"Kak Aldy?"
Suara Maureen memanggil Aldy dari luar kamarnya. Aldy yang tadinya sedang menyelesaikan tugas akhir sekolah yang diberikan oleh guru mata pelajaran Biologi sebelum menghadapi ulangan kenaikan kelas pun akhirnya menghentikan laju pena yang menggores kertas buku tulisnya.
"Masuk." ucap Aldy sambil menutup buku tugasnya. Pintu kamarnya dibuka dan Maureen berdiri di sana, dengan kaus berwarna biru muda yang lumayan menunjukkan lekukan tubuh indah bagian atasnya, dengan terusan celana pendek berwarna putih ketat yang menutupi sebagian kecil pahanya. Rambut Maureen yang sedikit lembab menandakan bahwa ia baru saja selesai mandi. "Kenapa?"
Maureen masih terdiam. Bayangan tentang tubuh bagian atas Aldy yang terekspos tanpa benang sedikitpun beberapa saat lalu masih muncul di benaknya. "Emm … Kata papah, Kak Aldy belum mau makan?"
Sebenarnya Aldy belum merasa terlalu lapar. Lagi pula, ia tidak terbiasa sarapan. Baginya, sepotong roti tawar tanpa tambahan apapun, secangkir kopi dan sebatang rokok sudah cukup untuk memulai rutinitasnya di pagi hari.
Namun, entah mengapa, membayangkan duduk satu meja makan dengan Maureen membuatnya ingin melupakan kebiasaannya itu.
"Kalo Kak Aldy masih mau ngerjain PR, aku—"
"Gapapa. Bisa gue lanjutin nanti." jawab Aldy yang lalu berdiri dan berjalan mendekat ke arah Maureen. Satu tangan Maureen mengepal di depan dadanya dan satunya lagi meremas bagian bawah kausnya sendiri. Padahal Aldy hanya berjalan mendekatinya, namun detak jantung Maureen malah lumayan tak karuan.
Aldy sudah berada sejengkal di depan Maureen. "Makan yuk." ajak Aldy yang menyadarkan Maureen dari lamunannya.
Maureen mengangguk dan berbalik. Aldy mematikan lampu kamarnya dan menutup pintu.
Mereka berdua berjalan menuruni tangga dan meneruskan langkah hingga sampai di ruang makan. Heri sudah duluan menyantap sarapannya. Maureen duduk dengan Aldy ikut duduk di sebelah Maureen. Bi Tini, asisten rumah tangga yang selalu datang untuk mengurus urusan rumah tangga membawakan sarapan untuk mereka berdua.
Bi Tini hanya datang setiap hari Senin sampai hari Jumat, itupun dari jam enam pagi hingga jam empat sore. Biasanya Bi Tini sudah menyiapkan makan malam sebelum ia pulang.
"Gimana, kamu suka sama kamarmu?" tanya Heri pada Maureen yang baru saja menelan suapan pertama dari sarapannya.
Maureen mengangguk sambil menunjukkan ekspresi bahagianya. "Banget." Maureen mengalihkan pandangan ke arah Aldy yang ada di sebelahnya. "Makasih Kak Aldy."
Aldy hanya menanggapinya dengan senyuman dan sedikit usapan lembut di puncak kepala Maureen.
"Untuk kebutuhanmu yang lain, kalo ada yang mau kamu beli, nanti papah titip satu kartu ATM papah di Aldy ya. Kalian bisa belanja bareng, sekalian jalan-jalan."
"Papah ga ikut?"
Heri menenggak air putih setelah puas dengan sarapannya. "Papah ada meeting mendadak siang ini, jadi papah ga bisa ikut. Gak apa-apa kan sayang?"
"Tapi pah," sanggah Maureen gantung lalu kembali memandang Aldy. "Kak Aldy juga ada tugas sekolah—"
"Gapapa." potong Aldy. Walau ia sadar, PR-nya memang masih sangat menumpuk, namun menurutnya hal itu bisa ditunda.
"Yakin gak apa-apa? Katanya PRnya masih banyak?"
