"Kamu ingin menyentuh tubuhku, kan? Atau kamu ingin kita bercinta sekarang?" tanya Ardan dengan senyum manis khas miliknya. Sekar mulai panas dan ia menatap Ardan dengan mata bulatnya.
Sekar tertawa dan berusaha mendorong tubuh Ardan agar menjauh darinya. Ardan bergeming dan semakin menahan tangan Sekar. Rontaan Sekar semakin membuat Ardan bergairah.
"Apa mau kamu?" tanya Sekar setelah usahanya melepaskan diri gagal total. Pegangan Ardan cukup kuat dan tenaganya habis.
"Kejujuran," balas Ardan. Sekar semakin salah tingkah dan membuang wajahnya ke arah kiri agar tidak semakin jatuh dalam pesona yang dipancarkan Ardan.
"Kenapa kamu buang wajah, tatap aku dan katakan kalau kamu pun tidak menginginkan aku menyentuh setiap inci tubuh kamu," ucapan Ardan cukup membuat tubuh Sekar terbakar gairah. Setiap sentuhan Ardan membuat kulitnya terasa terbakar, napasnya sesak, dan Sekar tidak mau larut dalam gairah yang belum pernah ia rasakan seumur hidupnya.
"Aku ... sttsss," Sekar mendesis sambil menutup matanya saat Ardan mengusap pipinya.
"Kamu sudah bergairah Sekar," goda Ardan setelah melihat wajah Sekar mulai memerah, napasnya tersengal-sengal, dan semakin lama rontaan tadi semakin berkurang.
Sekar mengutuk reaksi tubuhnya yang tidak sejalan dengan otaknya. Otaknya menolak tapi tubuhnya memberi reaksi lain.
"Aku ..." Sekar bingung dan tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Gairah semakin memuncak dan membuatnya kesakitan. Sekar ingin merasakan setiap sentuhan Ardan di tubuhnya. Sekar merasa kalah karena gairahnya dan lupa kalau ia sangat membenci Ardan.
Sekar reflek menarik kaos Ardan hingga tubuh mereka menyatu, napas Sekar semakin terdengar dan Ardan tersenyum melihat keberanian Sekar. Sekar mencium Ardan dengan kasar dan beringas, bahkan Sekar bisa merasakan bibirnya perih akibat ciuman panas tadi.
Sekar merasakan asinnya darah yang tadi keluar dari luka akibat gigitan Ardan di bibirnya. Ardan lalu turun dari ranjang dan mengambil tissue untuk menghapus darah di sudut bibir Sekar.
"Kamu ternyata ..."
"Hentikan ... jangan rusak suasana pagi ini," oceh Sekar setelah menghapus darah di bibirnya.
Ardan mengangguk dan kembali mendekati Sekar dengan menarik kakinya agar mendekati tubuh Ardan. Sekar berteriak kecil saking kagetnya, dada Sekar naik turun melihat bagaimana Ardan memperlakukannya. Ardan lalu mencium Sekar sekali lagi dan kali ini lebih lembut dan entah kenapa Sekar merasa bulu kuduknya langsung berdiri setiap Ardan menyium dan menyentuh tubuhnya, seperti ada getaran aneh menyelimuti tubuh Sekar.
Ciuman panas nan lembut tadi berhenti dan berganti dengan kuluman yang lembut pada buah dada Sekar, perlahan semakin menggairahkan dan tidak dapat ditahan lagi Sekar pun mulai menggeliat dan mendesah di atas ranjang. Sekar lalu mengarahkan jarinya ke rambut Ardan lalu Sekar menjambak ketika tubuhnya mulai bereaksi akibat nafsu dan gairah. Tubuh Sekar semakin bergetar saat tangan Ardan menarik ikatan kimono handuk Sekar dengan tatapan masih mengarah ke mata Sekar tanpa kedipan, seakan ia ingin memakan Sekar sampai ketulang-tulangnya.
"Enak?" tanya Ardan menggoda Sekar. Reflek Sekar mengangguk walau langsung ia sesali. Sekar menggigit bibirnya, lagi-lagi Ardan tersenyum melihat reaksi malu-malu mau yang ditampilkan Sekar.
"Aku ingin kamu jujur,"
"Jujur tentang apa?" tanya Sekar lagi.
