webnovel

TITIK TEMU

| Jika waktu tidak mengiyakan tuk pergi,

| buat apa aku masih terus berlari mengejar hal yang tak pasti ku miliki ?

| Berjalan saja |

       ‎  Berjalan, mencari alasan akan kematian, demi memenuhi hasrat rasa penasaran, tapi kenapa tidak terbang saja?, pikir Bulan yang mengira semua hantu sama. Bisa melakukan apapun sesuka hati tanpa ada hal yang membatasi. Bulan ragu untuk menanyakan hal itu pada Lingga, keraguannya akan penjelasan Lingga yang mungkin saja masih janggal dan tak masuk di akal. Kesal, pertanyaan yang telah beradu dalam pikiran memperbutkan jawaban. Namun, tak ada satupun yang terjawab dan masih mengganjal dalam pikiran.

Walkin' all day with my mouth on fire, tryin' to get talkin' to you ♪

Walkin' all day with my mouth on fire, that's what I've gotta do ?♪

Tryin' to get talkin' to you♪

Walking all day - Graham Coxon

       ‎  "Lingga, kenapa kita berbeda dengan jiwa-jiwa lainnya yang bergentayangan dengan wajah seram?."

       ‎  "Pertanyaanmu terdengar serius nona, tidak cocok dengan perawakanmu yang seperti pelawak ludruk Jawa."

Dengan nafas yang ditahan dada, berusaha menekan nada suara, Bulan menanggapi dia, "bisa segera jelaskan saja dan mulai pada intinya tuan Lingga?." Mendengar paksaan konyol itu, Lingga segera menjawabnya, "haha, oke oke, sebelumnya maafkan aku jika cara menjelaskanku sulit dipahamkanmu.

       ‎  Kamu tau ada berapa cara para manusia itu mati ?, ada banyak cara bukan ?, ada yang dibunuh secara sengaja atau juga ada yang sengaja terbunuh, ada pula yang disiksa hingga mati, ada juga yang kecelakaan, bunuh diri, atau takdir yang memang menghampiri. Ya, banyak orang bilang semua yang sudah terjadi itu takdir, tapi kurasa beberapa takdir bisa dihindari. Kalau hati-hati. Persoalan tentang perbedaan antara kamu dan hantu pada umumnya ada pada dalam lubuk hatinya. Kamu paham kan ?," Aku mengangguk perlahan, mengiyakan pertanyaannya. "Ada banyak macam perasaan dari beberapa orang menjelang pada kematian, salah satu dari mereka pasti ada yang mati dengan tenang menerima semua yang sudah terjadi dan menunggu diantarkan ke surgawi, ada yang terpaksa mati karena tak sadar diri atau memang ingin segera mati dengan cara bunuh diri, serta ada yang tak terima jika kehidupannya sirna begitu saja, poin terakhir inlah yang membuat mereka menjadi (hantu) seram. Dan antara kamu atau aku kemungkinan ada pada poin pertama dan kedua, tentang bagaimana cara kita mati itu masih menjadi misteri." Bulan mendengarkan penjelasan Lingga dengan serius seperti manusia yang sedang mengerjakan soal-soal dan mengajukan pertanyaan untuk koreksi ujian demi kelulusan.

"Apakah kau dan aku mati karena bunuh diri ?,"

       ‎  "Mungkin, jika kamu tetap abadi disini,"

       ‎  "Kau mempelajari itu semua darimana ?,"

       ‎  "Tidak dari mana-mana, hanya menerka-nerka saja, membuat teori sendiri dari kepergian orang-orang yang pernah hadir menemaniku dikala sepi," - Raut wajah Bulan berubah seketika, serta merasakan kesedihan atas kepergian orang-orang yang pernah datang, "apa kamu sedih?."

       ‎  "Sedih kenapa?, Sudah sepantasnya mereka pergi dan tak abadi seperti ini," rasanya Lingga kebal dengan itu semua, seperti sudah terbiasa dan merasakannya sejak lama.

