Pesona seorang Kalvian memang tidak pernah ada celahnya. Pagi ini dia dibalut oleh kemeja hitam yang menambah kesan penampilan segar, dengan dasi warna merah, celana hitam yang licin dan sepatu pantofel yang mengilat. Rambutnya yang tidak pernah ditata rapi malah menambah kesan seksi dan menggoda. Sepertinya sosok pria yang satu ini memang diciptakan hanya untuk menggoda para kaum hawa dan membuat para kaum lelaki gigit jari karena iri.
Pukul 06.30 pagi, Vian sudah menempati tempat duduknya di pantry ruang makan dengan secangkir coffee hitam di tangan kanannya serta Koran di tangan kirinya, sandwich yang tinggal separo tergeletak di atas piring. Mengisi perutnya sebelum memulai segudang kegiatan―menumpuk uang―dengan segala asset yang di milikinya. Selepas pertemuannya kemarin dengan Kea, sorenya kekasihnya itu memutuskan untuk kembali ke Paris dengan menggunakan pesawat jet pribadi milik Vian. Pria itu setidaknya bertanggungjawab karena sebelumnya menahan perempuan itu untuk kembali ke Paris. Sehingga pagi ini dia kembali makan sendirian seperti hari-hari biasanya.
Sebuah dering telfon menginterupsi kegian paginya. Pria itu melirik sekilas ponselnya dan langsung menjawab panggilan itu saat mengetahui kalau yang menelfonnya adalah seseorang yang sudah melahirkannya. "Halo, Ma, sapa Vian setelah meletakkan cangkir kopinya mengalihkan fokusnya pada koran yang sedang dia baca tadi. "Ada apa?" imbuhnya bertanya tujuan Ibunya menelfon di pagi hari seperti ini.
"Kau sudah berangkat ke kantor?"
"Belum, aku masih sarapan," jawab Vian. Kenapa? tanyanya kemudian.
"Kalau begitu kau bisa mengantar Briena dulu, 'kan? Mobil Briena rusak dan sekarang masih di bengkel. Kasihan dia kalau harus naik angkutan umum. Kau antarkan dia ya," pinta Mamanya membuat Vian memutar bola matanya jengah.
"Ma, aku harus ke kantor. Lagipula kantorku dan kantor Briena berlawanan arah. Aku bisa terlambat nanti," bantah Vian menolak permintaan Ibunya. "Memangnya dia hanya punya satu mobil," gerutu Vian yang masih dapat didengar oleh sang Ibu.
"Mobil Briena ada di rumahnya, akan memerlukan banyak waktu kalau dia harus menyuruh sopir keluarga mengirim mobil ke apartemennya. Sudahlah, kau saja yang mengantarnya. Kau itu 'kan bos di perusahaanmu, jadi kalau terlambat juga tidak apa-apa," celoteh Ibu Vian sekenanya.
"Ma, tap―." Panggilan langsung di matikan secara sepihak oleh Ibu Vian.
Lalu sebuah pesan masuk dari Ibunya, membuat Vian semakin kesal.
Massage frome : Mom
Mama tidak mau tahu, pokoknya kau harus mengantar Briena ke kantornya. Titik.
Itulah bunyi pesan tersebut.
"Sial," maki Vian kesal. Pria itu mencari kontak nama Briena di ponselnya dan kemudian mendial nomor tersebut. "Kau mau aku mengirimimu satu mobil atau kau pilih naik taksi?" ucapnya langsung bahkan sebelum Briena mengucapkan kata 'halo'.
"Apa maksudmu?" tanya Briena heran.
"Mama menyuruhku untuk mengantarmu ke kantor. Kau pilih mana? Dikirim mobil atau naik taksi?" ujar Vian memberi pilihan, pria itu lebih memilih untuk mengirimkan satu paket mobil kepada Briena daripada mengantarkan perempuan itu ke kantor. Vian sangat tidak menyukai hal-hal yang tidak efisien dan praktis.
