webnovel

Pertemuan Zia dengan Vero

"Kamu sih, tuh, kan Zia marah. Kamu ada-ada aja, Aya." Alena memutuskan untuk pergi menyusul Zia yang tengah marah. Sementara Sakya hanya duduk sembari mengangkat kedua alisnya.

Seharusnya Sakya mengerti kalau ini soal perasaan. Namun, Sakya tidak habis pikir kenapa hati Zia malah bertaut pada sosok Nathan yang justru seharusnya menjadi adik untuk mereka. Ya, selain usia dan lagi-lagi status mereka memang hambatan yang paling besar. Sakya melirik Diran yang masih berada di sana. "Mawar tidak akan kembali padamu, Diran. Jangan terlalu percaya diri."

"Kayaknya kalau enggak cari masalah, situ gak bakalan kaya, ya." Diran pun tersenyum hambar. Begitulah adik angkatnya yang arogan dan tidak pernah bisa hidup tanpa masalah. Sakya selalu mencari masalah dengan siapa pun.

"Saya hanya mengingatkan."

"Ribet ngomong sama orang yang hanya mementingkan nama baik," ujar Diran yang kini berlalu meninggalkan Sakya.

Sementara itu, Bizka baru saja sampai dan tidak melihat putrinya di sana. "Maaf, Zia di mana?"

"Hayo, tadi siapa yang bikin Zia nangis."

"Diem!" ujar Sakya yang berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Bizka.

Lagi pula Sakya tidak menyukai Bizka. Bagaimana dia bisa menyukai wanita yang sudah meninggalkan kakakmu itu. Sakya memang jahil, tetapi dia tetap saja tidak suka saat ada yang mengganggu dan membuat kakaknya itu sedih. Sakya mengisyaratkan pada Aurora untuk tidak menanggapi Bizka.

Bizka yang masih berdiri di sana hanya bisa mematung. Dia menghela napasnya saat semua hanya mendiaminya. "Mbak! Zia ada di lantai atas," sahut Alena yang tampaknya baru saja kembali dari atas.

Bizka tersenyum pada Alena. Walaupun Bizka mantan istri Kenan juga, tetapi keduanya tampak akur. Itu yang membuat Sakya, Diran, dan yang lainnya tidak menyukai Bizka. Bukan hanya mantan istri Kenan, Bizka juga adalah dalang dari banyaknya kisah pahit yang terjadi di antara Kenan dan Alena. Jadi, semua tampak muak dengan sikap Bizka yang sebenarnya tidak begitu dipermasalahkan Alena.

Wanita itu memiliki hati yang sangat lembut. Saking lembutnya, Alena lupa kalau Bizka adalah orang yang nyaris merenggut nyawa dia dan Sakya dulu. "Bunda! Jadi orang jangan terlalu baik, bisa?"

"Aya! Jadi orang jangan terlalu celetak-celetuk, bisa? Aish, bagaimanapun Bizka itu ibunya Kak Zia. Kamu harusnya hormat, dan kalian jangan mau terpengaruh sama Sakya. Itu gak baik," ucap Alena.

***

Sebelum sampai ke kafe tadi, Bizka dengan sengaja meminta Vero untuk datang menyusulnya dengan alasan kalau dompetnya tertinggal. Tentu saja Vero mengikuti apa mau ibunya itu.

"Bunda!" sahut Zia saat mendapati ibunya tengah berjalan ke dekatnya.

Bizka memasukan ponselnya, dia memastikan kalau Vero membaca pesan yang tadi dia kirimkan. Bizka hanya ingin Vero mengenal Zia sebagai putri satu-satunya. "Zia! Kamu apa kabar, Sayang?"

"Zia baik, Bunda. Aku pikir Bunda gak jadi datang."

Zia dan Bizka berpelukan, mau bagaimanapun mereka adalah ibu dan anak. Pastinya ada ikatan kuat yang membuat mereka tidak bisa saling melepaskan begitu saja. Walaupun Bizka sudah meninggalkan Zia, tidak peduli padanya, tetapi tetap saja Bizka adalah ibu kandungnya. "Bunda lagi ada di Jakarta, masa iya gak ikut hadir. Kamu kenapa, hah?"

"Apa ini soal Nathan?"

Zia mengangguk sembari merangkul lengan Bizka. Zia ingin bercerita pada ibunya itu. Hanya saja, Bizka selalu tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah Zia. "Bunda, kalau semisal Zia tetap ingin sama Nathan. Bunda gak keberatan?"

"Kalau bukan Nathan, bisa?"

"Bunda!" rengek Zia. Namun, mau bagaimanapun tetap sama. Hubungan mereka tidak akan pernah ada yang mau mendukung. "Bunda gak sayang sama Zia, ya?"

"Bukan gitu, kamu udah dewasa udah siap untuk menikah, Zia. Kalau kamu sama Nathan, mau sampai kapan? Harusnya kamu cari laki-laki yang sudah matang, yang sudah siap diajak serius. Nathan masih sangat kecil untuk itu."

