webnovel

Ternyata Dia Bisu

Setelah memberikan dompet pada Bizka, Vero kembali turun untuk bertemu Zia. Dia bukan ingin meminta ganti rugi, tetapi setidaknya dia bisa kembali bertemu dengan gadis itu. Mungkin harga kamera yang jatuh tadi sangatlah mahal dan mungkin Vero juga harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk membelinya.

Sayangnya itu tidak bisa hanya dibeli dengan uang. Vero mendapatkan kamera itu dari hasil uang salah satu event fotografer yang diadakan di negara kelahiran. Dari kamera itu juga, Vero bisa membeli banyak hal yang sebelumnya tidak pernah bisa dibelinya. "Vero mau ke mana?"

Dengan bahasa isyaratnya Vero mengatakan pada Bizka, kalau dirinya bertemu dengan gadis yang semalam dia ceritakan. "Hati-hati?!" teriak Bizka saat tahu kalau putranya itu pasti akan mengejar sesuatu yang memang sudah menarik perhatiannya.

Kamera rusak itu masih melingkar di leher Vero. Dia berharap dengan itu, gadis yang tadi ditemuinya bisa mengenalinya. Vero mulai mencari keberadaan Zia dan dia tetap tidak bisa menemukannya. Mau bertanya pada siapa? Ya, Vero tidak akan bisa mendeskripsikan bagaimana Zia dalam bahasanya. Semua tidak akan ada yang mengerti dengan itu.

Dugaan Vero benar, dia berhasil menemukan Zia ada di tempat yang sama. Di pertemuan-pertemuan sebelumnya, yang sebenarnya tidak disadari Zia. Kali ini tidak ada kamera yang akan mengabadikan momen, hanya ada dua mata Vero yang siap merekam semua adegan di depan matanya. Saat Vero akan tersenyum, tiba-tiba dia membeku saat mendapati gadis cantik itu menutup wajahnya dan menangis.

Vero hanya mematung, mengamati apa yang membuatnya menangis seperti itu. "Apa kamu baik-baik saja?"

Rasanya Vero ingin bertanya seperti itu, lantas duduk di samping Zia dan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Sayangnya itu tidak bisa. Vero takut, dia tahu kalau dirinya tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan pada sosok gadis sempurna seperti Zia.

Vero berjalan mendekat, dia duduk di belakang Zia. Mencoba mendengarkan apa yang membuat gadis itu menangis. "Apa kamu menangis karena aku?" Hanya pertanyaan itu yang kini membuat Vero merasa bersalah.

"Kalau aku mau egois boleh, Nat? Aku mau kamu tetap di sini, jangan kejar cita-cita kamu, tetap sama aku. Aku gak tau lagi akan bagaimana aku saat sandaran aku selama ini harus pergi. Siapa yang akan hapus air mata aku, Nat? Siapa?!" teriak Zia yang tampaknya tengah mengungkap isi hatinya.

Dia ingin mengatakan hal itu pada Nathan. Namun, lidahnya terlalu lemah untuk bercerita. Zia takut, Zia tidak tahu lagi harus pada siapa dia mengadukan keluh kesahnya. Akan tetapi, dia juga tidak bisa egois dengan terus memenjarakan Nathan pada kehidupannya ini.

"Nathan!" teriaknya.

Seseorang menyodorkan tisu, siapa lagi kalau bukan Vero. Zia menerimanya, dia langsung mengusap air matanya, lantas mengeluarkan ingus dari hidungnya, dan bodohnya Zia memberikan tisu yang sudah motor itu pada Vero. "Makasih," ucap Zia.

Vero mengangguk walau aksinya itu tidak dilihat oleh Zia. Vero membuka tasnya, dia melihat ada cokelat putih di dalam tasnya. Dia tersenyum, lantas berinisiatif memberikannya pada Zia.

"Ini buat aku?" tanya Zia sembari berbalik untuk melihat siapa orang yang berbaik hati padanya.

