Obrolan untuk belajar bersama tapi dari balkon masing-masing diurungkan. Damai lebih memilih untuk menatap layar ponsel dan memperhatikan dengan seksama foto profil tetangga sebelahnya. Beberapa kali dia memotret buku tugas yang sebenarnya tidak ada masalah sebagai bahan obrolan untuk Damai bersama Senja.
"Lo emang beda Nja," gumam Damai. Mendenguskan hidungnya sambil tersenyum membaca pesan masuk dari Senja. Isinya hanya penjelasan panjang kali lebar tentang soal yang baru saja difoto oleh Damai.
"Semoga aja si Aska cepet dapetin kelemahan Senja, biar gue bisa terus ngerjain dia. Kayaknya kalau buat tugas doang gak perlu ngancem-ngancem deh. Ni anak sama sekali gak pelit ilmu." Damai tak henti bergumam dan tersenyum. Dia juga tanpa sadar bicara sendiri sama panjangnya dengan penjelasan Senja di ponselnya.
"Besok gue bakal ganggu dia lagi," ucapnya, sambil membayangkan apa yang akan menjadi bahan untuk mengganggu Senja esok hari. Senyum lebar dari mulut Damai berangsur memudar begitu teringat tentang tiket launching buku. Telinga Damai masih waras, dan dia jelas mendengar bahwa Shandy mengatakan bahwa acara launching buku tersebut adalah besok.
[Yaudah, hari ini cukup deh. Gimana kalau besok kita belajar bareng?]
Setelah hampir sepuluh soal yang difoto dan dijabarkan dengan sangat baik oleh Senja, Damai mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Tujuannya adalah mencari tahu apakah Senja menerima tawaran Shandy tadi atau tidak.
Damai mengetuk jari telunjuknya berkali-kali pada meja belajar. Tak sabar menanti jawaban Senja. Tiga detik seperti sudah tiga jam saja dia menunggu ponselnya berbunyi. Dua detik setelah itu, ponsel Damai menyala. Dia menghela nafas panjang sebelum membuka balasan dari Senja.
[Boleh, tapi mungkin agak malam. Karena sore aku mau keluar.]
Seketika tatapan Damai lesu, melemparkan ponselnya ke atas meja belajar dengan sembarang. "Jadi, apa bener lo pacaran sama dia?" gumamnya sendiri. Karena menurut Damai, jawaban itu sudah jelas mengatakan bahwa Senja menerima tawaran Shandy. Dan itu membuat pertanyaan di dalam dadanya semakin besar.
Selepas itu, Damai memutuskan untuk berhenti membalas pesan Senja. Dia lebih fokus pada tugasnya sampai jam dua pagi. Damai sudah mencoba untuk tidur sekitar tiga jam yang lalu, namun di atas ranjang dia hanya membolak-balik badannya gelisah. Jadi, dia kembali lagi ke meja belajar dan menyelesaikan tugasnya.
Sedangkan cewek manis di balkon sebelah sudah terlelap dengan ponsel di tangannya. Kalau boleh jujur Senja sudah ngantuk sejak Damai memanggilnya dari balkon tadi, tubuh dan pikirannya lelah sekali. Bahkan Senja tidak menyadari kata "Manis" yang diucapkan Damai tadi itu murni untuk dirinya.
Keesokan harinya, kegiatan sekolah berjalan dengan lancar. Tidak ada hambatan yang serius selain rasa penasaran yang ada di dalam hati Damai. Masih tentang hubungan Senja dan Shandy, hari ini Damai tidak mengganggu tetangganya itu ataupun mendekatinya sampai ke perpustakaan seperti kemarin.
Damai lebih memilih memperhatikan dari jauh selama di area sekolah. Melihatnya dari bangku belakang pada jam pelajaran, dan mengamati dari meja kantin yang berjauhan. Senja terlihat menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Sesekali dia juga tertawa bersama Raya. Hari ini Raya dan Aska juga tidak makan bersama. Dia bersama dengan Senja seharian. Dalam beberapa tempo, mereka juga terlihat sedang membicarakan hal yang serius.
Ketika jam sekolah berakhir, Senja terlihat mendahului Raya dan pergi naik ojek yang sudah menjemputnya di depan gerbang sekolah. Damai segera berlari menyusul Raya.
"Ya!" panggil Damai.
Sebelum menjawab Damai, Raya terlihat menengok ke kanan, kiri dan belakang Damai. Seperti sedang mencari sesuatu. "Lagi cari Aska?" tanya Damai yang sudah tahu gelagat sahabat Senja tersebut.