"Isi hati kamu," balas Ardan sambil meletakkan jarinya di dada Sekar.
"Perlu bahas itu dalam kondisi kita seperti ini," elak Sekar. Ardan lalu memasang kembali kimono Sekar dan berbaring di samping Sekar. Wajah Sekar terlihat kecewa dan ia pun menarik selimut untuk menutupi rasa malunya.
"Aku tidak mau kita bercinta hanya karena nafsu dan gairah. Aku menghormati kamu sebagai seorang istri dan juga wanita," ucapan Ardan sedikit menyentil hati Sekar. Ia baru sadar kalau ternyata Ardan tidak sejahat apa yang dipikirnya. Ardan berusaha berubah sejak mereka menikah dan sekarang Ardan lebih menghormatinya baik sebagai istri, wanita, dan manusia.
"Aku ...," Ardan memutar kepalanya dan menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh Sekar lalu memutar tubuh Sekar agar wajah mereka saling berhadapan, "Aku ingin kita memulai dari awal. Aku ingin pernikahan ini tidak sekedar nafsu belaka tapi pernikahan sesungguhnya, karena aku ... aku ... sangat mencintai kamu," sambung Ardan yang akhirnya berani mengutarakan isi hatinya. Sekar menatap mata Ardan dan melihat kesungguhan di matanya.
Ardan tertawa miris melihat reaksi Sekar dan sadar perasaannya masih bertepuk sebelah tangan tapi Ardan tidak akan menyerah sampai kapan pun untuk meluluhkan hati Sekar walau ia harus melewati ribuan halangan sekali pun.
"Apa yang membuat kamu mencintai aku. Bukankah kamu membenciku?" tanya Sekar.
"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, yang aku tahu cinta ini ada entah sejak kapan dan aku benci jika memikirkan perbuatan-perbuatan yang dulu pernah aku lakukan. Aku memang bajingan tengik dan tidak tahu diri," balas Ardan.
"Jadi ... aku tidak akan menyentuh kamu sampai kamu bisa memaafkan aku, lebih baik kita pulang dan lupakan kejadian hari ini." Ardan lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mendinginkan kepalanya yang panas akan gairah.
Sepanjang perjalanan dari hotel menuju apartemen Sekar dan Ardan sama-sama diam membisu. Tidak ada pembahasan tentang apa yang mereka lakukan di hotel tadi. Sekar lebih memilih menatap jalanan ibukota yang macet dibandingnya menatap Ardan.
"Besok aku akan kembali ke kantor," akhirnya Ardan memutuskan mencairkan ketegangan di antara mereka denga pembahasan tentang rencana Ardan untuk kembali ke kantor.
"Hmmm," jawab Sekar singkat.
"Aku tidak akan mengekang kebebasan kamu lagi. Aku tidak akan memaksa kamu untuk tinggal di apartemen jika kamu tidak mau tinggal," sambung Ardan lagi.
Ardan sudah memikirkan segalanya saat ia mengurung diri di kamar mandi hotel dan Ardan memilih mencintai Sekar dengan caranya.
Sekar melihat ke arah Ardan dan hatinya sedikit sedih mendengar apa yang barusan diucapkan Ardan. Tersirat jelas dari kata-katanya Ardan mengizinkan Sekar untuk pergi.
"Maksud kamu,"
"Aku sudah bilang kalau aku akan memulai dari awal, aku tidak akan mengurung kamu di apartemen lagi tapi aku juga tidak akan melepaskan kamu, aku akan berjuang sampai kamu mau memaafkan dan menerima aku lagi," balas Ardan.
"Kamu pikir aku bisa ke mana saat ini, andai aku masih sendiri mungkin aku bisa pergi tapi sekarang ada Alleia, dan anak itu baru merasakan keluarga utuh," Sekar menggigit bibirnya atas apa yang barusan ia ucapkan. Seharusnya ia senang Ardan akhirnya mau memberinya kebebasan tapi kenapa reaksinya berbeda dengan apa yang ia pikirkan.
"Aku tetap ayahnya Alleia sampai kapan pun,"
"Aku ..."
Ardan menepikan mobilnya dan mengambil tangan Sekar yang terpasang cincin kawin yang dulu ia sematkan.
