webnovel

Our 6th Anniversary

Alex dan Leon berpacaran. Antara mahasiswa dan murid SMA. Sama-sama lelaki. Di Indonesia, mereka berhubungan dan tetap menjaga hubungan itu selama 6 tahun meskipun tidak diakui sekitar. Di anniversary ke-6, Leon ingin hubungan mereka dirayakan dengan cara sederhana. Yang penting berdua. Namun bisakah Alex yang sudah menjadi Asisten Dosen dan sibuk luar biasa memenuhi keingin kekasihnya itu? CEK Karya LGBT-ku yang paling bagus juga ya!! JUDULNYA "MIMPI" :") FOLLOW IG-ku juga ya!! @Mimpi_work Terima kasih :")

Om_Rengginnang · LGBT+
Not enough ratings
17 Chs

16 Kedatangan Bella Criss Yang Tiba-tiba

Rian pun meremas bahu Rama. "Please, aku punya alasan buat itu, Rama."

Rama memijit pelipisnya kesal. "Oke, jelaskan. Aku nggak mau denger hal konyol apapun—" meski setelah mengatakan itu, dia sendiri merasa aneh. Mengapa mendadak Rama posesif ke Rian? Bukankah dia nggak suka?

"Kerjaanku di sana itu dikasih temen," kata Rian. "Dia baik, bahkan terlalu baik. Jadi nggak suka kalo liat aku Cuma berkarya di sini—but, it's okay for me. Aku suka, jadi ini bukan murni mauku."

Rama menyipitkan mata. "Temen Kakak itu cowok?" tanyanya. Entah kenapa sejak tahu tentang hubungan romansa antar lelaki, kecurigaannya kepada sekitar semakin menjadi-jadi.

"Iya?"

"Aku tanya apa temen Kakak itu cowok?" ulang Rama, kali ini dia mengguncang Rian.

Di luar dugaan, Rian membuang muka. "Yeah, you true…" katanya pelan. "But, Rama—it's only him. Aku nggak suka dia balik kok. Tapi dia emang ngejar aku dari dulu—"

Rama mengepalkan tangan. "Terserah," katanya. "Aku udah nggak peduli."

Namun Rian yakin, kata-kata itu hanyalah bohong.

"Rama—"

"Lagian Kakak bilang kalo emang punya temen seks banyak di luar," kata Rama. Menyela. "And what am I for you? Kalo aku nggak dateng, lalu mau, mungkin Kakak emang udah balik lagi ke dia—ke mereka."

Rian diam, dan tampak merasa bersalah. "Aku nggak tahu mo komen apa," katanya. "Tapi, sakit banget kalo kamu bilang begitu."

Bilang apa?

"What am I for you?" kata Rian. Dia menatap Rama nanar. "Kamu nggak tahu aku sayang banget sama kamu. Kalo emang enggak, aku mungkin milih nerima sembarang orang yang deket sama aku. Cewek-cewek yang pernah nembak, temanku yang baik itu, or maybe temen-temen lainnya—Rama kamu nggak paham perasaan aku."

Kini, Rama sungguh merasa bersalah.

"Ok, forget it," kata Rama. Dia pun menyeka keringat di kening Rian. "Aku baru nyoba, jadi nggak tahu apa-apa. Just tell me, Kak. Apapun… tapi, emang nggak sayang kalo ninggal kerjaan gede di sana?"

Rian tampak lega seketika. "Aku lebih sayang kalo ninggal kota ini," katanya. "Ninggalin kamu."

"Kakak, please—"

"Kali ini aku mau jujur aja, Rama," kata Rian. "Lagian, menurut kamu sendiri, lebih baik aku ke sana dan deket sama temenku, atau sama kamu aja?"

Rama kehilangan kata-kata.

"Ini keputusan aku," kata Rian. Lalu tiduran lagi di ranjangnya. "Jadi anggep aja kamu nggak terlibat apapun."

Sejak saat itu, kondisi Rian benar-benar makin baik. Bila dia keras kepala menolak dirawat, maka Rama pun keras kepala menetap. Dia menolak pergi dari apartemen itu dan absen dari kuliah. Hal itersebut membuat Rian nggak punya pilihan selain berusaha makin keras untuk kesembuhannya sendiri.

Lima hari berlalu. Rian baru keluar dari kamar dengan paras segar setelah mandi. Dia sembuh total. Dan Rian masih tiduran di sofa panjang ruang tengah seperti biasa.

"Rama?"

Rian menyentuh pipi sang kekasih.

"Hmmgg?" gumam Rama. Dia berbalik dan berkedip-kedip. Wajah tampan Rian ada di depannya, dan dia memejamkan mata kembali waktu diberi kecupan lembut.

"Aku udah baikan," kata Rian. Rama langsung sadar karena kecupan itu. "Kamu mau mandi? Kita jalan-jalan keluar bentar sore ini."

Rama langsung terduduk. "Tunggu, ini udah jam berapa?"

