Leon menghindari Rama sejak dia pulang ke kosan.
Kalau melihat apa yang terjadi tadi siang, jelas, semuanya tidak dalam kondisi baik. Dia pun pura-pura tidak tahu, sibuk sendiri dengan Kak Alex, lalu tidur kala malam sudah tiba.
"Aku pengen kamu nggak kepikiran apa-apa…" gumam Leon pelan. Tapi jelas Rama yang sedang ngerjain PR di ruang tengah nggak bakal denger apapun yang dia katakan.
Leon pun terlelap dalam mimpi, sementara Rama sebenarnya tak fokus sejak tadi karena ponselnya minus chat dari sang kekasih lelaki baru.
Sejujurnya Rama menyesal karena tadi siang dia nggak mengatakan langsung isi hatinya kepada Rian. Dia membiarkan lelaki itu pergi. Ke Manchaster. Dan sekarang galau sendirian menunggu kabar (tanpa sadar) dengan bertanya-tanya apakah Rian sehat di sana?
Bagaimana pun lelaki itu pergi dalam kondisi sangat tidak baik.
"Argh!"
Rama akhirnya tak tahan juga. Dia mengacak-acak rambutnya, ragu sebentar, namun langsung menelpon nomor yang baru dikirimkan padanya itu tanpa basa-basi.
TRRRRT
Nada sambung tak pernah terdengar begini menyebalkan.
"Halo, Rama?"
Anehnya! Kenapa langsung menjawab, tapi bertingkah seolah-olah sejak tadi nggak peduli dengan Rama?!
"Kakak, kamu udah nyampe di Manchaster?" tanya Rama tak sabaran.
"Ahh.. enggak," kata Rian. Ada suara batuk lelaki itu dan nafasnya yang tak beraturan dari seberang sana. "Aku belum jadi berangkat. Haha… demamku makin tinggi lagi. Jadi, yeah—sorry belum ngabarin kamu. Kan aku belum pergi—"
"Damn it."
DEG
Dada Rian pun langsung bergemuruh keras. "Rama?"
Rama pun langsung menutup telepon itu, keluar dari kosan tanpa mematikan laptop atau pun pamit ke Leon, dan membiarkan teman sekamarnya itu sendirian malam ini.
"Anjir! Apa sih yang Kakak pikirin?" marah Rama, setelah berjuang 30 menit menjajaki transportasi kota yang mulai sepi, dia lalu menatap nyalang sang kekasih yang baru membuka pintu apartemennya. Lantai 34. Dan Rama terengah-engah karena tadi sempat berjuang masuk ke dalam lift yang hampir tertutup demi mempersingkat waktu.
"Aku? Ah, Rama—"
Rama pun langsung masuk, membanting pintu di belakangnya, dan meraih tengkuk panas itu untuk mencium bibirnya yang terbakar demam.
DEG
Rian pun terbelalak. Namun dia terlalu lemas untuk melawan kekuatan cowok yang lebih muda darinya itu. Mundur, mundur, mundur … punggungnya membentur dinding saat dirinya ingin melepaskan diri.
"Ahh!"
Rian membuka mulut ketika Rama menggigit bibir bawahnya begitu keras. Sungguh, pasti ada yang tergores di sana karena rembesan anyir darah tipis-tipis ikut bergulat bersama saliva di antara lidah mereka.
"Kakak nggak ngerti aku panik sekali!" bentak Rama lagi.
Rian pun mengusap bibirnya yang bengkak dengan punggung tangan dan menatap sang kekasih dengan tatapan nanar nyaris berkunang-kunang. "Aku, minta maaf…" katanya dengan suara serak.
"Maaf maaf apaan…" dengus Rama. Lalu menggandeng tangan Rian untuk pergi kembali ke kamar, melemparnya ke ranjang hingga kepalanya terasa berputar di udara, lantas menindih tidurnya di sana dengan satu pelukan yang terbanting keras.
"Ah!" pekik Rian terkejut.
Rama memeluk kepala itu lebih erat lagi ke dadanya. "Aku pikir Kakak udah nyampe dan lupa ngabarin…" katanya. "Tapi, panas sekali—sial… harusnya bilang juga kalo kondisimu kayak gini?"
"Kakak nggak mau ganggu kamu…" tatapan Rian meredup perlahan. "Kakak tahu kamu lagi sibuk, ribut sama urusan diri sendiri. Jadi, Kakak rasa hal kayak gini nggak perlu. Palingan—uhuk… besok juga sembuh."