"Apapun keputusan kamu akan aku turuti, kamu tetap mau tinggal di apartemen aku akan sangat bersyukur atau kamu memutuskan tinggal di apartemen lain pun aku akan turuti, sekarang semua keputusan ada di tangan kamu," ujar Ardan sambil memainkan cincin kawin itu.
"Aku ..."
Drttt drttt
Ardan mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Arjuna muncul di layar ponselnya.
"Halo,"
"Tuan maaf saya mengganggu tapi Tuan dan Nyonya harus segera pulang, Nona Alleia muntah-muntah dan sekarang saya sudah membawanya ke rumah sakit,"
"Astaga! Kenapa kamu tidak segera memberi tahu saya!"
"Ponsel Tuan mati sejak semalam, maaf kami lalai menjaga Nona Alleia,"
Sekar ikut panik saat Ardan melajukan mobilnya dengan kencang.
"Ada apa? Kenapa kamu panik seperti ini," tanya Sekar.
"Alleia ... Alleia sakit, kamu jangan khawatir. Arjuna dan Nimas sudah membawanya ke rumah sakit," Sekar langsung menangis dan ikut panik. Ardan menautkan jarinya ke tangan Sekar untuk menenangkan Sekar agar tidak terlalu mengkhawatirkan Alleia.
"Anak kita,"
"Jangan takut," genggaman Ardan semakin erat dan Sekar akhirnya sadar kalau ia butuh Ardan di sampingnya. Setahun bersama Ardan mengubah segala hal, Sekar sadar kalau semakin lama ia semakin terpesona dan semakin sulit lepas dari Ardan.
Ardan dan Sekar bersyukur Alleia hanya masuk angin dan dokter menyarakan untuk sementara Alleia di rawat di rumah sakit sampai kondisinya membaik.
"Maafin kami Tuan," ujar Arjuna merasa tidak enak.
"Untungnya kalian sigap dan membawa Alleia langsung ke rumah sakit, terima kasih dan maaf sudah membuat kalian kesusahan." Arjuna cukup kaget melihat perubahan Ardan yang tidak melampiaskan emosinya seperti dulu. Ardan lebih tenang dan Arjuna yakin ini semua karena Sekar. Arjuna tidak menyesal dengan keputusannya apalagi setelah melihat Sekar sekali pun tidak melepaskan pegangannya di tangan Ardan.
"Ya sudah, kalian pulang saja dan kami yang akan menjaga Alleia. Nimas sepertinya butuh istirahat," Ardan melihat Nimas yang lesu sedang duduk sambil memejamkan matanya. Arjuna mengangguk dan membantu Nimas yang terlihat lemah.
"Sebaiknya kita ke dokter," ajak Arjuna setelah merasa demam Nimas tak kunjung turun.
"Nggak, aku hanya butuh tidur."
"Jangan bandel," Arjuna langsung menggendong Nimas dan membawanya ke ruang UGD. Nimas tidak bisa menolak setelah tenaganya benar-benar terkuras. Arjuna membaringkan tubuh Nimas di ranjang dan meminta dokter memeriksa kondisi Nimas.
"Aku hanya demam biasa kok, ya kan dok?" tanya Nimas. Dokter mengangguk dan menuliskan resep obat lalu menyerahkan resep itu ke tangan Arjuna.
"Aku tebus obat ini dulu dan kamu istirahat saja," ujar Arjuna. Nimas mengangguk dan mulai memejamkan matanya.
Arjuna lalu meninggalkan Nimas menuju apotik sambil membaca resep yang tadi diberi dokter.
"Awww," tanpa sengaja Arjuna menabrak seseorang hingga orang itu terjatuh.
"Ma ... af, ya ampun!" Arjuna shock melihat siapa yang ditabraknya. Arjuna lalu membantu orang yang ditabraknya untuk berdiri.
"Arjuna!"
"I ... Ibu Renata,"
Renata menarik Arjuna agar Pasha tidak melihat pertemuan mereka. Renata ke rumah sakit untuk memeriksa apakah ia bisa hamil dalam waktu singkat dan ternyata di rumah sakit yang sama ia bertemu dengan Arjuna.
"Ardan mana?" tanya Renata sambil mencari keberadan Ardan.
"Bisa kita bicara berdua?" tanya Arjuna.
"Tentang apa?"
"Saya sudah lihat semua email Ibu dan sebelum Ibu memberi tahu Tuan Ardan, sebaiknya Ibu ikut sama saya."