"Jam tiga, kamu masih bisa siap-siap."

"Oh…"

"Jadi, mau?"

Rama memandang Rian. "Kakak baru sembuh, emang mau kemana?"

"Kemana aja," kata Rian. "Kamu juga boleh ngajak aku ke tempat yang kamu pengenin."

Seingat Rama, dia nggak pernah diperlakukan semanis ini dengan pacar-pacar ceweknya di masa lalu.

"Oke, tapi jangan tempat yang jauh," kata Rama. Dia meraih tangan Rian dan menggenggamnya. "Deket sini aja. Yang penting ngerasain udara luar, tapi kita pulang cepet juga."

Rian memandangi tangannya, lalu ke wajah Rian. "Kalo kamu pikir aku selemah itu, Rama—"

"Udah deh ah. Jangan bantah-bantah aku lagi," kata Rama. Dia mendengus hebat. "Aku nggak suka."

Bukannya tersinggung didominasi, Rian justru tertawa. "Oke. Kita makan deket sini kalo gitu," katanya.

Ternyata Rian sudah mempersiapkan setelan baju untuk Rama di kamar. Baju baru. Dan sebelum Rama masrah-marah, cowok itu lebih dulu heran melihat puluhan koleksi baju Rian di lemari khusus. Semuanya belum pernah dipakai, dan Rama hanya menggaruk kepala kesal karenanya.

"Susah punya pacar udah mapan," kata Rama. Lalu ngeluyur pergi ke kamar mandi.

"Eh? Tapi kan—lebih baik ganti baju daripada enggak—"

"Iya, terserah," kata Rama. "Tungguin aku di bawah aja."

Rian pun menurut dan keluar segera. Yang tidak Rama sangka adalah, saat dia keluar dari apartemen, sang kekasih sudah bicara dengan seorang gadis cantik.

"Iya, aku mau pergi abis ini," kata Rian kepada gadis itu. Sejujurnya mereka tampak serasi sekali saat bersama.

"Wah, jalan-jalan?"

"Iya, Bella… Cuma makan sebentar kok."

"Oh… tapi Kakak beneran udah baikan kan?"

"Iya, udah hehe…" kata Rian. Mereka berdua saling tersenyum. "Makasih udah khawatir—"

"Kak Rian," sela Rama memanggil. Entah kenapa dia kesal melihat mereka berdua mengobrol. Apalagi setelah dia ingat, kalau 'Bella' adalah nama gadis yang pernah disebut-sebut Rian dalam sakitnya. Ohhh! Jadi dia yang ditolak Rian itu?

"Eh? Ya?"

Rian dan Bella langsung berbalik.

"Jadi berangkat, enggak?" tanya Rama. Mendadak dia nggak menyesal sudah memakai setelan baru itu, berparas keren, dan memakai parfum mahal yang disediakan oleh Rian juga. Ah, coba kalau nggak. Gadis itu pasti sudah memandangnya penasaran dan aneh.

"Tentu, jadi," kata Rian. Dia lalu menepuk bahu Bella. "Oh, iya. Bel, ini cowok yang aku maksud. Namanya Rama, dia pacar baru aku."

DEG

Tapi diperkenalkan langsung begini jelas di luar dugaan!

"Oh, jadi dia…" Bela langsung tersenyum masam ke Rama. "Cakep. Aku iri ngeliatnya. Hehe…"

Rama pun menggaruk saku dalam jeans-nya untuk melampiaskan salah tingkah. "Well, aku Rama," katanya sambil mengulurkan tangan. "Salam kenal. Kamu pasti deket sama pacarku."

Bella menyambut tangan Rama meski segan. "Aku Bella Criss. Iya, emang deket dikit kok. Hehe. Kak Rian mau ngajarin aku ilmu arsitek karena kuliahku di jurusan itu."

Demi apa? Cewek tapi kuliah ilmu desain bangunan?!

Rama mendadak jadi sangat kecil di sana, namun tentu nggak boleh dia perlihatkan. "Oh, oke."

"Kamu mash keliatan muda banget," kata Bella. Yang tanpa Rama nanya, dia sudah tahu gadis itu sekarang kuliah S2. Bukan sepertinya yang masih jadi mahasiswa ingusan di strata sarjana. "Umur berapa? Masih adek kelas aku ya?" tanyanya. Seperti disengaja agar Rama benci.

"Iya aku baru 19," kata Rama. Balas sengaja meninggikan suara. "Emang kenapa? Nggak suka aku jadi pacar Kak Rian? Ngomong aja di depanku sekarang. Langsung. Nggak pake kode-kode benci segala—"

"Hush, Rama—"

"Apa?!"

Rama menatap Rian tegas.

"Rama, enggak baik bilang gitu sama Bella. Dia kan—"

Kali ini Rama diam, namun Rian lah yang tak kuasa melanjutkan.

Rama marah ಥ‿ಥ

Om_Rengginnangcreators' thoughts