webnovel

Menjerumuskan Diri Sendiri

Nimas masih sulit mencerna dengan hati dan pikirannya tentang niat Ardan mengambil bayi Sekar. Jujur dari hatinya Nimas tidak tega memisahkan bayi itu dari Sekar meski ada sedikit rasa marah saat mengetahui Maudy meninggal karena keteledoran suami Sekar.

"Lebih kejam mana dibandingkan membunuh Mbak dan calon keponakan kamu?" sambung Ardan.

"Dia tidak bersalah dan bisa dibilang kecelakaan itu bukan tanggung jawab dia. Hanya keadaan yang membuatnya menjadi istri supir itu," bela Nimas yang merasa Ardan melakukan ini semua demi melepaskan semua sakit hatinya dan sialnya Sekar menjadi korbannya kali ini.

"Siapa suruh dia menikah dengan pemabuk sialan itu. Seharusnya dia bisa memilih laki-laki yang pantas menjadi suaminya,"

Nimas tertawa dan kembali menatap mata Ardan, "Mas pikir kita bisa memilih menikah dengan siapa? Seperti Mas bisa memilih menikah dengan Mbak Maudy tanpa tahu tujuan kenapa Mbak Maudy mau dan bersedia menikah dengan Mas," ujar Nimas dalam hatinya.

"Andai hari itu dia tidak minum, pasti Maudy dan anak kami tidak perlu meregang nyawa dengan sia-sia," suara Ardan tercekat dan sulit menghapus kesedihan sejak kematian Maudy.

"Jadi Mas menyuruhku ke sini untuk melihat Mas menyiksanya? Sepertinya aku tidak bisa membantu. Tindakan memisahkan anak dari ibu kandungnya sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan, aku tidak sanggup melakukan itu." Nimas akhirnya memberanikan diri menolak keinginan Ardan. Sunggu hati nuraninya tidak mengizinkan Ardan memisahkan anak dari ibu kandungnya apa pun alasannya.

"Kalau begitu Mas akan membunuh bayi itu, pilihannya ada di tangan kamu. Menjaga bayi itu sampai lahir atau melihat bayi itu lahir sebelum waktunya." Ardan terpaksa mengancam Nimas untuk mau membantunya. Ardan butuh bantuan wanita saat Sekar melahirkan nanti. Ardan tidak mungkin membiarkan Arjuna terus menerus membantu Sekar.

"Arjuna harus menjauhi Sekar, kedekatan mereka membuatku tidak nyaman," ujar Ardan dalam hati dan matanya masih tidak berkedip saat melihat Arjuna sedang membantu Sekar menjemur kain yang tadi dicucinya. Tangan Ardan mengepal dan daun jendela ia remas dengan keras.

"Mas membuat aku seperti dia. Tinggal di sini dengan terpaksa, apa bedanya Mas dengan diktator?" tanya Nimas.

"Mas butuh bantuan kamu sampai bayi itu lahir, dan setelah itu kita akan kembali ke Jakarta."

"Wanita itu tidak akan membiarkan Mas mengambil anaknya,"

"Kamu jangan khawatir. Semua sudah Mas atur dan dia tidak akan pernah berani mengambil anaknya dari tangan Mas,"

Nimas membuang napas dengan kesal, untuk sekarang ia hanya bisa nurut dan membantu Ardan. Ia tidak tega membiarkan Ardan menyakiti bayi itu jika ia menolak semua keinginan Ardan.

"Baiklah, aku akan membantu Mas tapi dengan satu syarat …"

Ardan menoleh dan melihat ke arah Nimas, "Syarat apa?"

"Syarat pertama Mas nggak boleh siksa dia di depan aku dan syarat kedua pengawal rese Mas yang bernama Arjuna itu harus tunduk di bawah aku. Aku nggak suka dia memperlakukan aku dengan semena-mena. Aku harus memberinya pelajaran dan jika Mas setuju dengan dua syarat tadi barulah aku akan membantu Mas," Nimas menyunggingkan senyumnya. Akhirnya kesempatan untuk membalas Arjuna datang. Rasa kesalnya sejak pertemuan pertama akan dibalasnya tidak lama lagi.

"Oke, Arjuna milik kamu mulai hari ini." Ardan kembali memutar tubuhnya dan melihat Arjuna dan Sekar sedang bicara. Niatnya untuk menjauhkan Arjuna dari Sekar tertolong atas bantuan Nimas.

