Pagi ini Briena terlihat sarapan pagi sendirian di sebuah restoran. Kedua sahabatnya menghilang saat dia bangun tadi pagi, mungkin mereka sedang berburu pasangan di pulau ini. Briena tak ambil pusing dengan dua sahabatnya itu, kini ia tengah menikmati masakan eropa, di Restaurant La Vio De yang letaknya tepat di depan hotel tempat ia menginap. Perempuan itu memilih spaghety sebagai menu sarapan paginya. Sambil menunggu pelayan membawakan makanannya, ia menyibukkan diri dengan ponselnya, mengobrol lewat grub chat dengan dua sahabatnya.
"Boleh aku bergabung denganmu?" tanya Vian bahkan tanpa menunggu ijin dari si pemilik meja, pria itu sudah duduk manis di hadapan perempuan yang hanya memandangnya dongkol.
Briena tak mengacuhkan pria di hadapannya, masih sibuk dengan ponselnya.
"Hei, kau masih kesal karena pertengkaran kita kemarin di bandara? Ayolah, lupakan saja. Kita ini pemilik hampir separuh property yang ada di Indonesia, jadi kodrat itu tidak bisa kita hindarkan lagi. Lupakan masalah kemarin, hehm?" ujar Vian saat melihat respon Briena yang hanya diam saja.
"Jadi kau ingin kita berdamai?" sahut Briena sinis.
"Kau bisa menganggapnya begitu."
Briena hanya mendengkus sinis, tak menyambut baik tawaran perdamaian yang ditawarkan oleh Vian barusan.
"Ngomong-ngomong... pesonamu memang sangat luar biasa, Nona Virendra. Bahkan saat kau hanya memakai kaos rumahan dan jins seperti sekarang. Para hidung belang seperti mereka sudah terlihat akan memangsamu," ujar Vian melirik kumpulan pria yang sedang memandang calon tunangannya itu penuh minat-atau mungkin sangat berminat. "Kau berani bertaruh, apa yang ada di kepala bejat mereka saat menatapmu?" tanya Vian tersenyum miring ke arah Briena yang masih duduk dengan tenang.
"Aku tidak tertarik dengan taruhanmu. Lagipula sepertinya kau tertarik sekali dengan para pria yang mengagumiku. Jangan membuatku tertawa dengan kecemburuanmu, Vi," ketus Briena tak acuh, perempuan itu tatap melanjutkan kegiatannya bertukar pesan dengan dua sahabatnya.
"Satu menit pertama, mereka masih mengagumi semua pesonamu. 2 menit kemudian, mereka mulai berfikir, hotel mana yang sangat bagus, gaya apa yang sangat pas, lingerie model apa yang cocok dan pantas kau kenakan. Dan menit-menit selanjutnya, mereka akan sangat frustasi karena tidak bisa merealisasikan fantasi kotor mereka untuk bercinta denganmu. Kau sangat tahu kalau mereka tidak mungkin bisa membawamu ke atas ranjang," cibir Vian tersenyum miring, pria itu tetap mengungkapkan komentarnya walaupun mendapatkan respon tak acuh dari Briena. Dan Vian merasa puas sekali karena sudah membuat Briena naik darah oleh ucapannya barusan. Perempuan itu pasti sangat marah karena merasa di rendahkan.
Brengsek!
Apa di otak pintar Vian, para lelaki memang hanya memikirkan seks saat mereka melihatku?
Kenapa bukannya bangga justru aku merasa sangat murahan?
Tapi bukan Briena namanya, kalau dia kalah dalam adu mulut dengan pria itu―lebih tepatnya semua orang―. Perempuan itu seperti punya alarm yang membuatnya selalu ingin tampil dominan, siapapun lawan bicaranya nanti. Lagipula sikap pria itu memang menyebalkan, sedetik mengibarkan bendera perdamaian tapi sedetik setelahnya mengibarkan bendera permusuhan.
Sebenarnya apa yang diinginkan pria sok ini?
Detik itu juga Briena membuang fikirannya yang tidak perduli taruhan Vian tadi dan dengan sangat waras mengikuti permainan yang dibuat oleh pria itu. "Kau melupakan pria sejenis dirimu, Tuan Kalvian. Aku sangat yakin kalau kalian menginginkan sesuatu, kalian cenderung hanya terfokus pada satu hal dan tidak akan bisa dialihkan, meskipun diberi pilihan lain yang mungkin lebih menarik. Karena di otak kalian, apa pun yang kalian inginkan haruslah menjadi milik kalian. Apalagi hanya seorang perempuan, terlepas status mereka single atau sudah taken. Kalian selalu mengklaim mereka sesuka hati kalian," ujar Briena sarkatis.
Vian masih diam mendengar ucapan sarkas milik Briena.
"Taruhanku adalah mereka akan menghampiriku lalu menciumku detik itu juga. Itu 'kan yang akan dilakukan oleh pria sejenis dirimu. Tidak peduli dimanapun dan kapanpun kalian berada, mengagung-agungkan sikap dominansi kaum kalian, huh?" Briena tersenyum sinis ke arah Vian. "Tapi tentu saja hal itu hanya akan ada di otak kotor kalian," imbuhnya dengan gigi gemeletuk, memperjelas setiap perkatanya.
Pria di hadapannya hanya diam setelah mendengar kalimat panjang dari Briena. Meskipun merasa terusik namun rupanya Vian dengan sekuat tenaga berusaha mengontrol emosinya pada tahap serendah mungkin. Briena masih mengamati gerakan pria itu yang sekarang sudah berdiri dari kursinya lalu berjalan menghampirinya dan kemudian duduk di samping Briena.