"Iya, bawel. Khusus hari ini." jawab Aldy mengakhiri pertanyan Maureen yang sepertinya akan terus diulang-ulang. Wajah Maureen pun menjadi lebih cerah mendengar jawaban dari Aldy.
Heri juga bisa melihatnya. Awalnya bukan hanya Aldy, namun Heri juga merasa khawatir jika Maureen masih belum bisa menerima anggota keluarga barunya, yaitu Aldy. Namun di luar kekhawatirannya, sepertinya malah Maureen yang terlihat ingin selalu bersama Aldy, kakaknya.
Menyadari hal itu, tentu saja Heri merasa sangat bahagia.
"Kalo gitu, abis makan kalian siap-siap."
"Tapi kan masih pagi, pah." ucap Maureen dengan kondisi di dalam mulutnya terisi dengan makanan. "Mana ada mall—uhuk."
Seperti dugaan, Maureen tersedak karena berbicara dengan mulut yang masih terisi dengan makanannya. Aldy mengambilkan air untuk Maureen yang langsung diterimanya. Sembari Maureen berusaha mengatasi kondisi tersedaknya, Aldy mengelus-elus punggung Maureen untuk membantunya.
Heri tanpa sadar menyunggingkan senyuman yang cukup lebar di bibirnya. Melihat Aldy yang memperlakukan Maureen begitu baik, membuat hatinya merasa tentram.
Ia bisa melihatnya.
Aldy benar-benar menyayangi Maureen sebagai adiknya. Ya, sebagai adiknya.
Semoga saja.
***
Lampu garasi menyala. Sesuai perkiraan, Maureen pasti terkejut dengan apa yang sedang dilihat oleh kedua bola matanya saat ini. Berbagai macam kendaraan yang tergolong mewah tersaji di sana.
"Wuaaah. Aku udah pernah denger kalo papah emang punya banyak uang, tapi koleksi mobilnya ternyata bukan main-main."
Aldy yang berdiri di sebelahnya masih menunggu keputusan Maureen. "Jadi, mau naik yang mana?"
"Emmmm … " Maureen masih kebingungan. Di satu sisi, ia ingin sekali mencoba berada di atas kursi setiap mobil-mobil mewah yang ada di garasi, namun ia malah menatap Aldy alih-alih menatap kendaraan yang ia pilih. "Biasanya Kak Aldy naik apa kalo mau keluar?"
Aldy mengarahkan jari telunjuknya pada satu-satunya kendaraan roda dua yang ada di garasi. Tepatnya ke arah motor sport Kawasaki hasil modifikasi yang berada di pojok ruangan. Maureen mengikuti arah telunjuk Aldy.
"Oh iya, waktu aku koma, Kak Aldy pernah bilang kalo Kak Aldy lebih suka pakai motor dari pada mobil."
"Tapi kayaknya kita ga bisa pake motor hari ini." balas Aldy sambil melihat ke arah rok yang dikenakan Maureen. "Soalnya lo pake rok."
"Jadi, kita pake mobil aja?"
"Mau lo gimana emang? Mau maksain pake motor?"
Maureen menggeleng menanggapi pertanyaan Aldy. "Pilih sesuka Kak Aldy aja, aku pusing liatnya."
Aldy terkekeh pelan dan berjalan menuju Aston Martin DB10 yang berada paling dekat dengan tempat mereka berdiri. Mobil sport yang kedua pintu di sisi kiri dan kanannya terbuka ke atas, sistem persnelen otomatis dan juga design interior mewahnya seakan membuat Maureen tambah bersemangat.
Setelah mereka berdua duduk, Aldy menekan tombol 'START' untuk menyalakan mesin mobil. Dengan perlahan ia melajukan mobil sport yang dikendarainya itu meninggalkan pekarangan rumah dan membaur bersama kendaraan-kendaraan lain yang memenuhi jalan.
"Kapan-kapan, Kak Aldy mau ga ajarin Maureen bawa mobil?" tanya Maureen pada Aldy yang masih fokus memperhatikan jalan.
"Iya nanti." jawab Aldy datar lalu membelokkan mobil.
"Seriusan? Janji ya!"
"Hm."