Zia bungkam, dirinya masih 27 tahun. Lantas apa itu sudah terlalu tua? Bukankah banyak di luar sana yang menikah dengan laki-laki lebih muda dari mereka, lantas bahkan menikah di usia 30 ke atas. Jadi, kalaupun Zia memilih Nathan itu tidak akan begitu terlihat perbedaannya.

"Kalau gitu, Zia bakalan buat Nathan sama Zia nikah. Mau atau enggak, kalian harus menyetujuinya."

"Jangan gila kamu, Zia!" Bizka bukannya tidak sayang pada putrinya, hanya saja tidak begitu caranya. Bizka tahu apa yang saat ini ada dalam pikiran putrinya itu.

Zia melepaskan tangannya dari Bizka. Dia pun menjauh dan meminta ibunya itu untuk menjauh darinya. "Zia! Kok, marah. Tadi kamu minta pendapat Bunda, sekarang kok malah marah?"

Bukannya menjawabnya, Zia malah pergi dari sana. Malas rasanya berhadapan dengan semua orang yang menentang keinginannya. Zia membuang napasnya dengan kasar, dan mengabaikan semua orang yang mulai bertanya akan ke mana perginya dia.

Saat di pintu masuk kafe, Zia yang tidak hati-hati menabrak seseorang. Barang bawaan orang itu jatuh dan berserakan di bawah. Bahkan, ada satu kamera dari merek ternama yang ikut terjatuh. "Astaga, itu Hasselblad H5D - 200c," lirih Zia saat matanya menatap nanar ke arah kamera tersebut.

Tentu saja itu karena harga dari kamera tersebut yang fantastis. Zia menelan salivanya dengan susah payah, dia yakin saat ini pemiliknya tengah membulatkan mata, dan mungkin juga siap untuk menerkamnya. Zia mengangkat kepalanya dan saat itu mata mereka saling beradu. Tidak ada amarah, kesal, bulatan mata yang memerah, dan sejenisnya. Di sana hanya ada senyuman yang mengembang dengan sempurna. "Maaf, aku tidak sengaja."

Saat itu Vero hanya bisa tersenyum, lantas dia menunduk untuk melihat kamera kesayangannya yang rusak. Dia kembali melihat ke arah Zia yang hanya menatap penuh dengan rasa bersalah. Vero mengangguk, dia pun langsung memungut semua barang yang berserakan itu.

"Tuan! Pak! Eh, Mas. Maaf, aku tidak sengaja. Nanti aku ganti ya, mana nomor rekeningnya?"

"Mas!" sahut Zia saat Vero malah masuk ke kafe itu tanpa permisi.

Vero mengabaikan Zia yang berteriak memanggilnya. Pemandangan itu tentu saja dilihat banyak orang. Mereka saling berbisik dan berkomentar kalau Vero pasti akan marah. Tentu saja, siapa yang tidak akan marah saat barang seharga ratusan juta itu rusak. Bahkan, kamera yang rusak itu bisa membeli satu unit Toyota Fortuner atau Nissan Terra.

Zia menghela napasnya, dia tahu kalau pemuda itu pasti akan marah atau mungkin bisa menuntutnya ke kantor polisi. Zia kembali lagi ke dalam kafe untuk melihat orang itu, dia mencoba untuk kembali meminta maaf. Rasanya malas, tetapi mau bagaimanapun Zia sudah melakukan kesalahan.

"Kak! Liat cowok lewat sini, gak?"

"Siapa? Nathan? Gak liat, tuh."

"Ish, bukan. Cowok, duh ciri-cirinya apa, ya." Zia malah kebingungan sendiri. Saat itu, matanya menemukan pemuda tadi tengah menaiki anak tangga. "Hei! Mas?!" teriak Zia.

Zia mengejarnya, semua hanya menaikan pundak tanda kalau mereka tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Zia berjalan cepat untuk menyusul pemuda itu, tetapi tampaknya gerakannya membuat pemuda itu menghentikan langkahnya dan berbalik.

Sontak Zia menghentikan aksinya karena kepalanya menubruk dada pemuda itu. Dia mendongak dan merasa kalau dirinya menjadi gadis yang paling ceroboh dan bodoh. "Pak! Eh, Mas, jadi begini ...."

"Ish, kenapa malah pergi? Saya mau tanggung jawab, kok. Cuma masalahnya sekarang saya mau minta nomor rekening atau alamat Mas nya ini, dong."

Akan tetapi, Vero mengabaikan Zia. Dia malah melanjutkan langkahnya tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan Zia. Zia sendiri hanya mematung, dia baru pertama kali bertemu dengan laki-laki cuek seperti itu. Ini pertama kalinya dia diabaikan seorang pemuda. "Apa dia tuli atau tidak bisa bicara? Argh, kenapa aku malah makin kesal. Terserah kalau gak mau diganti, aku juga gak berniat buat ganti," ucap Zia yang kini berbalik badan dan kembali keluar dari kafe tersebut.