       ‎  "Kemana mereka yang pernah kau jumpai itu pergi ?,"

       ‎  "Entah ke surga atau kematian sementara seperti mati suri atau koma."

       ‎  "Lalu, mengapa kamu masih disini ?,"

       ‎  "Itulah yang masih menjadi misteri." Entah akan ada berapa banyak lagi pertanyaan yang keluar dari mulut Bulan, mengintrogasi Lingga sambil berjalan dengan waktu nan silih berganti, tanpa titik henti yang pasti, terus berjalan hingga letih nanti.

| Waktu kian terus berlalu,

| mengantarkan orang yang sedang menunggu,

| menertawakan serdadu yang masih tersedu-sedu,

| menangis tak terima, ingin memutar waktu yang telah sirna.

| Hanya sementara |

       ‎  Akhir pekan, pukul lima sore di angkringan pinggir jalan. Angkringan yang terletak di sebelah ruko pertokoan, begitu ramai orang mengantre pesanan sambil menunggu pertunjukkan wayang kulit yang akan dimulai. Ada yang datang dengan bergandengan tangan bagai pasangan idaman, ada pula yang datang beramai-ramai bersama teman-temannya, saudaranya atau keluarganya, atau juga ada yang datang sendirian tanpa salah seorangpun yang turut menemani. Orang itu duduk di bangku paling depan, wajahnya terlihat galak, lirikannya begitu sinis tanpa senyuman manis. Pantas bila tak ada yang ingin menemaninya duduk disitu, bangku yang sangat dekat dengan pak dalang yang siap memulai cerita.

Mboten sakebakipun ireng, mboten sakebakipun puteh

(Tidak sepenuhnya hitam, tidak sepenuhnya putih)

       ‎  Suara gamelan Jawa mulai berkumandang, memamerkan tari remo sebagai tarian selamat datang. Gemerincing lonceng kaki dan liukan tangan nan gemulai, menonjolkan suasana Jawa di kota Surabaya. Disusul dengan nyanyian sinden yang merdu. Di lain sisi aku menikmati pertunjukan ini, tampak Lingga menghampiri orang itu, wanita yang duduk sendirian di bangku paling depan. Akupun mulai menyusulnya dengan ekspresi wajah enggan duduk bersandingan dengannya.

     ‎  "Hai, apa kabar", sapa Lingga pada wanita itu.

       ‎  "Kabar baik".

Rahwana Puteh

(Rahwana putih)

       ‎  Pak dalang memulai aksinya, wayang gunung sebagai pembuka cerita mulai dikibas-kibaskan. Rahvayana, bisa dibilang sekuel dari cerita ramayana. Cerita yang cukup menarik, mengulik kisah dibalik peran antagonis dalam cerita.

       ‎  "Namaku Lingga, kamu siapa?," sambil menyodorkan tangan kanannya sebagai pemulai jabatan tangan dengan dia. Gemulai tangan nan lentik, wanita itu membalas jabatan Lingga, "Namaku Anjani."

       ‎  "Hai Anjani, kenalin dia temenku," sambil menunjuk ke arahku.

       ‎  "Bulan," kenalan singkat dan padat. Namun, dicairkan oleh Lingga, "kamu sudah lama disini atau baru-baru ini ?,"

       ‎  "Lumayan lama haha," balas Anjani dengan senyuman. Senyumnya yang begitu manis itu membuatku melupakan wajah sinisnya tadi.

       ‎  "Apa kamu sendirian disini ?," Lanjut Lingga.

       ‎  "Tadinya saya janjian sama teman, tapi sekarang dia sudah pergi, tak tau kemana." Sepertinya dia abadi disini, apakah dia sama seperti Lingga?.

     ‎  "Apa kamu jiwa yang bunuh diri ?."

