Aya mengetuk pintu ruangan Wati, barulah Aya masuk keruangan setelah Wati mempersilahkannya masuk. Lantas Wati meminta Aya duduk, menunggunya sebentar untuk menyelesaikan bacaannya pada dokumen yang harus di tanda-tangani.
"Gimana Ya? Bukannya kamu harus ada di Genie buat persiapan acara launching." Tanya Wati setelah selesai dengan urusan dokumennya. Aya menghela nafas sebentar.
"Wat, aku denger katanya perusahaan kirim surat pemecatan ke Citra?" Sebaik-baik apapun menyembunyikan rahasia, pasti baunya akan terendus juga. Sebenarnya Wati tidak ingin menyembunyikan ini dari Aya, namun suaminya mendapatkan pesan dari Tian untuk tidak mengatakan pada Aya terlebih dahulu.
"Iya, maaf Ya, aku gak bilang ke kamu sebelumnya. Aku udah gak bisa mencegah keputusan perusahaan lagi." Sesal Wati melihat sorot kesedihan dari Aya.
"Aku gak permasalahin itu Wat. Aku mau tanya apa Citra menerimanya langsung? Atau mungkin Umi Abinya?" Satu harapan Aya, yaitu ingin mengetahui kabar dari Citra.
Wati menggeleng. "Surat itu masih dalam pengiriman karena tak ada satupun penerima."
Aya menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Meneteskan air mata yang tertahan di pelupuk matanya sedari tadi. Lantas Wati berdiri dan memeluk Aya.
"Ya, jangan nangis nanti aku ikut nangis." Wati menahan tangisnya sekuat tenaga. Baru kali ini Wati memiliki teman yang selalu ada di sampingnya, namun Citra menghilang dan meninggalkan kesedihan untuknya. Wati tahu Ayalah yang paling menderita dan paling merasa bersalah kepada Citra, karena Aya yang paling lama mengenal Citra dan menurut Aya penyebab menghilangnya Citra tidak lain karena mimpi terkutuknya.
"Aku kangen Citra Wat." Wati semakin mengeratkan pelukannya pada Aya. Wati mengangguk. "Aku juga." Kini bulir air mata Wati terjun dengan bebasnya karena tidak dapat ditahan lagi.
"Ini semua salah aku Wat. Seharusnya aku tidak berteman sama siapapun bahkan dengan kamu." Wati menggeleng.
"Enggak Ya, aku mau berteman sama kamu itu karena itu kamu Ya, bukan karena mimpi kamu. Kalaupun aku mati suatu hari nanti, itu bukan salah kamu, tapi itu takdir." Aya menggeleng, melepas pelukan Wati dan berdiri dihadapan Wati.
"Wat, janji sama aku. Kalau mimpi tentang kamu datang, kamu harus jauhin aku. Enggak! Seharusnya mulai dari sekarang kamu menjauh dari aku." Wati mengguncang tubuh Aya untuk menyadarkan Aya dari fikiran bodohnya.
"Itu pilihan aku mau berteman dengan siapapun. Kamu gak bisa larang aku Ya."
Fikiran Aya kalut, karena mimpi yang Aya dapatkan semalam terasa sangat nyata. Mimpi itu mengganggu kinerja otaknya.
"Bilang sama suami kamu buat sampein ke Tian juga. Dia gak boleh ada di samping aku lagi." Wati menggeleng, melihat Aya hancur seperti ini.
"Aku pamit dulu. Aku pasti udah di tunggu sama timku buat pergi ke Genie." Ucap Aya sembari mengusap sisa air matanya sembarangan.
*
Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata saat melihat penampilan Aya yang berantakan, berbeda dengan pagi tadi yang masih sangat rapi. Tidak ada yang berani membuka suara bahkan hanya untuk menanyakan apa yang terjadi.
"Ayo turun. Sudah sampai." Ucap Aya membuat semua orang yang melamun segera turun mengikuti Aya.
Meira, Yuda, Vano dan Angel berjalan di belakang Aya. Sesekali mereka saling menyikut untuk berjalan disamping Aya.
Tatapan mata semua orang saat melihat mereka sekarang, bagaikan melihat bawahan yang takut dengan atasan. Aya yang menyadari timnya menghindarinya hanya bisa menghela nafas, ini semua karena mimpi sialan itu yang menyebabkan mood Aya tidak baik.
Lift berdenting.
"Aya!" Tatapan Aya jatuh pada Kevin yang sudah ada didalam lift.
"Siang pak." Sapa Aya segera masuk kedalam lift dan diikuti rekan satu timnya.
"Hari ini tinggal pemantapan aja ya Ya." Ucap Kevin membuka percakapan disaat merasakan hawa dingin melingkupi mereka.
"Iya pak, kemarin juga sudah mencapai kesepakatan akhir dari desain aplikasi." Kevin mengangguk paham.
