Aya memeras kedua tangannya kuat-kuat, menghentak-hentakan kakinya tak sabar untuk segera menerobos kemacetan pagi ini.
"Kamu mikirin apa Ya?" Tanya Tian yang melihat gelagat tak biasa dari Aya.
"Ha? Enggak kok."
"Jangan bohong, aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu." Aya sudah memberitahu Tian semalam, sekarang Aya berfikir dua kali untuk mengatakannya lagi atau tidak.
Kaki Aya yang tidak bisa tenang seketika berhenti saat Tian menggenggam erat sebelah tangannya.
"Cerita aja Ya. Kamu bisa berbagi segala hal ke aku."
"Eeehm, tentang nenek yang semalem."
"Kenapa sama nenek itu? Dia dateng kerumah kamu?"
"Bukan gitu. Aku cuma masih kefikiran sama perkataannya."
"Gak usah difikirin, buktinya Citra masih baik-baik aja kan? Dari kejadian malam itu."
"Iya Yan. Tapi aku dikabarin kalau semalem Citra lagi perjalanan pulang kesini, sampe sekarang belum bisa dihubungin." Tian mengeratkan genggamannya.
"Ya, kamu tenang dulu. Nanti pas sampe dikantor kamu langsung cek Citra udah berangkat apa belum. Semoga dia baik-baik aja. Lebih baik sekarang kamu berdoa sama yang punya dunia dan seisinya."
"Dan tentang jam itu. Aku rasa kamu harus tetap pakai, bagaimanapun ayah kamu yang susah-susah dapetin itu untuk kamu. Percaya saja sama ayah." Aya mengangguk, mulai memejamkan matanya. Berdoa kepada Sang Ilahi agar semua orang yang berada didekatnya baik-baik saja.
Hati Aya sedikit lebih ringan ketika menyelesaikan doanya.
"Oh iya Yan. Makasih ya."
"Buat?"
"Kamu sudah percaya sama semua mimpi-mimpiku selama ini."
"Aku percaya karena itu pilihanku Ya. Jadi kamu gak perlu berterima kasih untuk itu."
*
Aya berjalan dengan cepat keluar dari lift. Semalaman hatinya sangat tidak tenang setelah mendengar perkataan nenek-nenek misterius itu, terlebih posisi Citra tadi malam sedang dalam perjalanan pulang dan tidak bisa dihubungi.
Walaupun tadi pagi Tian memberinya bekal ketenangan, namun Aya tidak akan benar-benar tenang sebelum melihat Citra dengan mata kepalanya sendiri.
Tubuh Aya hampir terjatuh ke lantai karena lemas, melihat meja milik Citra belum berpenghuni. Aya khawatir jika sesuatu terjadi pada Citra.
Aya menoleh begitu seseorang menepuk bahunya. Seketika suatu lubang besar dalam hati Aya kembali tertutup. Kekhawatirannya meluap entah kemana. Rupanya Citra baru saja datang.
"Eh, muka kamu pucet banget loh Ya." Aya segera memeluk Citra kuat-kuat. Mencoba menghilangkan kepanikannya yang belum sepenuhnya menghilang.
"Eh kenapa nih peluk-peluk. Dilihatin yang lain tahu." Aya tidak peduli, yang Aya tahu saat ini hatinya sangat tenang. Sedangkan Citra hanya bisa tersenyum kikuk pada semua orang yang memperhatikan mereka berdua.
Aya melepaskan pelukannya, bersiap meluncurkan banyak pertanyaan dari kepalanya.
"Sampe sini jam berapa?"
"Jam sebelas malem."
"Terus kok gak ngabarin?"
"Hp aku rusak lagi Ya. Ntar temenin beli ya?"
"Okesip."
*
Aya memijat pelipisnya mendapati proyek yang hampir selesai ini berantakan karena ulah salah seorang yang tidak sengaja membawa virus kedalam flash disk.
Aya memperhatikan Yuda yang sibuk mengotak-atik laptop yang terpasang flashdisk itu. Aya tidak mengerti, yang Aya harap file tersebut dapat dikembalikan dengan segera.
Semua orang dalam tim Aya sekarangpun nampak duduk dengan tegang, menunggu amukan Aya yang mungkin sebentar lagi akan meledak.
Saat Aya sibuk memperhatikan pergerakan Yuda, tiba-tiba Yuda berhenti dan menghela nafas kasar. Semua orang disana bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Gimana Yud, bisa?" Sekali lagi Yuda menghela nafas kasar, membuat semua orang khawatir.
"Yud?" Tanya Aya sekali lagi.