Rahwana kang urip langgeng sak lawase, ditinggal pejah dening sang Dewi

(Rahwana yang hidup abadi selamanya, telah ditinggal mati oleh sang Dewi)

       ‎  Psssttt... pssttt... Tiba-tiba saja aku mendengar suara bisikan. Suara itu terdengar mengganggu keramaian gamelan dan cerita wayang yang masih berjalan. Semua orang bingung satu sama lain, bahkan tak satu dua orang saja yang menoleh dan mencari sumber suara itu. Salah satunya adalah aku.

"Dewi Setyawati, tresno iki taksih utuh ing ati"

(Dewi Setyawati, rasa cinta ini masih utuh dalam hati)

"Dewi Setyawati, tresnaku sing sejati"

(Dewi Setyawati ku, cinta sejati ku)

       ‎  Tiba-tiba, pundakku ditepuk oleh seorang pria yang tak tau asal-usulnya darimana. "Eh Hening, lama tak jumpa," sapa pria itu. Aku hanya bisa duduk diam dan kebingungan, melihat ekspresi orang-orang sekitar yang memandang pada pria ini, pria yang berdiri tepat di sampingku. Dengan suara terbata-bata aku bertanya, "kamu siapa?."

Dewi Sinta minangka titisan katresnan sejatine Rahwana

(Dewi Sinta, titisan cinta sejati Rahwana)

"Wah kamu sudah lupa ternyata, kenapa kamu duduk disini, ini kan bangku khusus dedemit tau." - Awalnya, kukira dia sama sepertiku, arwah jiwa yang terjebak dalam sandiwara. Tapi keyakinannya seperti telah mengenalku dari lama, kurasa dia masih manusia. "Bisakah kita mengobrol di tempat lain?," Ajakku menjauh dari kerumunan lautan orang-orang heran kebingungan.

"Sanes kula ingkang madosi, nanging wekdal ingkang kepanggih"

(Bukan aku yang mencarinya, tapi sang waktu yang mempertemukan)

| Reganang Pribadi |

       ‎  SMP Tridwieka, awal kita jumpa. Mengingat kejadian waktuku masih sekolah dasar, sekolah dengan murid-murid kurang ajar yang memperlakukanku dengan kasar hingga dipermalukan. Mereka menganggapku aneh dengan kelebihan yang kumiliki, kelebihan yang membuatku merasa kekurangan. Kurang akan teman. Mereka mengejekku dengan sebutan 'halu', mereka tak percaya bahwa aku dapat melihat hantu. Ada juga yang menjauhiku karena takut padaku, takut karena mengira aku memiliki teman hantu. Ada pula yang mengejekku anak dukun.

       ‎  Tepat di bulan Juni, aku lulus dari sekolah dasar ini dan berharap kejadian itu tak berulang lagi di sekolah baruku nanti. SMP Tridwieka, tempat dimana awal aku berpura-pura menjadi orang lain, orang biasa yang tak memiliki kemampuan apa-apa.

Murid-murid baru itu berkumpul dalam satu kelas - begitu juga denganku, menunggu kedatangan guru pemalas, datangnya terlambat. Seperti biasa, guru menyuruh kami maju satu per satu untuk memperkenalkan diri, teori kehabisan materi. "Anak-anak silahkan kalian maju dan memperkenalkan diri kalian serta ceritakan hal menarik di sekolah kalian sebelumnya." Aku benci mengingat kejadian pahit yang sudah terjadi.

Semuanya maju satu persatu, memperkenalkan diri dengan malu-malu, menceritakan hal menarik yang sebenarnya tak menarik. Membosankan. Hingga giliranku tiba, aku maju ke depan dan mulai memperkenalkan diriku. "Perkenalkan namaku Reganang Pribadi, panggil aku Rega. Hal yang menarik waktu SD saya tidak ada, hanya ada ijazah SD demi masuk SMP".

