webnovel

Objek Fantasi Liar

Ardan menarik tubuh Sekar agar semakin dekat dengannya. Ardan meletakkan tangan kirinya di pinggang Sekar sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan Sekar. Alunan musik mulai bermain dan reflek tubuh mereka berdua mengikuti setiap irama musik yang mengalun indah. Mata mereka saling bertemu dan Sekar memilih membuang wajahnya supaya Ardan tidak sadar kalau sejak awal napasnya terasa tercekat.

"Kamu harus lebih mengecilkan pinggang berlemak ini," Ardan sengaja membuat lelucon agar rasa tegang dan kaku di antara mereka bisa hilang. Sekar mengerucutkan bibirnya dan menghentakkan kakinya dengan kesal.

"Kamu itu menyebalkan!"

"Hahahaha kamu semakin cantik kalau sedang marah, tapi alangkah baiknya wajah cantik ini kamu hiasi dengan senyuman." Ardan mengelus pipi Sekar dengan tangannya. Sekar terkesima dan menutup kedua matanya untuk menikmati setiap sentuhan Ardan.

Sekar merasa dirinya sangat bodoh dan tolol. Mulutnya berkata membenci Ardan tapi reaksi tubuhnya berbeda 180 derajat. Sentuhan Ardan tadi membangkitkan gairah yang sudah lama terpendam.

Ardan semakin memeluk Sekar dengan sikap posesif dan ingin memiliki seluruh hal yang ada di diri Sekar. Ardan tidak peduli dengan masa lalu Sekar atau pun dendam yang ada di antara mereka dulu. Ardan hanya menginginkan hati Sekar berlabuh untuknya walau entah kapan itu terjadi.

"Kamu memelukku terlalu erat. Aku bisa mati kehabisan napas," ujar Sekar berusaha melepaskan diri dari Ardan, bukan karena sesak napas tapi Sekar takut pertahanannya runtuh dan melupakan kebenciannya kepada Ardan.

"Maaf," Ardan melepaskan pelukannya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Sudah?" tanya Sekar untuk memastikan tugasnya sebagai istri sudah selesai untuk malam ini.

"Belum," Ardan sekali lagi mendekati Sekar dan ia memegang dagu Sekar lalu mulai mencium Sekar dengan lembut dan penuh cinta. Tidak ada penolakan dari diri Sekar, Sekar mengalungkan tangannya di leher Ardan dan kini tubuh mereka mulai menyatu.

Gairah membakar keduanya, ciuman tadi semakin panas membara dan butuh pelampiasan. Ardan semakin memeluk erat tubuh Sekar begitupun Sekar dengan reflek memeluk Ardan dengan tangannya. Ardan perlahan demi perlahan melepaskan bibirnya dari bibir Sekar.

Sekar terlihat kecewa saat Ardan melepaskan bibirnya. Ardan tertawa setelah melihat kekecewaan di wajah Sekar, "Kamu terlihat frustasi Sekar," bisik Ardan pelan.

"Sembarangan! Siapa juga yang frustasi hanya karena ciuman tadi. Aku tidak frustasi, ciuman tadi hanya bagian dari tugasku hari ini dan jangan harap kamu bisa menciumku seperti tadi dilain kesempatan, jangan harap!" oceh Sekar sambil kembali ke mejanya dan ia langsung meneguk segelas air putih untuk menetralkan detak jantung dan gairah yang hampir membakar tubuhnya.

"Boleh aku menyentuh kamu?" tanya Ardan. Sekar langsung tersedak dan menyemburkan air yang ada di mulutnya, "Bukankah tugas istri adalah melayani suaminya? Dan malam ini masih panjang dan aku meminta hakku malam ini," sambung Ardan.

"Ka ... kamu ..."

"Aku sangat menc ... menginginkanmu," Ardan masih belum berani mengungkapkan perasaannya langsung. Sekar tertawa miris dan membersihkan mulutnya dengan serbet yang ada di tangannya.

"Kamu gila,"

"Ya, aku gila karena mencintai kamu dan rasanya semakin hari semakin sulit untuk menahan diri agar tidak menyentuh kamu," balas Ardan dalam hati.

"Lupakan, sepertinya aku terlalu banyak minum dan mulai melantur," Ardan lalu duduk dan melanjutkan makannya.

Sekar terdiam dan bersyukur Ardan tidak memaksanya. Suasana kembali sunyi dan tenang, hanya bunyi sendok dan garpu memecahkan keheningan malam.

"Sampai kapan kita menunggu Mbak?" tanya Tuan Felix setelah Ibu Marinka perlahan demi perlahan mulai mencuci otak Biyandra dengan cerita-cerita penuh kebohongan.

