webnovel

Oh My Husband!

"Suami, jangan ceraikan aku!" Dua tahun membina rumah tangga. Mereka bagai orang asing yang hanya berbagi tempat tinggal. Namun, tepat di hari keduanya akan bercerai. Rahasia pun terkuak.

Chipo19 · Teen
Not enough ratings
7 Chs

3. Gadis Bodoh

***

Basah dokumen di atas meja karena Dzefa tak sengaja memuncratkan teh setelah membaca pesan istrinya.

"Apa kepalanya benar terbentur dengan sangat keras kemarin?" gumam Dzefa sambil menatap layar ponsel.

Tapi Dokter sudah menjelaskan kondisi Zara dengan sangat rinci pada Dzefa. Meski sempat koma, keadaannya tak serius.

"Ugh!" Dzefa memicit kening, pusing. "Apa yang harus aku lakukan padamu, Zara?"

***

Tengah hari Zara menaiki taksi pergi ke kantor Dzefa.

Melihat gedung di depannya Zara sedikit gugup. Jadi ini tempat kerja si suami? Selama ini dia tak pernah tahu apa yang dilakukan suaminya, bekerja apa, bekerja di mana. Dia benar tak peduli. Isteri macam apa?

Hari ini untuk pertama kalinya dia datang ke rumah kedua suaminya. Dibanding rumah mereka, Dzefa lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Ke rumah hanya numpang tidur saja.

"Siang Mbak, ada yang bisa saya bantu?" pegawai di meja depan bertanya pada Zara.

"Saya mau bertemu Dzefa," jawab Zara sambil melihat sekeliling.

Pegawai itu menatap Zara dengan curiga, wanita di depannya dengan santai menyebut nama Boss.

Dia memandang Zara lagi dengan seksama, cantik meski ada perban di dahinya. Meski pakaiannya biasa dan sederhana, tapi itu terlihat bagus di badannya.

"Anda sudah buat janji?" tanyanya lagi.

"Ah? Tidak."

"Nyonya!" Azriel menghampiri Zara. Melihat Zara ngobrol dengan resepsionist membuatnya sedikit kaget juga. Kalau tahu akan datang kenapa tak bareng saja tadi? Mungkin dia tak akan kembali ke kantor duluan. Kalau Boss tahu isterinya datang sendiri, dia pasti akan diceramahi.

"Aku mau memberikan makan siang untuk suamiku!" ucap Zara sebelum ditanya.

"Ayo saya antar ke ruangan Boss!" ajak Azriel.

Zara pun mengikuti Azriel.

Dua pegawai di meja depan saling pandang.

"Apa kau dengar tadi? Wanita itu bilang suamiku? Apa itu isteri Boss?"

"Boss sudah menikah?"

"Oh yaa Tuhan! Ini berita besar."

"Aku patah hati!"

Kedua orang itu kemudian membagikan informasi ke dalam grup chat khusus pegawai wanita pengagum Boss.

Ada beberapa pegawai yang meminta mereka mengambil foto Zara jika dia nanti pulang. Hampir semua merasa penasaran tentang siapa gerangan wanita yang berhasil mendapatkan pria pujaan mereka.

Di lantai empat, kantor Dzefa.

Setelah dipersilakan masuk, Azriel membantu membuka pintu.

Masuk ke ruangan Dzefa tak bisa sembarangan. Ternyata di pintu masuk harus memasukkan kode terlebih dahulu. Dan yang tahu kodenya hanya Dzefa dan Azriel saja.

Saat mengalihkan pandangan ke pintu, Dzefa terkejut melihat Zara datang.

"Kenapa kesini?" tanya Dzefa.

Azriel langsung lari keluar dan menutup pintu. Takut akan disalahkan atas kedatangan Nyonya Bossnya.

"Aku mengantarkan makan siang," jawab Zara sembari menyimpan makanan di meja.

Dzefa melirik makanan yang dibawa isterinya.

"Kau tak berusaha membuatku mati kan?"

"Hah?" kata Zara bingung.

"Kau tak meracuni makanan ini kan? Pertama, kau dengan tibatiba memutuskan tak mau bercerai. Kedua, kau mengantar makan siang padaku padahal biasanya tak pernah. Kau ingin berpisah dariku tapi tak mau bercerai, jadi aku curiga kau meracuniku," kata Dzefa berprasangka.

"Tidak seperti itu. Aku ... hmm aku hanya ingin jadi isteri yang baik." Zara memintalmintal ujung bajunya gugup.

"Isteri? Apa kau lupa siapa yang menarik batas antara kita berdua? Bukankah di malam pernikahan kita kau sudah menjelaskan hubungan kita hanya di atas kertas saja," ucap Dzefa dengan senyum sinis.

"Aku salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Ayo kita hidup sebagai suami isteri yang bahagia, membesarkan anak bersama, tua bersama."

"Cukup Zara!"

Dzefa mengalihkan pandang ke luar jendela. Sejak dulu dia berharap bisa mewujudkan apa yang dikatakan Zara. Tapi sekarang di saat dia sudah menyerah isterinya ini malah mengatakan halhal itu.

Zara tahu dia salah sebelumnya, tapi itu karena Aida meracuni pikirannya. "Uhh kenapa dulu aku bodoh sekali?" gerutu Zara.

"Apa? Kau bicara apa?"