Sekar bukannya tidak tahu kalau Ardan melihatnya sejak tadi dan itu membuatnya merasa risih dan kesal. Sekar memeras baju yang masih basah dan menjemurnya dengan asal dan sesekali omelan keluar dari mulut Sekar.

"Untuk apa dia mempersiapkan semua kebutuhan bayiku. Aku tidak akan pernah mau melahirkan di rumah ini. Bayiku butuh tempat kondusif saat lahir dan tempat ini tidak lebih dari tahanan berbentuk rumah," ocehnya dalam hati.

"Tuan sangat mencintai Nyonya Maudy. Seumur hidup saya mengenal Tuan dan saat bersama Nyonya Maudy-lah saya bisa tahu kalau Tuan itu punya sisi manusiawi yang selama ini jarang dia tampakkan," tangan Sekar berhenti meremas baju ketika Arjuna mulai membahas tentang Maudy dan betapa besar cinta Ardan kepadanya.

"Sikap arogan, sombong, tidak punya hati, dan kejam hilang saat berhadapan dengan Nyonya Maudy. Tuan tersenyum dan menunjukkan isi hatinya dengan sikap dan tindakan bukan ucapan. Tuan sebenarnya bukan manusia kejam seperti yang kamu bilang selama ini. Hanya keadaan yang menyebabkan dia bersikap seperti itu," sambung Arjuna lagi.

"Di mata saya, dia manusia kejam dan tidak punya hati."

"Tuan bersikap seperti itu untuk melindungi nyawanya. Di luar sana banyak musuh yang menginginkan dia mati untuk mengambil dan mengeruk hartanya. Jika Tuan bersikap lemah dan baik hati mungkin Tuan tidak akan pernah bisa bernapas sampai hari ini," Sekar melempar kain basah yang ia pegang ke dalam ember kembali.

"Saya lebih memilih dia mati daripada hidup tapi membuat orang disekitarnya sedih dan terluka," emosi Sekar sulit dikontrol dan Sekar merasa Ardan pantas memiliki banyak musuh jika sifatnya saja banyak membuat orang kesal.

Arjuna tertawa pelan dan mendekati Sekar, "Aku bantu," Arjuna mengambil baju yang masih ada di dalam ember dan meremasnya sekuat tenaga.

"ARJUNA!" teriakan Ardan yang menggelegar membuat Arjuna menyerahkan baju yang dipegangnya tadi ke tangan Sekar. Ardan masih menatap Sekar dan Arjuna dari jendela dan di sampingnya berdiri Nimas yang menatap Arjuna dengan senyum sinis dan mulut tidak berhenti mengoceh walau tidak terdengar oleh Ardan. Arjuna mengalihkan matanya ke arah Ardan dan mengacuhkan ocehan Nimas.

"Wanita itu sangat mirip dengan Mbak Maudy dan mereka sangat cocok saat berdiri berdampingan seperti itu," ujar Sekar dalam hati setelah sadar Nimas dan Ardan serasi, "Arghhhh kenapa aku selalu berpikir yang tidak-tidak," Sekar menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaannya.

"Iya Tuan," balas Arjuna.

"Kalian berdua ke sini!" teriak Ardan lagi.

"Saya belum selesai menjemur kain-kain ini," tolak Sekar sambil menunjuk ember yang masih terisi baju-baju milik Ardan yang masih basah. Matanya sama sekali tidak berkedip dan itu berarti Ardan tidak mau Sekar membantahnya.

"Menyebalkan dan seenaknya," rutuk Sekar kesal dan ia melemparkan kembali baju ke dalam ember dan ikut Arjuna masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah Sekar melihat Ardan sedang berdiri di ruang tengah dan di sampingnya Nimas berdiri dengan memberikan senyum ramah ke Sekar dan senyum licik ke Arjuna

"Tuan butuh apa lagi? Bersihkan kamar sudah, mencuci baju juga sudah," tanya Sekar dengan kesal. Nimas mendekati Sekar dan memegang tangan Sekar dengan pelan.

"Apa pun yang Mbak butuhkan, jangan segan minta sama aku ya."

"Nimas sama ramahnya dengan Mbak Maudy. Hanya saja aku merasa wajahnya seperti menyimpan sesuatu. Aku merasa dia seperti dipaksa untuk tinggal di rumah ini. Mungkinkah Ardan memaksanya seperti dia memaksaku, ckckckck entah kenapa ada manusia tukang paksa seperti dia," ujar Sekar dalam hati.