"Nanti, setelah Biyandra cukup dewasa untuk menguasai harta orangtuanya," balas Ibu Marinka penuh percaya diri, "Kamu pikir Mbak mau mengotori tangan Mbak dengan darah mereka? Tentu tidak Felix, kita tidak perlu turun tangan langsung. Untuk itu kita butuh bantuan Biyandra, anak itu kelak akan menghabisi nyawa kedua orangtuanya atas perintah kita," sambung Ibu Marinka.

"Apakah rencana itu akan berhasil?" tanyanya lagi. Ibu Marinka mengangguk dan menyuruh Tuan Felix menilai sendiri bagaimana pertumbuhan Biyandra sejak diasuhnya. Biyandra jadi lebih pendiam untuk anak seusianya. Tatapan matanya pun kosong setelah Ibu Marinka mendoktrin di otaknya kalau Biyandra anak yang tidak diinginkan oleh Ardan ataupun Sekar.

"Setelah Biyandra remaja barulah kita menjalankan rencana selanjutnya. Untuk saat ini Mbak akan terus mencuci otaknya untuk membenci kedua orangtuanya," 

Ibu Marinka dan Tuan Felix tertawa penuh kemenangan dan tidak sabar menunggu hancurnya Ardan dan Sekar, setelah itu barulah mereka bisa menguasai harta keluarga Mahesa.

Ardan menatap Sekar yang tertidur pulas setelah menghabiskan beberapa botol wine seorang diri. Ardan merapikan anak rambut yang berserakan di pipi Sekar lalu mencium pucuk kepala Sekar dengan tulus.

"Tidurlah dan lupakan semua kenangan masa lalu yang menyakitkan," bisik Ardan pelan.

Ardan lalu meninggalkan restoran dan berencana membawa Sekar menginap di hotel sebelum pulang pagi harinya. Ardan menghentikan mobilnya tepat di depan lobby hotel lalu membuka pintu penumpang.

Dengan hati-hati Ardan menggendong Sekar lalu membawanya masuk ke dalam hotel.

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis yang menyapa Ardan dengan ramah.

"Malam, saya butuh kamar untuk beristirahat malam ini," balas Ardan. Sekar menggeliat dan menyandarkan kepalanya di dada Ardan lalu melanjutnya tidurnya.

"Baik Pak, ini kunci kamar 2333 dan selamat beristirahat," balas resepsionis sambil menyerahkan kunci kamar ke tangan bellboy.

Ardan masih menggendong Sekar dan menyuruh bellboy menuntun jalan mereka menuju kamar yang dipesannya.

Sesampainya di kamar, Ardan langsung membaringkan Sekar di ranjang dan membuka sepatu lalu memasangkan selimut di tubuh Sekar yang mulai merasa kedinginan.

"Dinginnn ..." oceh Sekar sambil menarik selimutnya. Ardan mematikan AC agar Sekar tidak lagi kedinginan walau ia paling tidak bisa tidur tanpa AC.

"Tidurlah dan lupakan semua hal yang membuat kamu sedih," bisik Ardan dan setelah itu Ardan mencium sekali lagi pucuk kepala Sekar.

"Dinginnnn..." Ardan lalu memegang dahi Sekar dan ia langsung kaget saat merasakan tubuh Sekar mulai terasa panas. Ardan langsung membuka selimut dan melepaskan gaun yang terpasang di tubuh Sekar dan menggantinya dengan kimono handuk agar Sekar bisa tidur lebih nyaman.

Ardan sedikitpun tidak beranjak dari sisi Sekar walau peluh sudah membasahi tubuhnya. Kemeja yang ia kenakan sengaja dilepas agar tidak mengganggu geraknya. Ardan beberapa kali mengganti kompres agar demam Sekar menurun. Sekar mulai meracau tidak jelas meski matanya masih tertutup rapat.

"Apa yang kamu mimpikan sih?" tanya Ardan sambil menghela nafas berkali-kali. Ardan lalu berbaring di samping Sekar dan memeluk Sekar agar rasa dingin berganti rasa hangat. Sekar mulai tenang dan tidur dengan nyenyak.

"Buat apa kita ke hotel?" tanya Renata ke Pasha saat Pasha menghentikan mobilnya di depan lobby hotel.

"Aku mohon," pinta Pasha dengan wajah memelas. Sudah berhari-hari ia mencoba membujuk Renata untuk mau mengandung anaknya dan jawaban Renata tetap sama. Renata bersedia jika Pasha mau menikahinya secara resmi.

