"Kenapa tadi gak mau aku jemput aja?" Shandy dan Senja berjalan beriringan. Menaiki eskalator menuju lantai dua, tempat diselenggarakannya acara launching buku.
Senja tersenyum lebar, kemudian menggeleng. "Nggak usah kak, nanti ngerepotin," balasnya. Degup jantungnya masih belum aman. Baru kali ini dia jalan berdua bersama dengan seorang cowok, apalagi cowok yang selama ini disukai olehnya.
Entah Shandy mendapatkan ide darimana mengajak Senja menghadiri acara launching buku seperti ini. Senja sangat menyukainya. Mungkin jika Shandy mengajaknya ke tempat lain seperti nonton bioskop atau hanya nongkrong, Senja pasti akan mencari seribu alasan untuk menolaknya.
"Nggak lah. Nanti pulang aku anter ya," kata Shandy. "Jangan nolak! Aku gak biasa biarin cewek pulang sendirian," imbuhnya sebelum Senja membuka mulutnya untuk menolak.
Senja mengangguk pasrah. Baiklah dia akan menganggap hal itu sebagai kebaikan hati dari kakak kelasnya.
Area tengah lantai dua yang biasanya diisi oleh tumpukan buku pada meja-meja, disulap menjadi area acara launching buku. Tiket yang didapatkan oleh Shandy itu adalah tiket terbatas. Launching buku dari penulis favorit mereka berdua tersebut hanya mengeluarkan beberapa puluh tiket yang akan mendapatkan buku gratis beserta tanda-tangan dan souvenir lainnya. Selain yang mendapatkan tiket, mereka berbondong membeli buku dan mengantri mendapatkan tanda tangan sang penulis.
"Udah rame Kak," seru Senja. Matanya mengedar ke sekitar. Tempat untuk yang mendapatkan tiket dan tanpa tiket berjajar di tempat berbeda. Senja dan Shandy berdiri diantara banyak remaja seusia mereka yang mendapatkan tiket dan antrian lebih sedikit.
"Iya Nja, tapi Penulisnya belum datang," balas Shandy. Sambil terus berjalan menuju antrian dan memposisikan dirinya di belakang Senja.
Beberapa menit setelah itu, Penulis yang mereka nantikan datang menduduki meja di depan sana. Sedikit sambutan, dan juga penjabaran tentang buku yang sedang dirilis disertai dengan sorak sorai para remaja yang datang. Lalu acara tanda tangan dimulai.
"Kak, bentar lagi giliran kita." Senja mendongak ke belakang, menatap Shandy yang berdiri di belakangnya. Tubuh cowok itu sedikit lebih tinggi dari dirinya. Tanpa disadari oleh Senja jarak mereka sangat dekat untuk saling pandang seperti itu. Lalu Senja mengerjapkan mata dan segera mengalihkan pandang.
Shandy tersenyum manis menatap Senja yang salah tingkah padahal dia belum menjawabnya. Matanya berbinar, wajahnya memerah saat mengalihkan pandang tadi. Membuat Shandy semakin gemas padanya. "Iya Nja. Bentar lagi kita dapat tanda tangan," bisiknya pada Senja yang sekarang sudah kembali membalikkan badan dan menghadap ke depan.
Bulu kuduk Senja berdiri ketika mendengar bisikan, dan merasakan nafas Shandy di tengkuknya. Entahlah, ini karena Senja tidak pernah jalan bareng cowok, atau memang Shandy selalu memperlakukan cewek seperti itu? Senja tidak mengerti, yang jelas dia hanya ingin segera menjauhkan perasaan aneh itu. Senja mengelus tengkuknya. Kemudian tersenyum singkat pada Shandy.
Acara launching buku berjalan lancar hingga akhir, Senja dan Shandy juga sempat menyaksikan sampai acara penutupan kemudian beranjak keluar dari toko buku. Jam dinding menunjukkan pukul enam sore, langit juga sudah petang. Lampu-lampu jalan di sekitar alun-alun juga sudah mulai menyala.
"Jalan-jalan dulu yuk Nja!" ajak Shandy.
Senja menoleh ke arah Shandy. Mulutnya belum sempat mengucapkan penolakan, kakak kelasnya itu sudah memegang tanganya, lalu menarik turun tangga di sebelah kanan mereka, menuju area parkir motor di basement toko buku.
"Kak, kita mau kemana?" Senja mengucapkan sebuah pertanyaan saat Shandy memasangkan helm padanya. Gerakan cowok itu cekatan sekali. Seolah dia tahu kalau Senja pasti akan kabur.