Sekar merasa tidak enak membalas sikap ramah Nimas dengan sikap judes. Sekar mengangguk pelan dan sesekali melihat Ardan yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun sejak ia masuk bersama Arjuna.

"Tuan butuh bantuan saya?" tanya Arjuna.

"Banyak," jawab Ardan dengan nada sinis dan kesal. Sekar heran dengan sikap Ardan. Arjuna sangat memuja dan setia kepadanya tapi perlakuannya sangat tidak ramah dan bersahabat. Bagi Sekar, Arjuna terlalu bodoh menghabiskan hidupnya untuk tinggal dan mengabdi bersamanya.

"Apa pun yang Tuan perintahkan …." Ardan mengangkat tangannya.

"Mulai sekarang kamu saya tugaskan menjadi pengawal Nimas. Kamu pastikan keselamatannya selama dia berada di sini terjamin. Saya tidak mau mendengar aduan tentang kamu bersikap kasar atau melakukan hal yang membuatnya kesal," Arjuna kaget dengan perintah Ardan.

Arjuna ingin menolak tapi Ardan mengacuhkannya dan mendekati Sekar lalu menariknya masuk ke dalam kamarnya. Arjuna membuang napas kesal dan melihat Nimas sedang menikmati kemenangannya.

"Kamu sengaja meminta Tuan menyuruh saya menjadi pengawal kamu?" tanya Arjuna kesal.

"Yupssss," Nimas mendekati Arjuna dan membersihkan kotoran yang menempel di kemeja milik Arjuna, "Mulai hari ini gue akan membalas semua perlakuan lo," bisik Nimas di telinga Arjuna.

Arjuna tertawa sinis dan reflek menarik pinggang Nimas dan tubuh mereka menyatu, "Saya bukan anak kemarin sore yang bisa NONA permainkan," Arjuna sengaja mengeja dan memperjelas panggilannya.

"Jangan macam-macam atau gue teri … hpftttt" Nimas langsung memelototkan matanya saat merasakan bibir Arjuna menciumnya dengan kasar. Setelah yakin Nimas tidak akan berteriak memanggil Ardan barulah ia melepaskan ciumannya. Bibir Nimas memerah dan ada sedikit darah di ujung bibirnya.

Nimas mengangkat tangannya untuk menampar Arjuna tapi Arjuna lebih cepat tanggap dan menangkap tangan Nimas sebelum menampar pipinya. Arjuna menarik tubuh Nimas sekali lagi dan kali ini ia berbisik pelan di telinga Nimas.

"Jangan main-main dengan saya, kamu pikir saya akan diam. Perintah Tuan menguntungkan saya, saya tidak akan segan melakukan hal keji jika kamu berani memperlakukan saya seperti tadi," Arjuna mencium pipi Nimas sekilas.

"Saya tidak main-main," Nimas mematung dan lidahnya kelu.

Arjuna masuk ke dalam kamarnya dan mengutuk perbuatan yang baru saja ia lakukan tapi hanya itu satu-satunya cara

"Bodoh! Kalau Tuan tahu apa yang barusan aku lakukan …" Arjuna memegang bibirnya. Ini ciuman pertamanya dan sialnya ciuman itu terpaksa ia berikan ke wanita yang sangat tidak ia sukai.

Keesokan harinya

"Kamu mau ke mana?" tanya Ardan saat sekar ingin pergi setelah mengambil sepiring nasi goreng dan susu putih.

"Ya makanlah. Masa saya mau mandi bawa piring,"

"Duduk di sini," Ardan membukakan kursi di sampingnya dan menyuruh Sekar untuk duduk. Nimas berhenti menyuap makanannya dan melihat raut muka Ardan semakin hari semakin berubah menjadi lebih tenang.

"Nanti Tuan marah lagi. Nanti saya dibilang lancang karena berani duduk di samping Tuan, jadi lebih baik saya duduk di lantai," sindir Sekar.

"Duduk di sini atau semua makanan ini saya buang dan tidak ada yang boleh makan sampai besok," ancam Ardan.

"Kenapa Tuan melibatkan orang lain?" ujar Sekar kesal.

"Duduk," perintah Ardan.

Mau tidak mau Sekar pun duduk di samping Ardan dan meletakkan piring serta gelas susunya. Nimas membuang napas dan melanjutkan sarapannya, niatnya untuk mengadukan perbuatan Arjuna batal saat kaki Arjuna menginjak kakinya di bawah meja makan.

"Ya Ampun kenapa rencana gue malah menjerumuskan gue? Arjuna sialan!" maki Nimas dalam hati.