webnovel

Oh My Husband!

"Suami, jangan ceraikan aku!" Dua tahun membina rumah tangga. Mereka bagai orang asing yang hanya berbagi tempat tinggal. Namun, tepat di hari keduanya akan bercerai. Rahasia pun terkuak.

Chipo19 · วัยรุ่น
Not enough ratings
7 Chs

4. Bosan

***

Perlahan membuka mata. Hal pertama yang terlihat adalah langitlangit kamar.

Setelah beberapa detik menatap langitlangit, pandangan diarahkan ke atas tangan yang memeluk pinggang. Zara menoleh ke samping.

Dzefa sedang tidur sambil memeluknya.

Zara tersenyum lalu menyentuh bulu mata suaminya itu. Ini pertama kalinya mereka tidur di kasur yang sama sejak pertama menikah. Ini pertama kalinya mereka sedekat ini.

"Suami, kau tampan sekali! Menyesal aku jahat padamu dua tahun ini," ucap Zara dengan suara serak. Kemudian dia kembali mengubur diri dalam pelukan Dzefa.

Setelah tak ada gerakan apapun lagi, saat dengkuran halus terdengar. Dzefa membuka mata. Dia menyentuh dahi isterinya.

'Sudah tak demam!' batinnya lega.

***

Cahaya pagi masuk melalui celah jendela, Dzefa terbangun. Dia melihat jam.

"Jam tujuh?" dia segera turun dari kasur, mengambil handuk menuju kamar mandi.

Tapi langkahnya terhenti saat sadar kalau itu kamar Zara.

"Kemana dia?" ucap Dzefa saat melihat kasur sudah kosong.

Dengan panik dia keluar dari kamar, handuk dilempar entah kemana.

"Suamiiiii! Kau sudah bangun?" kata Zara yang baru keluar dari dapur. Masih memakai baju tidur dan celemek. "Aku sudah masak untukmu. Cepat mandi lalu kita sarapan bersama!"

Dzefa kelu, dia memegang dahi Zara. Setelah itu dia pergi naik ke kamarnya sendiri tanpa mengatakan apapun.

"Dia kenapa?" gumam Zara sambil memegang dahi di bekas sentuhan tangan Dzefa berada.

***

Saat sarapan Zara terus saja menatap Dzefa yang sedang makan.

"Suami!" panggil Zara.

"Apa?"

"Tadi temanku menelepon. Boleh tidak aku bertemu dengannya?"

"Biasanya kau tak pernah meminta izinku!" jawab Dzefa tanpa berhenti makan.

"Kan aku sudah bilang mau jadi isteri yang baik mulai sekarang."

"Kau masih sakit," kata Dzefa sepatah.

Tapi itu sudah jelas sekali bahwa Dzefa tak mengizinkan Zara pergi.

"Hmm kalau gitu aku undang temanku ke rumah boleh?" tanya Zara lagi.

"Jangan beraniberani membawa masuk mereka ke rumah!"

"Tapi ...."

"No but!" putus Dzefa. Dia bangun lalu pergi.

Zara mengeluh kecil, dia ingin bertemu sahabatnya. Sejak dipengaruhi Aida, hubungan Zara dengan sahabatnya pun menjadi renggang.

Saat ini dia baru sadar siapa yang sejati siapa yang palsu.

Shima, dia adalah sahabat Zara sejak di sekolah dulu. Mereka bagai dua kutub magnet berbeda, menempel terus. Kemanamana bersama saling terikat. Hanya saja kehadiran Aida membuat hubungan itu rusak.

Shima berulang kali mengingatkan Zara tentang Aida, tapi Zara tak percaya dan malah memarahi Shima. Sejak itu Shima tak pernah menghubunginya lagi.

Sekarang, mendengar Zara kecelakaan. Orang yang paling khawatir ternyata adalah Shima. Dari riwayat panggilan tak terjawab, Shima berpuluhpuluh kali memanggilnya. Pesan yang belum terbaca pun bahkan hampir seratus.

Zara merasa bersalah dan ingin memperbaiki persahabatannya.

Ternyata yang dirusak Aida bukan hanya hubungan dia dan Dzefa, tapi hubungan lain pun sudah kacau sekarang.

"Kenapa aku begitu bodoh?"