Shandy menundukkan kepalanya saat memasangkan kancing pada helm, kemudian mendongak menatap Senja, dan tersenyum. Percayalah, senyuman Shandy sangat manis, membuat detak jantung Senja kembali meronta. "Harusnya pertanyaan dijawab dengan sebuah kalimat, kenapa dia cuma senyum aja? Aduh… ada apa sih sama aku kok gak bisa tenang?" Senja menggerutu di dalam hatinya sendiri. Mungkin jika sekarang dia sedang bersama dengan Raya, pasti akan jingkrak-jingkrak di depannya. Benar kata Raya, kalau selama ini Senja emang suka sama kakak kelas yang satu ini. Lebih dari sekedar ngefans.
"Udah ikut aku aja, gak jauh kok dari rumah kamu, jadi sekalian aku antar pulang," jawab Shandy.
"Eh… nggak—"
"Sstt!" Telunjuk Shandy ditempelkan pada mulut Senja, menepis penolakan dari adik kelasnya itu. Mulai sekarang dia akan berusaha agar penolakan dari mulut Senja tidak lagi terucap. "Ayo!"
Shandy menunggangi kuda besinya. Berbeda dengan Damai yang menggunakan motor matic, Shandy menggunakan motor sport dengan ukuran besar berwarna hitam. Mungkin jika dilihat oleh para cewek-cewek itu pasti keren. Tapi sungguh sejak naik motor tersebut Senja merasa canggung. Bagaimana tidak, saat dia duduk tegak Senja merasa tubuhnya akan jatuh terbawa angin, posisi jok motor membuatnya harus menunduk, dan menempelkan sebagian tubuhnya pada punggung Shandy. Itu sedikit memalukan bukan? Bukankah aneh jika Senja menempel seperti itu sepanjang perjalanan? Tapi memang semua orang selalu seperti itu saat dibonceng motor Ninja ZX-25r. Sungguh, Senja lebih seperti orang bodoh karena kepolosannya sekarang.
"Pegangan aja Nja!" Shandy menoleh ke belakang, membuka sedikit helm sportnya kemudian berteriak. Riuh jalan raya yang mereka lalui sudah pasti tidak akan membuat Senja mendengar apa yang baru saja diucapkan olehnya.
"Apa kak?" Senja terpaksa menundukkan tubuhnya, dan memasang telinga. Benar bukan, dia pasti gak denger, pikir Shandy.
"Pegangan!" Shandy tak banyak menjawab lagi, dia melajukan motornya dengan kecepatan kilat di tengah keramaian kota. Benar sih Senja pegangan, tapi cewek polos itu justru mencengkram jaket Shandy sekuat tenaga. Dia bergidik ngeri karena aksi kebut-kebutan yang dilakukan Shandy. Berhenti di lampu merah, Shandy menarik kedua tangan Senja, dan melingkarkan kedua tangan cewek di belakangnya itu ke perut. "Gini pegangannya, biar gak jatuh," ucap Shandy.
Beberapa detik setelah itu, Shandy kembali melajukan motor. Tidak peduli pada Senja yang masih tercengang di belakang. Sejujurnya sekarang tangannya gemetar, Senja tidak pernah membayangkan dia akan memeluk kakak kelasnya dengan cara seperti itu. Mungkin jika kalian melihat ekspresi Senja sekarang, dia sudah seperti orang yang sedang kebingungan, Perasaannya campur aduk, merasakan getaran di tubuhnya yang semakin kencang dan dadanya yang berdesir. Senja juga merasa mendadak angin yang menerpa tubuhnya begitu dingin. Apa ini yang namanya kencan? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya selama beberapa saat.
Lima belas menit terpaku dengan posisi seperti itu, dan bergelut dengan berbagai hal di pikirannya. Senja sampai tidak menyadari Shandy sudah menghentikan motornya di pelataran parkir yang ramai.
"Nja! Udah sampai," kata Shandy.
Senja tersentak, mendengar kalimat yang diucapkan Shandy. Refleks tangannya melepaskan rangkulan di perut Shandy dan turun dari motor besar itu. "Kita dimana kak? Rame banget," ujarnya. Sedikit khawatir.
"Kamu gak pernah kesini?" Shandy balik bertanya, tanpa tahu bahwa sebenarnya Senja sangatlah tidak nyaman berada di keramaian seperti itu. Dan sama dengan yang dilakukannya tadi, Shandy menarik tangan cewek itu, untuk mengajaknya masuk ke salah satu coffee shop.