Vero melebarkan senyumannya saat Zia justru melebarkan matanya. "Gila sih, gue pikir lo gak butuh uang. Ternyata lo ngejar gue sampai sini cuma buat uang ganti rugi, iya?"

Vero tentu saja mengerti, di tidak buta, juga tidak tuli. Jadi, mimik wajah dan juga kalimat yang diucapkan Zia itu sangatlah natural. "Kenapa malah pelanga-pelongo, hah? Mau uang kan, yaudah tunggu dulu gue mau minta bokap buat transfer."

Sontak Vero mengangkat tangannya, dia menggeleng kuat mengisyaratkan kalau dirinya tidak membutuhkan itu.

"Terus mau ngapain? Mau gangguin gue?"

Vero kembali menggeleng, dia tidak ingin apa-apa. Dia hanya ingin berada didekat Zia saja. "Yaudah, sana pergi! Ngapain deket-deket gue," usir Zia.

Zia menjauhkan tubuhnya dari Vero. Dia tidak suka saat ada pemuda yang mendekatinya. Entah dengan alasan apa pun, dia tidak ingin membuat Nathan berpikiran yang tidak-tidak. Vero hanya diam, dia mengerti dengan apa yang diucapkan Zia. Hanya saja, dia enggan untuk pergi.

"Lo tuli ya, gue bilang pergi, ya pergi!" bentak Zia.

Vero mengangguk, dia bisa melihat kalau Zia memang tidak ingin berada didekatnya. Vero menyimpan satu batang cokelat putih, dan sebotol air mineral. Dia pun pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tentu saja Zia bertanya-tanya tentang kenapa ada pemuda yang begitu menurut dengannya. Tidak terdengar protesan apa pun dari mulut Vero. "Aneh banget, kok ada cowok kayak gitu. Bisa-bisanya dia cuma mau gangguin gue doang. Ish," gerutu Zia.

Vero tahu saat ini Zia tengah tidak baik-baik saja. Jadi dia menurut, tetapi dia tidak pergi jauh. Vero masih berada di sekitaran danau. Dia masih mengawasi Zia yang memilih duduk sendirian. Vero celingukan, dia ingin kembali ke rumahnya untuk mengambil kamera lain, tetapi dia takut kalau Zia pergi saat dirinya juga pergi.

Namun, Vero tidak ingin membuang kesempatan untuk bisa memotret Zia di siang hari. Vero pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya dengan berlari. Untung jarakny memang tidak begitu jauh.

Selama Vero kembali untuk membawa kameranya, Zia diam-diam mencuri pandang ke arah cokelat putih yang tadi disimpan Vero. Entah. Dia belum mengenal pemuda itu, tetapi Zia pikir kalau Vero bukanlah orang jahat. "Cokelat putih, kebetulan banget. Kalau cokelat aku gak suka, tapi kalau cokelat putih aku suka," ucapnya sembari meraih makanan itu.

Kamera sudah berada di tangan Vero, dia saat ini tengah duduk di atas pohon yang berada tidak jauh dari tempat Zia berada. Pekerjaannya hanyalah memotret Zia dengan berbagai posisi. Hingga akhirnya, suara benda jatuh pun membuat Zia menoleh ke sekitar. Dia mengangkat alisnya saat mendapati seseorang jatuh meringkuk di atas tanah.

Zia mendekat untuk melihat siapa yang terjatuh. "Hei, gak apa-apa, kan?"

Dengan cepat Vero bangkit dan membersihkan tubuhnya. Sontak Zia langsung merubah ekspresinya karena menyadari kalau pemuda itu belum juga pergi dari dekatnya. "Ngapain di sini, hah? Mau buntutin gue? Atau lo mau culik gue, ya?"

"Heh, jangan bilang lo ... tolong?!" teriak Zia malah meminta tolong.

Vero yang panik sontak mendekat dan membekap mulut Zia. Vero hanya tidak tahu bagaimana caranya menghentikan Zia, dirinya tidak bisa berbicara untuk meminta Zia berhenti. Vero menggeleng, dia membawa Zia menjauh dari dan dengan tetap menutup mulut Zia.