"Eh tidaktidaktidak. Ayo makan dulu!"

Dengan cepat Zara mengambil kembali makanannya, dibuka di meja lain yang ada di ruangan itu. Zara duduk di sofa sambil menyiapkan makanan. "Aku tak meracuni makanan ini."

Dzefa bangun dan menghampiri Zara.

"Sini duduklah!" Zara menarik Dzefa duduk di sampingnya.

Dengan enggan tak enggan Dzefa mulai makan. Dia tak peduli pada Zara yang terus melihatnya dari tadi.

"Suami!" panggil Zara.

"Hmm!" balas Dzefa tanpa sadar. Baru sehari mendengar Zara memanggilnya suami, dia jadi sedikit terbiasa.

"Mulai sekarang jangan sebut cerai lagi okay? Aku akan mencintaimu."

PRANG!

Sendok yang dipegang Dzefa jatuh. Terkejut dengan ucapan Zara.

"Hey suami, ada apa denganmu?" kata Zara sambil menunduk untuk mengambil sendok yang jatuh ke bawah meja. "Ish susah!"

"Sudah biar saja. Aku sudah selesai makan."

Tanpa mempedulikan suaminya Zara masih berusaha mengambil sendok.

"Awwww!" kepala Zara tak sengaja menabrak ujung sofa.

"Kau okay?" Dzefa langsung menarik Zara duduk, memeriksa lukanya. "Syukurlah lukamu tak terbuka. Sudah kubilang biarkan saja kan. Kenapa bandel sekali?"

Zara tersenyum mendengar Dzefa yang khawatir. Setidaknya bisa dipastikan masih ada perasaan kasih untuknya.

Zara memeluk Dzefa.

'Oh suami. Andai aku tak bodoh mempercayai Aida. Matimatian kupikir kau mencintai wanita lain. Kupikir kau menikahiku dengan terpaksa. Siapa yang tahu kalau ternyata wanita yang kau sukai itu aku. Itu pun jika pesanpesanmu tak bohong.'

"Hey apa yang kau lakukan? Lepas!" Dzefa mendorong Zara.

"Kenapa tak mau kupeluk?" tanya Zara manyun.

'Apa dia jijik padaku karena berpikir aku sudah selingkuh?'

Dzefa berdiri menjaga jarak dari Zara, "pulanglah!"

Zara merapikan bekas makanan lalu berjalan keluar dari ruangan Dzefa tanpa mengatakan apapun.

***

Saat Dzefa pulang pada sore hari, rumah terasa sepi. Biasanya juga tak pernah ramai.

Tapi karena perubahan sikap Zara, dia merasa ada yang kurang di rumah.

Lama Dzefa menatap ke arah pintu kamar Zara.

"Tuan!" panggil Bi Anis.

"Apa Zara di rumah?" tanya Dzefa begitu melihat Bi Anis.

"Iya. Tapi sepertinya dia tak baik. Pulang dari kantor Non Zara langsung masuk kamar dan tak keluar sampai sekarang. Padahal biasanya sore hari Non Zara pergi ke halaman belakang. Saya khawatir mungkin dia sakit lagi karena kecapekan. Dari pagi Non Zara sudah kesana kemari padahal baru pulih."

Mengingat kejadian siang tadi membuat Dzefa khawatir juga.

"Mungkin dia sedang istirahat. Biarkan saja!"

Bi Anis mengangguk lalu kembali melakukan pekerjaannya.

Dzefa pun pergi ke kamarnya.

***

Hampir maghrib, tapi Zara belum keluar kamar juga. Bi Anis sudah mengetuk pintu tapi tak ada sahutan.

"Ada apa?" tanya Dzefa yang baru turun.

"Non Zara belum minum obat. Saya ketuk pintunya, tak ada sahutan dari dalam," jawab Bi Anis.

Dzefa mengerutkan kening lalu mencoba membuka pintu kamar Zara. 'Tak dikunci?'

Saat Dzefa masuk dia tak melihat siapa pun di kamar.

Di balkon kamar juga tak ada. Dzefa membuka pintu kamar mandi, terkunci! Zara sepertinya ada di sana.

"Zara!" panggil Dzefa. "Hey apa kau di dalam?"

Masih diam.

"Zara! Jawab aku hey!"

Berkalilali dipanggil tak ada yang menjawab.

Dzefa pun mendobrak pintu kamar mandi.

"Allahu!" ucap Dzefa. Dia menghampiri Zara yang tak sadarkan diri di bathtub.

Dzefa mengambil handuk membungkus badan Zara dan membawanya keluar dari kamar mandi. Menaruhnya di kasur dan ditutupi dengan selimut tebal. Badannya sudah sangat dingin.

"Zara!" Dzefa mencoba membangunkan Zara. "Wake up, wife! Zara, please!" ucap Dzefa takut.

"Hmm!" Zara menggeliat kecil. "Dingin!" bisiknya.

Dzefa segera mengambil baju dari lemari dan memakaikannya pada Zara.

"Suami!" panggil Zara, matanya sudah sedikit terbuka. Dia memegang tangan Dzefa. "Aku sudah berendam berjamjam. Jangan jijik lagi padaku!" ucapnya lemah lalu mulai memejamkan mata lagi.

Dzefa kaku!

"Dasar bodoh!"

***

Bersambung.