Rama memang belum merasakan debaran segila yang Rian rasakan kepadanya saat ini, namun dia mengakui, betapa menjadi seseorang yang spesial di hati seseorang itu bisa membuat dadanya hangat meskipun tak tahu itu jenis perasaan apa.
"Kakak panas. Ah elah…" keluh Rama. Lalu menatap wajah berkeringat, namun tampan di bawahnya itu. "Sekarang coba bayangin. Kakak sendiri gimana kalo semisal liat aku kayak gini, nggak tahu apa-apa, dan cuma bisa nunggu kabar kayak orang tolol…"
Rian meneteskan air mata, tapi bukan karena sedih atau senang.
Melainkan karena panas badannya semakin tak tertahankan, lalu dia mengeluarkan semua cairan bening itu tanpa disadari maupun bisa dihentikan.
Dia mengeluh, terus menerus, dan mengusap keringatnya beberapa kali dengan geliatan badan tidak nyaman.
Rama pun menatap pemandangan itu, lalu segera menyingkir dari tubuh Rian.
"Kakak ini… ck," keluh Rama.
Kalau beberapa hari lalu dia uring-uringan dengan kondisi Rian, kini Rama—entah kenapa—merasa harus lebih sabar saja. Mungkin termasuk perasaan ini bertanggung jawab dengan kondisi pacar—uhuk… yang pasti, nggak ada angin nggak ada hujan, dia pun langsung merawat lelaki itu lebih baik daripada kemarin.
Untung Rian tidak muntah lagi seperti waktu itu. Dia hanya terlalu kepanasan, tapi juga kedinginan di saat-saat tertentu. "Uhhh… uhh…" Dia menggelung diri di dalam selimut layaknya anak kecil yang baru pertama kali sakit setelah perjalanan panjang. "Uhh… panas… hhmm… hrrmm…" padahal waktu itu rasanya tak separah ini.
Rama jadi ikutan pening dan sakit setelah beberapa hari mengurus lelaki itu. Namun dia tak boleh mengeluh sekali pun. Sebab dirinya sendiri yang ingin kemari. Dia juga yang tak mau cemas atau panik di kosan tanpa tahu apa-apa. Untunglah setelah 5 hari, kondisi Rian berangsur-angsur membaik.
Sang kekasih tak lagi makan bubur seperti biasanya. Dia mau ketika disodori dengan irisan pir dingin yang dikupas dengan tangan Rama sendiri. Panasnya turun. Dan dengan kedua mata yang cekung gelap ke dalam, dia gemetar mempertanyakan tentang kuliah Rama.
"Kamu absen kuliah karena aku ya?" tanya Rian.
Rama melengos dan menjawab dengan dengusan, "Ya, dan kalau Kakak mau aku kuliah, tolong cepat sembuh saja."
"Hm…" Rama tak ingin melihat raut wajah menyesal di sana. "Maaf—"
"Tidak perlu, Kakak akan makin bikin aku marah kalo kayak gini terus," kata Rama. "Lagian aku udah setor tugas juga. Lewat daring. Enggak perlu cemas soal nilai matkul-ku. Palingan cuma dinilai negatif sedikit kalok emang saingannya terlalu ketat."
Rian diam. Dia membiarkan Rama pergi memberesi alat-alat makan dan obatnya ke dapur, dan saat kembali dia sudah berganti pakaian bersih (meski belum kuat mandi) dan menyeka wajahnya sendiri dengan handuk basah agar lebih terlihat segar.
"Aku mau kasih tahu kamu sesuatu," kata Rian.
Rama pun batal duduk di sofa depan televisi. "Apaan," katanya. Lalu menghampiri Rian. Dia duduk di tepi ranjang ukuran king size itu dan menatap Rian malas-malasan.
"Aku sebenernya ada panggilan pindah kerjaan ke Manchaster," kata Rian. "Tapi, hm… aku kayaknya mau batalin aja. Jadi mungkin besok cuma pergi buat lurusin kontrak aja—"
"Kakak batalin juga karena aku?" tanya Rama.
DEG
"B-Bukan kok—bukan…" kata Rian. "Kamu salah paham, umn… boleh aku jelasin dulu?"
Ada api yang murup di kedalaman retina berkerlap basah itu. Rama menatap keduanya dengan lurus, sekilas terhenyak, namun kemudian memaki pelan.
"Damn it…"