webnovel

Ditolong Mantan

"Coba deh Jane. Ini adalah minuman paling hot yang pernah ada."

"Maaf ya, aku tidak minum alkohol."

Jane mendorong gelas yang sodoran padanya. Belum sempat menjauh, satu suara yang diiringi suara lainnya sudah bersahutan terdengar.

"Yah cupu banget anak baru."

"Duh ... duh. Kagak masuk circle kita nih."

Hahaha ....

Suara tawa bersahut-sahutan dengan musik dari piringan hitam yang diputar sang disk jockey.

Jane yang tidak enak hati. Mengambil gelas belimbing di depannya. Isinya air berwarna kuning mirip teh kuning yang biasa dia konsumsi saat malam. Tapi Jane yakin, ini sebuah alkohol yang bisa saja memabukkan dirinya.

"Eh bisa kok," ucap Jane ragu.

Tangannya sudah menggenggam gelas yang sejak tadi disodorkan padanya.

"Ayo Jane!"

"Jane ...!"

"Jane ...!"

"Jane ...!"

Dengan sangat terpaksa, Jane menenggak habis minuman tersebut. Rasa terbakar langsung memenuhi tenggorokannya. Dia kewalahan. Seluruh dunianya seperti berputar. Hingga sosok laki-laki mendekat ke arahnya, membuat ia kembali mengingat masa lalu. Hingga dirinya tumbang dipelukan sang pahlawan tampan.

Ruangan dengan semerbak bunga mawar memenuhi indra penciuman Jane. Dia meraba sekitar, terasa begitu hangat seperti habis ditiduri orang lain.

Dengan kesadaran yang masih begitu tipis, Jane memaksa tubuhnya untuk bangun.

"Ugh pusing sekali. Minuman apa yang mereka berikan. Menjijikkan sekali," keluh Jane dengan suara serak.

Dia baru sadar tenggorokannya seperti terbakar. Dia meraba ke atas nakas, dan untunglah menemukan satu botol air mineral yang sudah berkurang isinya.

Ragu-ragu Jane membuka tutupnya.

"Isinya sudah berkurang. Apa aku harus meminumnya? Tapi tenggorokanku rasanya begitu kering?"

Menjalani pergolakan batin beberapa saat, Jane memutuskan untuk meminum saja air mineral tersebut.

"Kau sudah bangun?"

Jane tersentak saat mendengar suara laki-laki. Dia memandang ke sumber suara dan mendapati sesosok pemuda yang begitu dia rindukan.

"Kalau dikerjai orang jangan mau. Untuk apa memiliki banyak teman, tapi menyesatkan semua. Lebih baik satu atau dua, tapi bermanfaat."

Jane mendongak tidak percaya. Bagaimana bisa laki-laki ini ada di sini. Terlebih tubuhnya hanya berbalut handuk. Perut kotaknya terekspos begitu saja. Seperti menantang Jane untuk menyentuhnya.

"Kau kenapa ada di sini?" tanya Jane yang suaranya belum sepenuhnya kembali.

"Em. Jane tolong tutup bagian dada dahulu. Aku tidak fokus menjelaskan kalau kau masih telanjang seperti ini."

Nakula mendekat dan menaikkan selimut yang sempat turun dari tubuh Jane. Dia benar-benar sangsi melihat tubuh indah itu lagi setelah sekian lama. Seperti dulu kala, getaran itu masih saja begitu menggodanya.

"Ah ...! Kau apakan aku! Bedebah! Mati saja kau Nakula!"

Jane berteriak begitu keras. Dia baru sadar, tubuhnya tanpa memakai apa pun di balik selimutnya.

"Tenanglah dulu. Ini pakailah. Aku meminta petugas membelikan sesuai ukuranmu, semoga cocok."

Jane menerima tas kertas dari tangan Nakula dengan kasar. Dia membawa selimut dan berlari ke dalam kamar mandi. Begitu ketakutan dengan Nakula yang memandangnya dengan penuh minat.

"Ah, kau masih sama saja seperti dulu."

Nakula tersenyum mendapati perempuan yang sempat menghancurkan hidupnya dulu ada di hadapannya. Pilihannya kembali ke negara ini sudah cukup benar.

Nakula menarik kaos dari paper bag berbeda. Dia memang membeli dua setel untuknya satu dan juga Jane. Perempuan yang saat ini dia yakin sedang mengutuk dirinya sendiri di dalam toilet.

