webnovel

Bertemu Gadis Cantik

Dering alarm dari ponsel membangunkan Vero. Dia membuka matanya dan langsung menemukan langit yang nyaris saja terang. Dengan cepat dia bangkit dan meraih kameranya. Vero membuka jendela kamarnya itu, lantas bersiap menunggu Surya terbit dari ufuk timur.

Akan tetapi, kali ini matanya menyipit saat objek lain lebih menarik untuknya. Bersamaan dengan terbitnya sang raja siang, ada senyuman yang menarik perhatian Vero. Di bawah sana, gadis semalam tengah berjalan seorang diri. Entah di mana pemuda itu, tetapi bukankah itu lebih baik? Bukannya memotret, Vero malah menyimpan dagunya di tangan dengan sorot mata yang terus mengintai gadis itu.

"Liatin apa?" tanya seseorang yang membuat Vero harus membalikan badannya.

Vero menggeleng, dia mengulum senyum yang semula mengembang sempurna. "Liat apa, sih? Kok, serius gitu. Apa ada yang lebih indah dari matahari pagi?"

Gelengan kepala Vero semakin membuat ibunya itu ragu. Bagaimana bisa putranya terlihat salah tingkah dan gugup seperti itu. Akan tetapi, saat dia melihat ke bawah, tampaknya tidak ada siapa pun di sana. Lantas, apa yang membuat Vero seperti ini?

"Mau sarapan apa? Oh iya, hari ini Bunda ada jadwal buat ketemu sama Zia. Vero mau ikut gak, sekalian kenalan."

Vero menggeleng. Bizka pun mengusap rambut putra angkatnya itu. Ya, dia mengadopsi Vero karena anak itu adalah anak dari korban yang dia tabrak di Thailand 20 tahun lalu. Bizka merasa bersalah karena membuat kedua orang tuanya meninggal dan bahkan membuat Vero harus kehilangan suaranya. Pita suara Vero rusak karena kecelakaan itu, walau sebenarnya dulu pun katanya Vero tidak begitu pandai berbicara.

Saat ini dia membawa Vero ke Indonesia. Terlebih, Bizka sudah tidak memiliki masalah lagi di sini. Jadi, dia memutuskan membawa Vero ke negaranya agar dia juga tidak harus bolak-balik ke Thailand hanya untuk melihat keadaannya. "Vero! Zia itu suka sama seni. Jadi, kalau kalian ketemu kayaknya bakalan cocok. Mau ya, Bunda kenalin."

Vero menggeleng, dia lantas memperagakan sesuatu lewat bahasa isyarat. "Vero sudah punya gadis yang Vero suka di sini, Bunda."

"Oh, ya? Siapa?"

Saat Bizka bertanya, Vero hendak memberikan foto gadis yang dia temui dua hari ini. Akan tetapi, saat Vero tengah mencari-cari gambar Zia di dalam kameranya, Bizka malah pergi. Vero tersenyum, menaikan pundaknya, lantas kembali menutup kameranya. Mungkin dia tidak harus menunjukkannya sekarang.

***

"Kamu dari mana? Aku tadi cari-cari kamu, takut kalau kamu ... Zia!" panggil Nathan saat kekasihnya itu malah terduduk lemah di sampingnya.

"Aku sudah memikirkan semuanya, Nat."

Nathan tetap berdiri menatap Zia. Zia meliriknya, lantas tersenyum hambar. Entah sampai kapan mereka akan berhubungan seperti ini, tanpa siapa pun yang mendukungnya. Bahkan, Alena sendiri yang bisa Zia percaya tidak mengizinkan hal ini terjadi. "Aku pikir kita sudahi saja—"

"Jangan memberikan keputusan apa pun. Aku sudah bilang sama kamu, kalau aku gak mau kita berakhir."

"Tapi, Nat! Ini akan sulit, kita gak bisa kayak gini terus. Lagian kamu juga harus kuliah ke luar negeri, kan?" tanya Zia.

Semalam mereka tidur di sana, di berselimut langit hitam dan hanya beralaskan tikar taman. Namun, tidak ada yang terjadi di antara mereka karena mereka juga sadar akan hubungan yang sehat dan tidak itu seperti apa. "Aku liat ponsel kamu semalam dan aku tahu kamu keterima di Harvard university. Aku tahu masuk ke sana tidaklah mudah dan kamu berhasil. Jadi, bukannya lebih baik kalau kamu—"

"Gak, Zia. Sekali aku bilang enggak, ya enggak. Aku bisa batalkan keberangkatan ke sana, atau kamu ikut sama aku."

"Itu cita-cita kamu sama Paman Zafran, Nat. Jangan gila deh, aku bisa di sini, aku bisa nunggu kamu, kok. Lagian, hubungan kita juga masih gini-gini aja, kita belum punya restu dari siapa pun. Terus juga siapa tahu di sana kamu ketemu sama cewek yang cantik, yang seksi, pinter, lebih bisa bikin kamu nyaman, dan—"

Cup!

