tak mengerti maksud dari pelukan Maureen yang sangat tiba-tiba itu. "Ada apa? Lo pusing lagi?"
Maureen menggeleng menanggapi pertanyaan Aldy. "Kangen."
"Baru juga dua hari ga ketemu."
Maureen tak menanggapinya. Heri pun meraih kepala Maureen dan mengelusnya dengan lembut. "Udah, jangan terlalu manja gitu sama kakakmu, udah gede juga."
Aldy tersenyum ke arah Heri. "Gapapa, yah. Aldy juga ga keberatan kok."
"Ya udah kalo gitu, papah mau ganti baju dulu. Selesai kalian kangen-kangenan, papah tunggu di meja makan ya." ucap Heri yang mengecup kepala Maureen sekilas lalu berjalan meninggalkan mereka berdua.
Aldy mengarahkan pandangannya pada si supir yang membawa koper kecil berisikan barang-barang Maureen dari rumah sakit. "Taro aja di situ, nanti gue yang bawa."
Si supir mematuhinya dan meninggalkan koper kecil milik Maureen di lantai dan berbalik melangkahkan kakinya berjalan keluar.
Perhatian Aldy kini kembali kepada Maureen. "Jangan kelamaan meluknya, gue belom mandi loh."
Maureen sedikit menjauhkan wajahnya dari dada Aldy dan mendongak. "Ih, jorok!"
"Lagian lo ga nanya dulu."
Maureen mengerucutkan bibirnya, "Ya masa aku nanya Kak Aldy udah mandi apa belom, gitu?"
"Ngomong-ngomong, kamar lo udah selesai gue dekor. Mau liat?" tanya Aldy yang masih dipeluk oleh Maureen. Maureen mengangguk antusias, namun masih tidak melepaskan pelukannya di pinggang Aldy. "Ya udah lepasin dulu."
Maureen menggeleng sambil mengeratkan pelukan tangannya di pinggang Aldy. Tingkah Maureen memang kadang merepotkan kalau sedang manja seperti ini. Tapi entah mengapa, Aldy merasa tak keberatan sama sekali. Malahan, dia malah menyukainya saat Maureen sedang manja seperti ini. Baginya, Maureen sangat menggemaskan.
Terlepas dari umur mereka yang hanya berbeda setahun, walau jika Maureen sudah masuk sekolah nanti, Aldy akan berada di kelas tiga sementara Maureen harus mengulang di kelas satu.
Aldy yang sudah menyerah meminta Maureen melepaskan pelukannya akhirnya memutuskan untuk mengambil koper Maureen dan berjalan menaiki tangga ke lantai atas, sementara Maureen masih memeluknya dari belakang.
Satu tangan Aldy memegang koper, sedangkan satunya lagi memegang tangan Maureen yang melingkar di pinggangnya, menjaganya agar tidak terjatuh di tangga.
Hingga mereka sampai di depan kamar Maureen. Di situ Maureen baru melepaskan pelukannya dari tubuh Aldy dan menghambur ke dalam kamar barunya. Tentu saja ia merasa senang, karena kamarnya kali ini tiga kali lebih luas dari kamarnya yang dulu, terlebih dekorasinya yang didominasi oleh warna light-pink dan putih yang merupakan dua warna kesukaannya benar-benar memanjakan mata gadis itu.
Aldy puas melihat raut wajah bahagia Maureen berkat kerja kerasnya selama beberapa hari belakangan ini.
Aldy menaruh koper di tangannya di sebelah lemari dan berjalan keluar. "Kalo gitu, puas-puasin dulu sama kamar baru lo. Gue mau mandi."
"Okey!" balas Maureen riang yang masih asyik memandangi kamarnya.
***
Di bawah guyuran shower, Aldy membasuh seluruh tubuhnya dari busa sabun dan shampoo yang mengalir menuruni hingga ke lantai. Ia sebenarnya tahu bahwa mandi pagi setelah tidak tidur semalaman tidak baik bagi kesehatannya. Tapi ia tak begitu memperdulikannya. Lagi pula, tidak setiap hari juga ia melakukan hal ini.