"Kurang ajar Nakula. Bisa-bisanya dia membuka seluruh pakaianku. Dia pikir dia siapa hah! Mana bajunya pas begini di tubuh. Aku yakin dia sudah mengukur duluan. Mana ada laki-laki yang bisa secermat ini kalau belum pegang-pegang."

Jane terus saja menyumpahi Nakula. Pria yang baik hati telah menolongnya itu harus mendapatkan caci maki hanya karena telah membuka pakaian Jane. Tapi Jane sama sekali tidak tahu. Kalau Nakula lah yang sudah menolongnya.

Jane keluar dari kamar mandi dengan wajah ditekuk. Gaun selutut yang membalut tubuhnya begitu membuatnya mempesona. Tidak ada Jane yang polos dan menggugah birahi seperti tadi. Yang ada Jane cantik dan anggun dan tentunya siap diajak bicara.

"Sini duduk dulu."

Nakula menepuk sebelah dirinya yang kosong. Meski mendekat tidak serta menjadikan Jane menuruti apa yang dikatakan Nakula.

"Dengar ya Nakula. Aku kalau pun saat nanti aku hamil hasil perbuatan kau malam ini, aku jamin kau tidak bisa melihat atau membawa anakku. Aku tidak mau dia bersedih karena memiliki ayah sebrengsek kau."

Tiba-tiba saja Jane mengacungkan jari telunjuk tepat ke hadapan Nakula. Pemuda yang melipat tangan di bawah kepalanya itu menekuk keningnya heran.

"Loh mana bisa begitu. Namanya anak harus tahu mana ayah mana ibunya. Kalau hanya ibunya saja ya mana mungkin."

Nakula mengulum senyum setelah mengatakan hal tersebut. Yang mana membuat Jane semakin meradang. Dia begitu gemas dengan ekspresi yang Jane tunjukkan.

"Hei kok diam saja? Mau disentuh lagi?" goda Nakula.

Jane mundur beberapa langkah. Dia bisa melihat kabut hasrat di mata terang Nakula.

Seharusnya Jane mengakui dia juga amat merindukan pria itu. Tapi rasa gengsi yang dia junjung tinggi membuat egonya menolak keras kehadiran pria di hadapannya.

"Mundur Nakula. Kau tidak benar-benar menodai aku kan?" tanya Jane takut.

Dia tidak yakin Nakula berbuat sekotor itu padanya. Tapi mengingat tubuhnya telanjang tanpa sehelai benang satu pun, membuat pertahanannya patah. Tidak mungkin Nakula tidak menyentuhnya sama sekali.

"Menurutmu?" tanya Nakula yang sudah berdiri di depan Jane. Jarak mereka begitu dekat. Bahkan Jane bisa menghidu aroma shampoo khas hotel yang begitu sama dengan yang ia pakai.

"Jangan macam-macam Nakula. Aku tidak akan pernah memaafkan kau!" teriak Jane begitu nyalang.

Siapa yang ingin dinodai, meski dengan pria yang dia cintai walau dalam keadaan tidak sadar sekali pun. Jane masih cukup waras untuk memikirkannya.

"Kau bilang akan hamil anakku. Kalau sekali mana cukup. Lagi yuk."

Nakula mendaratkan bibir di telinga Jane. Perempuan itu bergidik merasakan geli di setiap embusan napas yang Nakula berikan padanya.

"Nakula please menjauhlah. Aku membencimu."

Suara Jane bergetar. Dia menangkap dada Nakula agar tidak menempel di tubuhnya. Dia benci bentuk tubuh ini. Dia benci segala sesuatu yang berhubungan dengan mantan kekasihnya ini.

"Kenapa aku yang menjauh. Bukankah kau yang mendekat padaku."

Nakula diam di tempatnya. Dia mendapati Jane mendorong-dorong dadanya. Tapi satu hal yang membuatnya hampir tertawa. Gerakan tangan Jane seperti mendamba dirinya. Tidak serta merta hanya sekedar mendorong. Tapi lebih dari itu.

"Nakula please. Aku sudah—"

"Sudah?"

"Aku sudah memiliki kekasih. Jadi menjauhlah, hubungan kita sudah berakhir."

Nakula tidak percaya begitu saja. Dia merentangkan tangan Jane ke atas. Mementok tubuh itu ke dinding. Dengan tanpa ampun mulai mengikis jarak di antara mereka.

***