Maureen tersenyum puas dan kembali mengedarkan pandangannya pada pemandangan khas perkotaan padat yang tersaji di balik kaca jendela mobil.
Beberapa menit berlalu hingga mereka tiba di lahan parkir sebuah pusat perbelanjaan. Karena posisi parkir mobilnya dekat dengan pintu masuk, Aldy tak merasa membutuhkan jasa valet untuk mencarikan mobilnya tempat parkir.
Maureen, seperti biasa, mungkin sudah menjadi kebiasaannya juga, melingkarkan tangannya di lengan Aldy dan berjalan berdampingan.
Siapapun yang melihatnya mungkin akan merasa iri, dengan ketampanan Aldy yang sulit ditolak, dan juga kecantikan Maureen, melihat mereka berjalan berdua seperti itu serasa melihat dua orang yang sedang syuting film romantis. Tak sedikit yang memperhatikan mereka berdua, berusaha menerka apakah Maureen dan Aldy benar-benar sepasang selebriti atau bukan.
Intinya, mereka lumayan jadi pusat perhatian hanya dengan berjalan berdampingan.
"Mau ke mana dulu?"
Maureen menoleh sambil sedikit mendongak. "Terserah Kak Aldy aja."
Mendengar jawaban dari Maureen, Aldy sedikit membuang napas. Entahlah, baginya kata 'terserah' yang dikeluarkan dari mulut seorang wanita terdengar merepotkan. Dan hal itu benar-benar membuat Aldy berpikir untuk sejenak.
"Lo belum punya hape kan? Mau nyari hape dulu?" tawar Aldy yang langsung disetujui oleh Maureen.
Mereka meneruskan langkah hingga tiba di tempat yang menjual berbagai macam smartphone. Maureen duduk di depan meja etalase transparan yang memajang ponsel-ponsel berbagai jenis.
"Mau cari handphone, kak?" tanya si pegawai yang berdiri di seberang meja etalase.
"Engga, mau cari batu akik." mungkin jika Aldy memiliki selera humor yang buruk, ia akan menjawab pertanyaan konyol itu. Ya, konyol. Karena tidak mungkin mereka akan mencari batu akik di tempat yang jelas-jelas menjual handphone. Dan kenapa mereka selalu memanggil pelanggan mereka dengan sebutan 'kak'?
Maureen hanya mengangguk menanggapinya.
"Kita ada koleksi baru dari iPhone, Oppo … "
Si pegawai belum menyelesaikan pidatonya, Maureen sudah mengarahkan pandangannya pada Aldy. "Hapenya Kak Aldy merk apa?"
Aldy mengerutkan keningnya. "Perasaan lo apa-apa nanya gue mulu."
"Ih, biarin. Merknya apa, Maureen mau yang kayak Kak Aldy."
Aldy mengeluarkan ponsel dari kantung jaket bomber yang dikenakannya. "Asus ROG, mau lo?"
Maureen mengangguk mengiyakan. Aldy pun menoleh ke arah si pegawai.
"Oh, ROG Phone 3 ya? Untuk barang itu kita belum punya stok-nya, kak."
Maureen kini kelihatan kebingungan. "Terus Kak Aldy beli di mana?"
"Gue pesen dari luar."
"Kok ga bilang sih?"
"Lah lo ga nanya. Yang lain aja."
Maureen meraih satu tangan Aldy yang bebas. "Ga mauuuu … Maunya yang sama kayak Kak Aldy." rengeknya, membuat Aldy menghela napas berat, sementara si petugas yang menyaksikan hal itu hanya bisa tersenyum ramah, memakluminya.
"Reen, yang lain aja ya?"
"Ga mau." jawab Maureen lumayan tegas.
"Lo mau hape ini karena emang mau hape model ini, atau karena mau samaan sama gue?"
"Mau samaan sama Kak Aldy."
"Kalo gitu, beli aja dua hape, nanti gue pake satunya."
Akhirnya Aldy memutuskan untuk mengalah dengan keputusan yang untungnya bisa diterima oleh Maureen. Maureen pun menunjuk salah satu dari beberapa model smartphone yang ditawarkan oleh sang pegawai dan memesan dua dari model yang sama. Bahkan Maureen memilihkan warna light-pink juga untuk Aldy.