[→←]

       ‎  Jam istirahat berbunyi, semua murid mulai mendekatkan diri. Mereka tampak jago berkenalan, seperti sudah biasa memiliki teman. Tidak sepertiku. Beberapa murid pergi meninggalkan kelas, sedikit demi sedikit mereka keluar semua kecuali aku. Meski aku sudah menyembunyikan hal itu, tetap saja mereka menjauhku. Bermesraan dengan kesendirian, rasanya aku seperti dikutuk.

       ‎  Hampir seminggu lebih aku menyendiri di kelas ini. Hanya seminggu lebih, sebelum aku berkenalan dengan siswi yang sama-sama penyendiri, tapi tidak pemalu sepertiku. Rambut panjang digerai, bermata belo dan tingginya sekitar sepuluh senti dibawahku. Heningtyas Rembulan, murid-murid lain memanggilnya Tyas, hanya aku yang memanggilnya Hening. Setiap aku memanggilnya dengan nama itu, tangannya tak absen menjambak rambutku, karena dia benci dengan nama itu. Kami memiliki hobi yang sama, -sama-sama suka hal-hal yang berbau horror- hal yang membuat kedekatan kami semakin erat. Hingga murid-murid lain mencurigai hubungan kami. - Persetan dengan semua ini.

[→←]

       ‎  Lambat laun, sepertinya Hening mulai risih dan perlahan pergi. Apakah ia sekedar malu atau memang ingin menjauh dariku. Aku tidak tau. Aku hanya memastikan jika aku sudah berusaha menyembunyikan kelebihaku itu selama 2 tahun aku berteman dengannya, tapi tetap saja tak ada yang menetap. Mungkin memang aku ditakdirkan bergelut dengan kesendirian.

       ‎  Setahun berlalu, inilah waktu yang kutunggu, pergi dan berganti. Untuk apa aku mengenang tempat yang tak membuatku senang, kecuali Hening. Kelulusan ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat tinggal dan sampai jumpa. Namun sayangnya, aku tak sempat mengucapkan itu semua, semoga kita bisa jumpa meski usia dikala senja. Rasa malu yang membelenggu mulutku, perlahan mundur, m u n d u r , m  u    n     d      u     r... . . . . .

[→←]

| Jumpa |

       ‎  "Maaf aku gak ingat siapa kamu,"

       ‎  "Aku Rega, kamu lupa sama aku?,"

       ‎  "Aku hantu." - Rega menatapku tak percaya, tapi sungguh aku tak ingat dengannya.

Nanging sayangé, Sinta wis dadi kagungané Rama, raja Ayodya

(Namun sayang, Sinta sudah milik Rama, raja Ayodya)

Mengingat senyumannya yang tadinya sumringah, menatap indah pada kehadiranku disana. Pertemuan tanpa kesengajaan yang menghadirkan kenangan baginya. - "Oh, maaf, pantas orang-orang memandangku tak jelas. Kukira tadi kau temanku, ternyata kamu sudah menjadi hantu." Rega tersipu malu, memalingkan pandangannya dariku.

"Menapa kula kedah ngerelakenipun kados menika mawon, utawi aku badheipun ngrebut sanajan nyawaku dadi totoan"

("Apa aku harus merelakannya begitu saja atau aku akan merebutnya meski nyawa taruhannya?")

       ‎  Ia mulai melangkah pergi. Kini aku duduk sendiri disini, memandangi punggung Rega yang perlahan menepi. Datang-datang Lingga menghampiri, menanyakan apa yang ku bicarakan tadi. Dan kuceritakan dari awal hingga akhir Rega pergi

Kula mboten nyulik Sinta saka Rama, Sinta mung kesepian lan kula mung ngancani dheweke ing Alengka.

(Aku tidak menculik Sinta dari Rama, Sinta hanya kesepian dan aku hanya menemaninya di Alengka)

Setelah mendengar penjelasanku tadi, Lingga langsung berlari mengejar Rega dan pergi meninggalkanku sendiri - bersama Anjani.