Zara meraup rambut dengan kesal.

"Tidaktidaktidak. Kau tak boleh meratapi nasib seperti ini, Zara! Tuhan masih memberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Hidup masih belum berakhir."

Zara bangun menyusul Dzefa.

"Bi, suamiku mana?" tanya Zara pada Bi Anis yang sedang menyapu lantai.

"Tuan sudah berangkat kerja, Non!" beritahu Bi Anis.

"Ish kenapa dia main pergi tanpa salam," kata Zara kesal.

"Tadi Tuan pesan pada saya agar tak membiarkan Non pergi kemana pun. Hari ini jangan pergi ke kantor Tuan juga katanya."

"Huh siapa juga yang mau pergi ke kantornya. Malas!"

Zara pergi ke ruang TV dengan cemberut.

Bi Anis menggelengkan kepala. Jelas sekali si Tuan mengkhawatirkan isterinya. Tapi sepertinya isterinya tak suka.

***

Di kantor, Dzefa tak tenang memikirkan Zara. Beberapa kali dia melihat ke layar ponsel untuk memastikan Zara baikbaik saja.

Ponselnya sengaja dihubungkan dengan cctv rumah. Jadi dia bisa melihat apa yang dilakukan Zara seharian.

Berbeda dari biasanya, hari ini Zara penurut tak pergi kemana pun. Hanya diam menonton TV dengan berbagai posisi. Kelihatan sekali kalau dia bosan.

Dzefa tak membiarkan dia keluar bukan tanpa alasan. Selain karena sedang sakit, Dzefa khawatir Zara akan menemui sepupu dan pria itu lagi. Jika dulu dia dengan terpaksa membiarkan Zara melakukan hal sesuka hati, kali ini tak bisa.

Meski mereka pada akhirnya bercerai atau tidak, dia tak bisa membiarkan Zara bergaul dengan orangorang itu lagi.

Dzefa mengalihkan pandangan ke jendela, menatap gedunggedung tinggi di luar.

Sejujurnya dia tak ingin melepaskan Zara. Dua tahun dia bertindak egois mengikat Zara dalam pernikahan. Keinginan untuk bercerai tak pernah Dzefa kabulkan.

Tapi semakin lama Dzefa tak tahan dengan tingkah Zara yang selalu melakukan halhal yang membuatnya marah.

Saat Dzefa menyerah dan ingin bercerai, Zara malah bertingkah aneh sekarang. Keukeuh ingin mempertahan rumah tangga yang dulu matimatian tak dia inginkan.

Dia ingin percaya Zara berubah. Tapi dia takut kalau itu hanya harapan semu. Bagaimana jika suatu hari Zara berubah pikiran lagi dan menginginkan perpisahan?

***

Dzefa pulang telat ke rumah karena ada makan malam di luar dengan rekan bisnis.

Saat akan menaiki tangga dia melihat TV masih menyala. Setelah dihampiri, ada Zara yang tertidur di sofa.

Bi Anis yang datang membawa selimut terkejut melihat Dzefa pulang.

"Tuan sudah pulang," ucap Bi Anis. "Seharian Non Zara nonton TV sampai tertidur di sofa begitu. Saya mau bangunkan tapi tak tega. Makanya saya bawakan selimut saja."

"Berikan!" ucap Dzefa mengulurkan tangan meminta selimut.

Bi Anis menyerahkan selimut pada Dzefa.

Dengan hatihati dia menutupi tubuh Zara.

"Apa dia sudah makan malam?"

"Sudah Tuan."

"Okay. Bi Anis bisa istirahat," ucap Dzefa.

Setelah Bi Anis pergi, Dzefa membereskan meja yang berantakan dengan bekas camilan.

Dzefa duduk di samping Zara.

"Apa kau bosan hurm?" tangan Dzefa membelai pipi Zara. Senyum kecil tersungging di wajah dinginnya.

"Hmm dulu kupikir meski kau tak cinta aku, kau akan berusaha menerimaku. Tapi setelah dua tahun kau tetap sama. Aku tak ingin mengikatmu lagi Zara. Kau bisa mendapatkan hidupmu kembali."

Perlahan Dzefa menundukkan kepala mencium kening Zara. Setelah itu dia pergi ke kamar meninggalkan Zara yang masih lena.

***

Bersambung.