"Kau sudah gila ya? Mobilku masih banyak di garasi rumahku, untuk apa kau mengirimiku mobil? Aku tidak suka naik kendaraan umum walaupun itu taksi," oceh Briena menggebu-nggebu.
"Jadi kau mau aku mengantarmu ke kantor? Huh! kesal Vian. Kau tahu kalau aku tidak suka mengantar atau menjemput seseorang yang tidak sejalan denganku.
"Siapa yang minta kau antar? Huh! Aku bisa ke kantor sendiri! Kau tidak usah repot-repot ke sini!" balas Briena ikut berteriak. Wainta itu kesal karena mood paginya yang cerah harus tercoreng karena sikap menyebalkan Vian.
"Bagus kalau begitu. Lain kali kalau mobilmu rusak lagi, pastikan Mamaku atau Mamamu tidak tahu, supaya mereka tidak menyuruhku melakukan hal yang tidak berguna," ketus Vian.
"Lebih baik aku jalan kaki daripada harus naik mobilmu, brengsek," maki Briena lalu mematikan panggilan tersebut secara sepihak.
"Sial! Dimatikan. Berani sekali dia mematikan ponselnya saat aku belum selesai bicara. Lagipula tadi kan aku yang menelfonnya, kenapa jadi dia yang mematikan sambungannya? " omel Vian menatap tajam ponsel di tangannya. Untung saja matanya tidak terdapat sinar laser yang dapat menghancurnya benda apapun yang ditatapnya. Pria itu lalu mengambil jas armaninya tanpa melanjutkan acara minum kopinya yang jadi berantakan karena pertengkarannya dengan Briena.
Briena menaruh ponselnya dengan kasar ke atas bench dapur. Mendengkus kesal karena paginya ternodai dengan omelan menyebalkan Vian. Briena berjengit kaget saat sebuah lengan kekar memeluknya dari belakang. Tetesan air dari rambut basah pria itu membuat Briena sedikit bergidik merasakan dinginnya. Pria itu baru saja keluar dari kamar saat Briena menyelesaikan panggilannya. Lalu melangkah menghampiri perempuan itu dan langsung memeluknya erat saat dilihatnya raut kesal di wajah kekasihnya.
"Siapa yang membuatmu marah-marah di pagi hari begini?" bisik Ares di telinga Briena.
"Vian," Jawab Briena singkat.
Ares mengangguk samar kemudian melepas pelukannya dari tubuh Briena. "Kita berangkat bersama, aku akan mengantarmu ke kantor. Sekalian aku mau bertemu rekan bisnisku di salah satu café dekat kantormu, ujar pria itu.
Briena berbalik menatap Ares yang terlihat menawan dengan setelan kemeja berwarna biru gelap. Hehm.
"Ngomong-ngomong, nanti aku akan menemui calon suamimu," ucap Ares meraih dasi di atas kursi kemudian menyuruh Briena untuk memakaikannya.
"Vian? Untuk apa kau bertemu dengannya?" tanya Briena heran. Tangannya sibuk dengan simpul dasi di kerah kemeja Ares.
"Bisnis, kau fikir apalagi. Aku tidak mungkin melabraknya karena dia sudah berani menikahi perempuan yang sudah menjadi kekasihku," sahut Ares bercanda.
"Kalaupun kau menghadiahi dia satu pukulan, aku juga tidak akan keberatan."
"Aku ingin sekali melakukan hal itu, Bi, tapi sayangnya kita sama-sama tahu kalau aku tidak punya alasan untuk melakukannya," jawaban dari Ares membuat Briena bungkam.
"Kita berangkat sekarang." Briena bergerak mengambil tasnya.
Ares tersenyum penuh arti kemudian mengikuti Briena yang berjalan menuju pintu keluar apartemen.
Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.
Please, give me a power stone .
Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.
Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.
Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)
PYE! PYE!