Aldy tak membenci warna itu. Ia juga tak pernah peduli dengan warna handphonenya. Yang ia pedulikan, bagaimana ia bisa menghentikan rengekan Maureen di tempat itu.
Untungnya, tempat itu juga menyediakan kartu-kartu prabayar agar ponselnya bisa langsung digunakan. Walau seharunya saat pertama kali dibeli, biasanya kita akan diminta untuk mengisi daya baterai selama beberapa jam untuk penggunaan perdana.
Selesai dengan urusan handphone, mereka meneruskan langkah ke tempat yang menjual berbagai macam pakaian.
Ya. Tempat yang seharusnya tempat paling panas di seluruh alam semesta namun kenyataannya malah dingin.
Matahari.
Kali ini diluar perkiraan, karena Maureen tak lagi meminta Aldy memilihkan pakaian untuknya. Maureen hanya menanyakan hal-hal simple sperti apakah pakaian yang ia pilih cocok untuknya atau tidak pada Aldy.
"Ini cocok ga?"
"Cocok."
"Kalo ini, bagus ga?"
"Bagus."
"Terus ini, lucu kan?"
"Lucu."
"Ini juga, iya kan?"
"Iya."
Aldy bisa bernapas lega karena yang ia lakukan hanyalah duduk dan menjawab pertanyaan Maureen seperlunya, sementara Maureen yang sibuk mondar-mandir fitting room. Ia tak keberatan berapa banyakpun Maureen berbelanja, karena yang dipakai bukan kartu ATM-nya, melainkan milik Heri.
Dan Heri juga tak memberi tahu batas pemakaiannya. Jadi, tinggal gunakan sepuasnya, dan konsekuensinya bisa ditanggung nanti di rumah.
Walau kerjanya hanya duduk, tapi Aldy merasa lelah sendiri melihat Maureen yang terus mondar-mandir. Tapi, hal yang benar-benar aneh adalah orang yang berdiri tak jauh dari tempat fitting room.
Entah mengapa Aldy tak bisa melepaskan perhatiannya dari pria berjaket cokelat itu. Aldy bisa melihatnya, ia selalu melirik ke arah pintu yang dimasuki oleh Maureen, seakan menunggu sesuatu.
Awalnya Aldy berpikir, tidak mungkin akan ada orang nekat yang berani menyerang orang lain secara seksual di tempat umum seperti ini. Terlebih dengan pantauan kamera CCTV di mana-mana.
Namun setelah Maureen merasa puas dengan semua pakaiannya dan kini gadis itu berdiri di dalam barisan antrean depan kasir, lelaki berjaket cokelat itu masuk ke dalam ruang fitting room yang digunakan Maureen tadi.
Tak membawa apapun. Hal itu sudah membuat Aldy curiga. Untuk apa dia masuk ke dalam ruang ganti tanpa membawa pakaian? Numpang bercermin?
Orang itu langsung keluar dengan pondelnya yang dimasukkan ke dalam kantung jaket.
Aldy pun berdiri, berjalan ke arah ruang ganti itu dan menyadari, ada setumpuk pakaian yang sepertinya tak jadi dibeli oleh seseorang. Aldy mengambil pakaian itu dan pergi ke arah Maureen.
"Lo tadi ngambil ini?"
Maureen menatap pakaian lelaki yang berada di tangan Aldy. "Engga, ga mungkin juga aku beli baju cowok. Tapi dari awal, baju itu emang udah ada di sana. Ga tau siapa yang taro, ga dibalikin lagi. Emang kenapa?
Aldy terdiam sejenak.
"Kak Aldy?"
Aldy mengedarkan pandangannya. Dan dari ujung pengelihatannya, pandangannya beradu dengan lelaki berjaket cokelat. Lelaki itu terlihat gugup. Dan saat melihat kaus yang ada di tangan Aldy, dia langsung lari.
"Bangsat!" maki Aldy yang langsung lari mengejarnya dengan sangat cepat.
Maureen hanya terdiam kebingungan. Tak mengerti dengan maksud tindakan Aldy.