"File nya balik dong. Hehehe." Seketika semua orang merasa lega, senyum kembali menghiasi lima orang yang ada disana.
"Kurang ajar lo Yud, bikin jantungan tau!"
"Ya nih, hasil pekerjaan kita jangan dibuat main-main dong."
"Tapi makasih ya Yud."
"Ya dong, gue gitu lulusan IT terbaik."
Aya memberikan waktu pada anggota timnya untuk menenangkan hati yang sehabis mengikuti lomba lari.
"Oke, karena file sudah balik kita bisa lanjut, pastikan setiap menyimpan filenya jangan hanya di satu flash disk ya. Mulai sekarang biar aku yang pegang flash disk utama dan cadangan biar dipegang sama..." Aya memanglah bodoh karena tidak tahu nama anggota timnya. Aya melirik Yuda sekilas.
"..Angel."
"Tapi Ya, pas aku pegang malah jadi kena virus loh. Mending pegang ke Vano atau Yuda nih."
Aya tersenyum. "Aku lebih percaya kalau cewek yang pegang. Cowok itu jaga barang suka ceroboh, tapi bukan aku gak percaya mereka berdua atau kamu ya Mei. Soalnya kalian sudah aku bagi rata tugasnya."
Semua orang mengangguk paham.
"Ya sudah, sekarang kita break dulu. Oh iya, nanti kalau proyek kita uuntung besar aku bakal traktir kalian makan."
"Bener nih?"
"Yeay! Makasih Ya."
*
"Bagus hpnya?" Sindir Wati pada Citra yang sibuk memainkan hp barunya.
Siapa yang tak kesal jika Citra diantar untuk beli hp tapi kerjaannya hanya berputar kesana kamari. Bahkan masih kebingungan memilih setelah dibantu customer servicenya.
Aya dan Wati hanya bisa mengerti dikala anak sultan, hp rusak langsung beli. Tidak seperti Wati yang harus menabung walau dengan jabatan tinggi dan juga Aya yang butuh waktu untuk membeli hp keluaran terbarunya ini.
"Biarin aja sih, lagi seneng dapet hp baru." Bela Aya. Aya rasa cukup bila Citra nampak sangat menyukainya.
Saat ini Aya berada di rumah Citra. Duduk bersandar di sofa dengan kaki yang diselonjorkan ke bawah dan setoples besar camilan pada pahanya. Sedangkan matanya terfokus pada film yang sedang berputar.
"Lo jadi cerai Wat?" Ceplos Aya, bahkan Citra yang sedari tadi fokus mengutak-atik hp barunya kini menatap Wati penasaran.
"Aduh, udah deh. Aku lagi males bahas itu."
"Ada apa, cerita aja sama kita?" Aya mengangguk setuju dengan ucapan Citra.
"Sidang terakhir udah digelar, sekarang tinggal nunggu surat keputusan aja, habis itu kita resmi cerai deh."
"Loh kok tu cowok plin-plan sih? Kata Tian si Verdi mau pertahanin lo? Ups." Aya menutup mulutnya.
"Tian bener ngomong gitu Ya?" Aya mengangguk lemah.
"Ya gimanapun, nasi sudah jadi bubur. Walaupun Verdi udah berubah tapi di dalam hati, aku masih ada rasa curiga, apalagi setiap malem dia kerja di club."
"Iya sih, aku denger dari Tian juga, kebiasaan lamanya itu agak gak bagus." Ujar Aya menambahi.
"Tapi kok setahu aku dia baik ya?" Aya dan Wati menatap Citra penuh tanda tanya.
"Maksudnya? Kamu kenal Verdi?"
"Bukannya kenal sih. Tapi pas malam aku diajak Farhan buat ke club, kamu inget cewek yang jagain aku Ya, pas aku ditinggal Farhan?" Aya mengangguk.
"Tau, tapi lupa namanya."
"Nah ternyata cewek itu disuruh sama yang punya club buat nganter aku ke ruang karyawan biar aman. Padahal cuma karena dia tahu aku itu bawahan istrinya gitu. Nah siapa lagi kalau bukan kamu Wat?"
Benarkah seperti itu? Lalu kenapa Verdi menyembunyikan semua kebaikannya dari Wati? Malah menunjukkan dengan sukarela keburukannya.
Lamunan Wati buyar ketika mendapat sebuah panggilan telfon. Tanpa melihat nama orang yang menghubunginya, Wati segera mengangkatnya.
Aya dan Citra melihat raut wajah Wati yang menjadi sangat pucat. Wati terdiam sebentar setelah telfon tertutup.
"Verdi mau jemput gue."