"Pasha," Renata tahu kalau saat ini Pasha dalam posisi tersudut. Kondisi ibunya semakin mengkhawatirkan dan Pasha butuh bantuan Renata supaya ibunya bisa segera sembuh, "Aku nggak bisa kalau ..." Renata ingin menolak tapi samar-samar ia melihat sosok mirip Ardan baru saja turun dari sebuah mobil sedang menggendong wanita.

"Pasha ... kita harus masuk,"

"Kamu bersedia?" tanya Pasha dengan senyum sumringah saat mendengar Renata mengajaknya masuk ke dalam hotel. Renata dalam posisi terjepit, ia harus masuk untuk mengejar laki-laki yang mirip dengan Ardan walau Pasha berpikir lain.

"Nanti kita bicarakan, kita harus masuk sekarang juga!" ujar Renata dengan nada perintah. Pasha mengangguk lalu keluar dari mobilnya.

Renata mengedarkan kedua matanya mencari sosok laki-laki tadi dan sayangnya Renata tidak tahu ke mana laki-laki itu menghilang.

"Ayo, aku sudah pesan kamar untuk kita," ujar Pasha sambil menunjukkan kunci kamar bernomor 2334. Renata masih mencari sosok yang sangat mirip Ardan dan mengacuhkan Pasha.

"Maureen," panggil Pasha, "Kamu lagi nyari siapa?" tanya Pasha.

"Ah ... itu ... nggak kok," Renata gugup saat melihat Pasha sedang memegang kunci kamar.

"Ya Tuhan, aku terjebak sendiri dan kali ini sepertinya aku benar-benar akan terikat dengan Pasha," rutuk Renata dalam hati.

"Pasha ... aku mau naik ke atas dan kita bercinta tapi setelah itu kamu harus menikahi aku secara resmi. Sekarang semua keputusan ada di tangan kamu," tawar Renata. Pasha terdiam dan tanpa banyak pikir Pasha langsung mengangguk dan menarik Renata masuk ke dalam lift.

Tanpa Renata sadari ternyata jaraknya dengan Ardan hanya terpisah dinding pembatas. Renata tidak sadar kalau keputusannya menerima tawaran Pasha nantinya akan berdampak buruk pada hidupnya dan juga hidup Pasha.

"Terima kasih Maureen," ujar Pasha sebelum mulai membuka satu persatu baju yang melekat di tubuh Renata. Renata mengutuk kebodohannya dan hanya bisa meneteskan airmatanya saat Pasha mulai membaringkan Renata di ranjang, mencium seluruh tubuhnya, dan akhirnya memasuki Renata dengan lembut dan romantis. Renata hanya bisa mencengkram bahu Pasha untuk menghilangkan rasa sakit saat Pasha menyemburkan benihnya di rahim Renata.

Sekar terbangun dalam posisi masih di pelukan Ardan. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuat matanya silau ditambah efek mabuk semakin menambah rasa sakit di kepalanya. 

Sekar menggeliat dan baru sadar kalau posisinya dan Ardan sama-sama dalam kondisi setengah telanjang. Ardan hanya memakai kaos dalam berlengan buntung sedangkan ia memakai kimono handuk yang berantakan. Sekar juga mulai sadar kalau sekarang mereka bukan berada di kamar pribadi mereka tapi di hotel.

"Ya Tuhan! Kenapa kami bisa ada di sini," Sekar mencoba mengingat kejadian tadi malam dan ia hanya mengingat mereka asyik minum dan menghabiskan beberapa botol minuman.

"Ard ... an," Sekar terkesima melihat wajah Ardan saat tidur. Bulu mata Ardan yang panjang semakin menambah rasa kagum Sekar. Sekar menyentuh bulu-bulu halus yang mulai tumbuh di wajah Ardan.

"Dia terlihat tampan saat tidur," puji Sekar dalam hati. Cukup lama ia memandang Ardan dan ada dorongan dari hati Sekar untuk menyentuh bibir Ardan. Pelan-pelan Sekar menyentuh bibir Ardan dengan jarinya dan membayangkan saat bibir Ardan menjelajahi mulutnya.

"Sudah cukup kamu jadikan aku objek fantasi liar," ujar Ardan sambil memegang tangan Sekar lalu membalikkan posisi tubuh mereka. Kini Ardan berada di atas Sekar yang kimono handuknya semakin terbuka lebar dan menunjukkan bagian sensitifnya sedangkan Ardan menahan kedua tangan Sekar.

"A ... aku ..."

"Kamu ingin menyentuh tubuhku, kan? Atau kamu ingin kita bercinta sekarang?" tanya Ardan dengan senyum manis khas miliknya. Sekar mulai panas dan ia menatap Ardan dengan mata bulatnya.

Next chapter