"Oh iya. Joy bilang dia pengen ketemu lagi sama kamu." Sontak Yuda, Meira, Vano dan Angel mendekat dan menajamkan telinga mereka. Joy? Siapa itu? Mereka sangat penasaran.
"Mungkin nanti pak, saat kesibukan saya berkurang." Dengan cekatan Yuda mengambil hpnya dan merekam kejadian didepannya, untuk laporan hariannya pada Tian.
"Kakak saya juga pengen ketemu sama kamu. Bagaimana? Apa kamu mau berkunjung kerumah saya? Tenang saja nanti saya yang jemput." Yuda membulatkan mulutnya mendengar perkataan Kevin, ini adalah modus pendekatan. Bisa-bisa Tian keduluan. Sedangkan yang lain saling menatap tak percaya.
"Boleh pak. Bapak tentukan saja waktunya." Tentu ini hanya formalitas saja untuk Aya dan Aya tidak benar-benar ingin pergi ke rumah Kevin. Tapi tidak begitu menurut Yuda dan yang lain.
Kevin mendekat kearah Aya dan meraba pipi Aya yang masih terdapat bekas-bekas air mata Aya pagi tadi. Semua orang didalam lift terkejut bukan main, melihat Kevin yang perhatian kepada Aya.
"Kamu habis nangis Ya?" Ucap Kevin segera menyadarkan dirinya, setelah secara tidak sadar menatap bibir Aya lama.
Kevin berusaha menghilangkan bekas air mata itu, namun Aya dengan sigap menggeserkan tubuhnya menjauh dari Kevin.
"Kelihatan ya pak?" Tanya Aya khawatir. Jadi ini sebabnya rekan satu timnya menjaga jarak dengannya. Benar-benar mememalukan.
"Banget."
Lift kembali berdenting.
"Saya turun dulu, nanti saya susul kalian keatas. Oh iya jangan lupa tentukan waktu, saya masih punya utang traktiran makan sama kalian." Ujar Kevin disambut anggukan kepala oleh Aya dan yang lainnya.
Yuda, Meira, Angel dan Vano menatap Aya penuh tanda tanya. Mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang bos Genie yang berhutang traktiran pada mereka.
"Hutang traktiran apa Ya?" Ucap Yuda memberanikan diri bertanya pada Aya.
"Itu loh, masalah karyawan mereka yang nyusahin kita buat ngerombak aplikasi yang udah kita buat dari awal." Semua orang kompak membulatkan mulut mereka.
"Kalau itu kita gak akan nolak Ya. Yuk cepetan ya, kita tentuin waktunya." Ucap Angel bersemangat, mulai berani menggandeng sebelah tangan Aya.
Ting! Pintu lift terbuka.
Aya dan yang lain segera keluar dari pintu lift untuk menuju ruang rapat yang sudah dipersiapkan oleh perusahaan ini untuk mereka.
"Sekalian juga pesen restoran yang mahal Ya. Sekali-kali makan makanan mewah gitu." Meira menambahkan. Aya tersenyum melihat timnya kembali menghangat. Aya harap mimpinya tidak akan menyentuh orang-orang manis ini.
"Kamu ada masalah ya Ya? Cerita sama kita." Aya menggeleng.
"Udahlah No, lagian ini masalah pribadi kalau bisa gak bakal aku campurin ke pekerjaan." Ucap Aya sembari duduk dikursinya dan diikui yang lain sambil menyiapkan bahan rapat hari ini.
"Nah itu. Daripada nanti pekerjaan jadi berantakan, kan mending sharing ke kita." Semua orang mengangguk setuju dengan ucapan Vano.
"Makasih. Nanti aja deh aku ceritanya. Sekarang kita fokus dulu nyelesain proyek ini sampe sukses." Putus Aya, tidak ingin memperpanjang masalah yang membuat otaknya bekerja keras.
"Siaap!"
"Pasti sukses."
Ujar mereka sangat yakin. Aya harap juga begitu.
"Oh iya Yud, video yang kamu rekam tadi hapus." Yuda membulatkan matanya sempurna, rupanya Aya tahu perbuatannya.
"Kayaknya percuma deh Ya." Bibir Yuda memucat, intinya dirinya akan menjadi salah satu sasaran kemarahan Aya atau Tian. Yuda tinggal pilih saja, tapi sepertinya kali ini pilihannya jatuh pada Aya.
"Jangan bilang kamu kirim videonya ke Tian." Tebak Aya.
"Hehehe."
Dengan cepat Yuda berlari keluar dari ruangan, untuk menghindari amukan Aya.
Aya melihat semua timnya dengan sendu, seandainya Aya mendapatkan salah satu mimpi tentang mereka, maka Aya akan segera mengundurkan diri dari perusahaan.