       ‎  "Hai Bulan,"

       ‎  "Mulai saat ini panggil aku Hening."

Telung taun ing panangkaran, ora disiksa, ora dipeksa. Sinta didadike ratu dening Rahwana

(3 tahun disekap, tidak siksa, tidak dipaksa. Sinta diratukan oleh Rahwana)

| Bulan, teropong, dan astronot |

       ‎  Lingga masih mengejar Rega, dengan nafas yang terengah-engah demi menggapai pundak Rega. Puk.. "Eh.. kamu.. kenal.. Bulan..?." Tanya Lingga dengan nada kata terbata-bata.

       ‎  "Bulan siapa?,"

       ‎  "Yang tadi,"

       ‎  "Maksudmu Heningtyas Rembulan?." - Lingga senang tak kepalang, berhasil menemukan kerabat dekat Bulan yang selama ini ia cari-cari agar Bulan tak abadi seperti ini. Lingga mengajaknya kembali ke tempat angkringan tadi dan memohon bantuan agar Rega dapat membawa Bulan pulang.

Namun, Rega sudah berjanji tak mau berimajinasi dengan hantu lagi. Ia ingin pergi meninggalkan kelebihannya itu sendiri. Mengurungnya dalam diam di gudang pembuangan.

"katresnan sejati ora perlu dipaksake"

("Cinta sejati tak butuh dipaksa")

Sing asale saka ati, Pastine tekan ing ati

(Apa yang datang dari hati, pasti sampai ke hati)

       ‎  "Hening butuh kamu." Tanpa hitungan detik, bujuk Lingga membuat Rega berbalik badan dan berjalan kembali ke angkringan. Namun, tak sampai mendekati Hening. Rega tak melanjutkan langkahnya, ia berhenti dibalik tembok putih. Tembok yang memisahkan angkringan dengan ruko pertokoan. Hening dan Anjani duduk berjauhan. Hening yang masih di bangku tadi, bangku yang ditinggal Rega pergi dan Anjani kembali duduk di bangku depan tadi, menyimak dalang yang masih menjalankan ceritanya.

       ‎  "Aku gak mau orang-orang menganggapku gila dan halu,"

       ‎  "Halu apa ?,"

       ‎  "Orang-orang akan menganggapku aneh karena mengobrol dengan hantu seperti kalian." Lingga memahami maksud Rega dan cerita dari Hening tadi. Lingga bergegas mendekati Bulan dan mengajaknya pergi dari sini. Tapi bagaimana dengan Anjani ?. Ia tak bisa meninggalkan Anjani sendiri, tapi Anjani tak ada hubungannya dengan kasus ini. Pikiran dan perasaan Lingga terbagi menjadi dua, antara mengajak Anjani atau meninggalkannya pergi sendiri. Lingga memilih pilihan kedua dan meninggalkan Anjani disana. "Maafkan aku Anjani." Tangan Bulan ditarik oleh Lingga dan mengajaknya berlari pergi dari sana.

[→←]

"Gusti, menawi tresnaku dhumateng Sinta kleru, punapa Sampean nggugah megah roso niku saking atiku?"

(Tuhan, jika cintaku pada Sinta terlarang,

mengapa Engkau bangun megah rasa itu di hatiku)

Mila, sanes anoman ingkang membunuhipun kawula, nanging tresna marang sinta ingkang terlampaui megah, ingkang ndamel kula rela seda sareng alengka. Lebet kecewa kula ndonga supados sang Hyang manunggaling jiwa kita wonten swargaloka

(Maka, bukan Anoman yang membunuhku, tapi cintaku pada Sinta yang terlampaui megah, yang membuatku rela mati bersama Alengka. Dalam kecewa aku berdoa agar sang Hyang mempersatukan jiwa kami di Swargaloka)

Wayang story Inspired by

Rahvayana - Sudjiwo Tedjo