Pria itu memang membenarkan ucapan Briena barusan, dia tidak akan melepaskan umpan yang sudah membangkitkan hormone testoteran-nya. Tapi tentu saja Vian bukan tipe pria yang akan bertindak murahan seperti tebakan perempuan itu. Sebenarnya alasan utamanya karena Vian tidak ingin berbagi.
"Bi, kau ingin aku beritahu, apa perbedaanku dengan pria yang kau anggap sejenis diriku tadi? Oh, kau tenang saja... aku mengakui ucapanmu dalam hal kepemilikan. Tapi sepertinya kau perlu aku beritahu satu hal," ujar Vian mulai mendekatkan tubuhnya pada tubuh Briena.
Briena masih bersikap tenang di kursinya, berusaha takterusik dengan jarak yang semakin dikikis oleh Vian.
"Para keparat itu mungkin akan menciummu dengan bringas lantaran nafsu yang mendominasi tingkah bejat mereka," ujar Vian berhenti sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Briena yang memerah.
Briena menatap balik wajah Vian, lebih tepatnya tatapan sinis. Vian sangat tahu kalau perempuan itu tidak mungkin menghindar. Ego perempuan itulah yang membuatnya tetap bertahan di tempat duduknya sekarang, bahkan saat Vian semakin mendekatkan diri padanya.
"Tapi kalau aku... aku akan menciummu seperti ini." Vian mengambil daftar menu yang berada di atas meja, mengarahkan buku menu itu agar menutupi akses orang lain untuk melihat adegan yang sebentar lagi terjadi. Pria itu lalu mengulum bibir ranum Briena dengan sangat lembut, menggunakan satu tangannya yang bebas untuk menekan tengkuk perempuan itu. Singkat namun Vian yakin kalau ciumannya berefect besar pada Briena karena sedari tadi perempuan itu hanya diam membeku. Sesaat kemudian Vian lalu melepas ciuman itu dan berkata, "Lalu aku akan menarikmu keluar dari sini, mengajakmu ke apartemenku, kemudian menciummu lagi sampai kau sadar bahwa akulah yang memegang kendali," bisik Vian tepat di telinga Briena. "Kau tahu Bi... aku bukan saja orang yang segala sesuatunya harus terpenuhi, tapi aku juga sangat protective pada apa yang sudah ku klaim menjadi milikku. Itu artinya, aku tidak akan membiarkan siapapun menikmati ciumanmu walaupun hanya dengan kenikmatan mata. Terlebih lagi, aku tidak akan membiarkanmu tersentuh oleh orang lain," imbuh Vian tersenyum miring.
Pria itu merasa puas sudah membuat Briena mengepalkan tangannya saking emosinya. Awalnya pria itu membahas tentang taruhan, lalu sekarang tiba-tiba dia ingin memperlihatkan pada Briena mengenai betapa dominannya dia dalam suatu hubungan. Pria itu ingin memperjelas perbedaan antara kaum Adam dan Hawa dan Briena sangat tidak suka jika diremehkan.
"Cih, terdengar sangat murahan untuk pria sekelas dirimu, Vi. Sounds boring! Pantas saja hidupmu monoton. Lain kali cobalah memberi kesempatan pada pasanganmu untuk memegang kendali atas dirimu."
Sepertinya dugaan Vian salah kalau kalimat panjangnya mampu membuat perempuan di hadapannya bungkam. Buktinya Briena masih saja dapat membalas ucapan pria itu. Kini giliran Vian yang melirik sinis Briena.
"Sekarang bukan lagi zamanya pria yang lebih mendominasi, tapi perempuan juga bisa. Kaummu selalu berpendapat bahwa, pria yang harus dominan dan perempuan yang harus submitif. Pendapat kalian terbentuk bukan karena kalian takut kalau ego kalian terluka lantaran merasa direndahkan, 'kan?" sinis Briena mengejek. Perempuan itu terkekeh sebentar sebelum lanjut berkata, "Oh, ternyata benar seperti itu," ujarnya pura-pura terkejut saat melihat ekspresi pria di hadapannya.
Rahang Vian mengeras karena emosi, tapi pria itu memilih untuk diam.
"Aku beritahu, ya... percuma saja kalian berpendapat seperti itu karena pada kenyataannya, perempuan bisa membuat kaum pria di bawah kendalinya," bisik Briena di telinga Vian setelahnya menepuk pundak pria itu lalu terseyum semanis mungkin.
"Aku pergi dulu, nikmati makanan yang sudah aku pesan." Briena lalu beranjak dengan gaya anggun kemudian melangkah meninggalkan Vian yang diam membeku.
Pria itu lagi-lagi mengagumi tingkah dan mulut pedas Briena yang selalu bisa mengimbangi tingkah laku dan perkataannya.
Makasih kalian semua sudah dukung cerita ini. Maaf jarang menyapa kalian, tapi plis dukung anak-anak saya ya.
Please, give me a power stone .
Jangan lupa juga kasih bintang dan review cerita saya yang lain, supaya anak-anak saya terkenal dan banyak yang baca.
Semoga Mas Vian dan Mbak Briena bisa naik rangking. Dukung mereka dengan memberi komen, like, atau power stone.
Thank you semua, ayam flu(๑♡⌓♡๑)
PYE! PYE!