Zia meronta, dia semakin yakin kalau pemuda itu bukanlah orang yang baik. Zia menggigit hari Vero, lantas kembali berteriak, "Tolong! Tolong?! teriaknya lagi.

Tangan Zia mencoba melepaskan tangan Vero yang kembali menutup mulutnya. Tampaknya Vero sangat kuat, dia bahkan bisa membuat tubuh Zia bergelayut di lengannya.

Setelah mendudukkan Zia di tempat semula. Vero menyimpan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan agar Zia diam. Namun, bukannya diam, Zia malah kembali untuk pergi dan berteriak. Tentu saja aksinya itu mengundang banyak orang untuk datang mendekat. Mereka langsung bertanya apa yang terjadi.

"Kenapa, Neng?"

"Ada apa?"

"I-ini, Pak. Dia mau culik saya, dia tadi bekap mulut saya, terus dia juga ngikutin saya," cerita Zia yang membuat Vero menggeleng tidak setuju.

Bagaimana caranya Vero mengatakan yang sebenarnya, di sana tidak ada alat tulis, dia juga tidak mungkin menggunakan bahasa isyaratnya. Semua orang sekarang menatap Vero, mengintimidasi pemuda itu karena telah mengganggu Zia. "Bawa aja ke kantor polisi, atau enggak kita hajar saja dia."

"Setuju! Gimana kalau sekisalnya dia penculik yang suka jual organ dalam, atau yang suka jual wanita buat jadi wanita penghibur. Hayo, itu bahaya banget," ujar Zia yang memang hanya ketakutan dan dia merasa kalau Vero memang mencurigakan. Sedari tadi Vero hanya menyangkal dengan menggeleng, tidak ada pembelaan dari mulutnya, bukankah itu artinya dia memang orang jahat?

Lima orang di sana pun mulai memukuli Vero. Walaupun dia bisa menangkis serangan, tetapi didienya hanya sendirian, sementara ada banyak pemuda yang juga kuat di sana. Vero hanya menutupi kepalanya agar tidak terpukul juga. Sampai akhirnya, ada orang yang menyadari keributan itu dan mendekat.

"Ini ada apa? Kenapa kalian main gakimy sendiri?"

"Ini Bu, ada penculik. Dia tadi tangguin si Neng ini," cerita orang-orang yang tengah menonton di sana.

"Tunggu! Kalaupun dia penculik, bukannya sebaiknya dia dibawa ke kantor polisi, bukan dihakimi seperti ini. Yang ada nanti kalian yang dipenjara, mau?" Sontak semuanya menghentikan aksinya.

Saat pemuda itu mendongak, sontak si Ibu menjerit saat tahu siapa yang tengah dihakimi di sana. "Astaghfirullah. Mas Vero, Mas gak apa-apa?"

"Saya kenal pemuda ini, kenapa kalian menuduhnya penculik, hah? Dia pemuda baik, dia sangat baik."

"Dia tidak melakukan pembelaan, dia hanya menggeleng yang membuat kita berpikir kalau dia memang orang jahat," ucap Zia sebagai korban di sana.

"Itu karena Mas Vero gak bisa bicara. Dia tidak mungkin melakukan kejahatan, bahkan membunuh semut pun dia tidak akan sanggup melakukannya," jelas si Ibu yang merupakan asisten di rumah Vero.

Sontak semua hanya diam membeku, lantas Vero pun meminta maaf pada Zia dengan bahasa isyaratnya. Zia hanya menelan salivanya, kali ini kenapa dia melakukan kesalahan yang sangat fatal. Tadi memecahkan kamera mahal pemuda itu, lantas sekarang dia malah menuduhnya sebagai orang jahat. "Mas Vero bilang, dia minta maaf sama kamu, Nona," jelas Ibu itu yang mencoba mengartikan gerakan Vero.

Ibu itu pun membawa Vero, meninggalkan Zia yang masih diselimuti rasa bersalahnya.