Tanpa diduga, Nathan mendaratkan bibirnya di bibir Zia. Membuat Zia sontak menghentikan kalimatnya sembari membulatkan matanya. "Kalau gak gini, kamu bakalan terus ngoceh kayak burung. Berisik ah, lagian siapa juga yang mau pergi ke Harvard cuma buat cari cewek. Aku mau belajar, biar bisa nerusin perusahan Papa terus bisa nikah sama kamu."

"Kamu mau nikah sama aku?"

"Enggak, sama kuntilanak," jawabnya yang membuat Zia tersenyum lebar.

Nathan melihat kekasihnya itu, dia menatap lekat, dan merasa senang saat melihat Zia tersenyum selebar itu. "Aku janji, setelah aku pulang aku akan meyakinkan Papa sama Paman Kenan buat izinkan kita bersama."

"Nathan!"

"Zia, percaya sama aku. Kamu mau nunggu, kan?" Zia hanya diam. Tentu saja dia ragu dengan apa yang dibicarakan Nathan karena sampai kapan pun juga status mereka tetap tidak akan pernah berubah. Nathan tetaplah putra dari Zafran, adik kandung ayahnya Zia sendiri.

Kejadian itu direkam seseorang, dia cukup banyak mendapatkan potret dari apa yang dilihatnya. Namun, itu cukup menyakitkan untuk dia yang baru saja merasakan jatuh cinta. Ya, ini pertama kalinya Vero menyukai seorang wanita. Dia tersenyum hambar, lantas menurunkan kameranya.

Dia berhasil memotret Zia yang kebetulan tengah mendapatkan kecupan dari Nathan. "Cantik," ucap Vero dalam hatinya.

***

Vero masih berjalan-jalan di sekitaran danau. Rumahnya memang tidak jauh dari sana, jadi dia bisa kapan saja datang untuk menikmati keindahan di tempat itu. Salah satu alasannya, Vero ingin bertemu dengan Zia.

"Vero! Beneran gak mau ikut sama Bunda?"

Vero menggeleng kuat, dia hanya melambaikan tangannya ke arah Bizka yang saat ini melajukan mobilnya melewat Vero. "Iya, hati-hati! Jangan main ke danaunya, kamu gak bisa berenang?!" teriak Bizka yang mendapat anggukan dari Vero.

Bizka melajukan mobilnya untuk datang ke kafe Alena. Dia berencana untuk datang berkunjung sembari membicarakan sesuatu tentang Zia. Bizka juga tahu, kalau putri semata wayangnya itu hanya akan mau menuruti apa yang diperintahkan Alena saja. Padahal, dirinya adalah ibu kandungnya sementara Alena hanya mantan ibu sambungnya.

Di kafe green sky yang ada di tengah kota, tengah ada acara kumpul keluarga yang diadakan pemilik kafe tersebut. Bukan acara besar, hanya kumpul-kumpul biasa saja. Hanya saja karena ini jarang terjadi, jadinya terlihat cukup menarik perhatian banyak orang. Terlebih, orang-orang yang hadir adalah bagian dari keluarga besar Rai Carter.

"Zia! Bunda Bizka mau datang juga, gak?"

"Zia gak tau, Bunda. Kemarin udah bilang mau ikut, cuma Zia gak tanya lagi." Saat ini, sudah ada Zia dan Sakya yang merupakan anak dari Kenan Rai Carter. Bedanya, Zia adalah anak dari Bizka, sementara Sakya adalah putra dari Alena. Mereka sama-sama memiliki darah Kenan.

Sakya yang merupakan adik Zia sudah menikah, ya dia menikah mudah dengan kekasihnya. Tidak hamil duluan, hanya saja Sakya memutuskan untuk bisa menjaga kekasihnya lebih bebas dari sebelumnya.

"Kak Aurora! Sini, Diran mau ngasih liat sesuatu."

"Diran! Sini liatin aku aja, lagian kamu mau liatin siapa, sih. Cewek?" Diran hanya mengangguk, dia datang pada Zia untuk memberikan gambar kekasihnya. "Ini siapa? Mawar?"

"Iya, katanya beberapa bulan lagi dia selesai kontraknya. Jadi, dia mau pulang ke Indonesia."

"Kenapa tidak berakhir saja. Katanya dia mantan wanita penghibur, ya?" sahut Sakya dari arah belakang.

Diran hanya diam, dia tahu kalau kakaknya itu tidak akan pernah setuju. Namun, Diran bukanlah bagian dari Carter. Jadi, bukankah dia tidak harus terlibat dalam menjaga nama baik Carter?

"Udah jangan didengerin, Sakya emang gitu."

"Aku tahu, kok. Lagian, harusnya dia hormat sama aku, aku lahir lebih dulu dari dia," ujar Diran yang merasa adiknya itu terlalu seenaknya.

Jika mengingat umur, Diran memang lebih tua dari Sakya. Hanya saja, Sakya memiliki banyak kelebihan dalam beberapa hal. Semisal pekerjaan, keuangan, dan juga status sosialnya yang lebih baik dari Diran.