Perlahan telapaknya mengusap seluruh lekukan tubuh yang dipenuhi oleh otot-otot yang bukan tergolong otot yang besar namun terlihat sangat keras itu, begitu pas dengan proporsi tubuhnya dengan beberapa urat yang menyembul dari puncak otot-ototnya. Benar-benar menandakan otot yang terbentuk karena stamina, bukan berkat bantuan alat-alat yang tersedia di gym.
Di bawah guyuran aliran air dari shower yang berada di atas kepalanya, Aldy terdiam memikirkan semua yang telah ia lalui sejauh ini. Dengan mengalahkan puluhan orang dari sekolah lain saat terakhir kali, sepertinya tujuannya sudah tercapai dengan menjadikan lingkungan sekolahnya sebagai lingkungan yang cukup aman bagi Maureen untuk bersekolah di sana.
SMAS Caius Ballad sudah menjadi sekolah yang tak berani diusik oleh geng-geng sekolah lain. Jadi Aldy tak perlu khawatir dengan masalah keamanan.
Dan tugasnya setelah ini tinggal bagaimana ia menjadi sosok seorang kakak yang baik bagi Maureen.
Aldy memutar keran shower untuk mematikan aliran airnya, mengambil handuk putih untuk mengeringkan tubuhnya dan melingkarkan handuk itu di pinggangnya yang menutupi hingga sebagian pahanya.
Aldy membuka pintu kamar mandi, dan saat itu juga ia terkejut karena Maureen berdiri tepat di depannya.
Wajah Maureen juga terlihat terkejut, dan dari arah pandangan matanya Aldy bisa tahu ke mana Maureen melihat. Yap, Maureen sedang memandangi tubuh Aldy yang terekspos.
Aldy juga bisa melihat rona merah yang mulai tercetak di pipi Maureen.
"Ngapain?"
Maureen masih diam, sepertinya lamunannya cukup kuat untuk tak mendengar suara Aldy. "Oi?"
"Eh … Ma-Maureen juga mau mandi." jawabnya dengan nada gugup yang begitu kentara.
Aldy juga baru teringat kalau di lantai atas ini hanya ada satu kamar mandi. Tidak ada kamar mandi di dalam kamar mereka masing-masing.
"Oh, silahkan."
Maureen langsung menghambur ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan keras. Aldy mengerutkan keningnya melihat tingkah Maureen. "Tu anak kebelet apa gimana?"
Aldy hanya menggeleng lalu melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Sementara di dalam kamar mandi, Maureen masih menyandarkan punggungnya pada daun pintu, dengan satu tangannya memegangi dadanya sendiri. Ia bisa merasakan bahwa detak jantungnya benar-benar tak karuan.
Padahal ia sudah terbiasa bersikap manja kepada Aldy, hingga pada tingkat ia merasa nyaman memeluk tubuh Aldy sebagai seorang kakak. Namun yang ia rasakan benar-benar berbeda saat ia pertama kalinya melihat tubuh Aldy yang hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang.
Visual tubuh proporsional seorang lelaki kelas tiga SMA yang dinilai terlalu menggiurkan bagi kaum hawa itu terus terngiang di benak Maureen.
Dan hingga sekarang, ia masih merasakan panas pada kedua pipinya karena rasa malu.
Walaupun Aldy adalah kakaknya sendiri, Maureen jugalah seorang keturunan Hawa yang tak luput dari rasa tertariknya pada keturunan Adam.
Sepertinya setelah ini, Maureen harus lebih berhati-hati lagi.
Ia tidak ingin membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia bayangkan kepada kakaknya sendiri.
Rizaldy Pradipta.
Pesona lelaki itu memang terlalu sulit untuk ditolak.