"Iya, tapi untung aja kamu gak sama dia. Kita lagi marahan, jadi aku males ketemu dia dulu," timpal Raya jujur.
Damai mengangguk-angguk. Jadi, itulah alasan mengapa Raya dan Aska seharian ini tidak bersama. Sebenarnya Rama dan Yudha juga sudah membahas tentang hal itu tadi di meja kantin. Namun perhatian Damai sepenuhnya tidak berada di meja tempatnya duduk. Melainkan di meja lain. "Ah, nggak kok. Aska dah balik tadi," balas Damai.
"Oke deh. Jadi, ada apa kamu manggil aku? Gak pulang? Senja baru aja pulang," balas Raya santai. Semakin hari, Raya sudah semakin terbiasa menghadapi Damai. Pesona Damai yang di awal membuat Raya klepek-klepek, sudah membuatnya tidak heboh lagi. Seperti saat mata kita menyipit karena membutuhkan penyesuaian jika baru saja masuk ke dalam ruangan yang sangat terang, sekarang sudah bisa terbuka normal.
"Iya. Gue tahu. Lo mau keluar sama Senja?" tanya Damai. Mulutnya melenceng dari apa yang seharusnya dia tanyakan. Damai merasa tidak pantas jika langsung bertanya apa Senja hari keluar bersama Shandy pada Raya. Dia berharap apa yang dipikirkannya salah. Bahwa Senja memang pergi bersama Shandy hari ini.
Raya menggeleng. "Dia mau ke acara launching buku. Sama kakak kelas," balas Raya. Santai. Dan benar saja, itulah jawaban yang diharapkan Damai. Ternyata memancing Raya memang lebih mudah daripada memancing jawaban Senja.
"Oh…," balas Damai. Nadanya melemah kecewa sambil mengangguk pelan.
"Kenapa Mai?" tanya Raya.
"Nggak. Kemarin katanya Senja mau bantuin gue ngerjain tugas, tapi agak malem. Gue cuman takut udah ngantuk aja," balas cowok ganteng itu. Mencari alasan.
"Yaelah. Kan kalian tetangga, tinggal tidur aja dulu." Raya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diutarakan oleh Damai tanpa curiga sama sekali. Wajah cewek berambut pendek yang biasanya selalu ceria itu, memang sedikit ditekuk dan tidak bersemangat. Mungkin karena itulah sejak awal tadi dia hanya menjawab Damai sekenanya saja. Sampai akhirnya Raya berpamit pulang mendahului Damai. Padahal biasanya dia selalu mencoba untuk terus lebih akrab dengan selebgram itu. Damai bisa menggaris bawahi bahwa itu adalah efek pertengkarannya dengan Aska.
***
Pukul tiga sore Senja dan Shandy janji bertemu di tempat acara launching buku. Lokasinya berada pada salah satu toko buku terkenal di pusat kota Malang. Tak jauh dari alun-alun kota Malang. Hanya berjalan beberapa meter saja dari sana.
Senja turun dari ojek online yang ditumpanginya, kemudian setengah tergesa menaiki beberapa anak tangga menuju ke pintu masuk toko buku. Dia sudah melihat Shandy berdiri disana. "Maaf ya kak. Aku telat," jawabnya.
Shandy tersenyum menatap Senja. Berbeda saat dia berada di area sekolah. Kali ini cewek itu terlihat semakin manis, menggunakan celana jeans, blouse berwarna peach yang semakin membuat kulit kuning langsatnya bersinar cerah dan sepatu kets polos putih. Serta tas selempang kecil sebagai pemanis. Shandy juga sedikit terpesona dengan rambut Senja yang diikat setengah ke belakang menggunakan pita, senada dengan warna bajunya. Meskipun sedikit rusak karena helm. "Enggak. Aku yang terlalu awal. Ini aja belum mulai kok," jawab Shandy.
Tangan kakak kelasnya itu reflek merapikan beberapa helai rambut Senja yang keluar dari ikatannya dan tertimpa angin mengenai wajah manis Senja. Shandy mengarahkannya ke belakang telinga Senja perlahan. "Maaf," ucapnya canggung. Begitu menyadari tingkahnya sudah mulai aneh karena pesona adik kelasnya itu.
Senja hanya terpaku menatap Shandy, kemudian berdehem dan mengalihkan pandang. Jantungnya mulai tidak aman dan meronta ingin keluar dari tubuhnya. "Tenang Nja!" batinnya sambil mengatur nafas.
"Yaudah, masuk yuk!" ajak Shandy yang tak ingin situasi canggung seperti itu terus berlanjut.