webnovel

TITIK TANPA AKHIR

       ‎  Kamar Rega, tempat kami singgah untuk sementara. Mereka berdua tampak asik menekan dan memutar-mutar konsol game yang dimainkannya, aku menonton mereka diatas kasur Rega. Hantu bisa memegang benda-benda dunia manusia ?. Ya, dengan tenaga ekstra yang dimilikinya. Sudah setengah jam kami disini, menunggu kedatangan pagi dan menjalankan misi demi memulangkanku dari keabadian ini. Lalu, bagaimana dengan Lingga ?.

       ‎  Ganggang pintu yang terletak di sebelah kiri televisi tiba-tiba saja dibuka oleh seorang wanita yang Rega panggil dengan sebutan mama. Suara decitan pintu membuat Lingga terserempak, mendadak melempar konsol game yang dipegangnya.

       ‎  "Re, inget besok ada ujian, gak belajar?," Kata mama Rega.

       ‎  "Gak ah."

       ‎  Suasana mendadak senyap, mama Rega masih menatap dari balik pintu, seperti telah menekan mode'jangan ganggu'. "Toh, buat apa nilai-nilai bagus, ujung-ujungnya tetap saja aku nerusin usaha papa." Celetuk Rega yang Mamanya hanya menghela nafas panjang seketika berusaha membujuknya.

       ‎  "Kalau berhasil dapet nilai diatas kkm, mama beliin hadiah."

       ‎  "Hadiah apa?,"

       ‎  "Rahasia." Meski begitu, tak membuat ekspresi ketertarikan di raut wajah Rega. Mama Rega pergi dan pintunya kembali tertutup, dengan segera Lingga mengambil kembali konsol gamenya dan mereka berdua melanjutkan permainannya.

[∞]

       ‎  Pukul enam pagi jam beker Rega berbunyi. Namun, Rega sudah bangun sebelum jam beker itu yang membangunkannya. Apa dia sengaja memasang jam ini untuk membangunkan kami ?. Semalaman, Rega dan Lingga tidur di karpet bawah sedangkan aku tidur diatas ranjangnya. Lingga masih tertidur pulas, merasa puas bisa beristirahat. Pria berambut pendek sedikit ikal dan berkulit sawo matang itu terlihat sedang bersiap-siap, seragam putih abu-abu yang sudah dikenakannya sebagai tanda bahwa dia akan berangkat ke sekolah. "Aku boleh ikut ?," Inginku ikut. "Ok, tapi ingat, jangan pernah sentuh benda-benda di sekitarku, " setuju Rega diimbuhi sebuah perintah bersyarat. Rega dan aku menuruni tangga dan menuju ke garasi, melewatkan sarapan pagi yang sudah mama Rega siapkan. "Reg, ga sarapan dulu ?," tanyaku sembari menunggu Rega mengeluarkan motor vespanya. "Gak, ntar kebelet eek."

       ‎  Sesudah vespa yang ditunggangi Rega keluar dari pagar, akupun peka menutup pintu, tapi Rega malah mendekatkan mulutnya ke telinga, membentakku dengan perlahan dan nada suara yang di tekan, "Jang..an sen...tuh ben....da-ben.....da !." Takut Rega, mengingatkaku pada syarat perintahnya tadi. Rega takut menimbulkan kecurigaan warga. Aku pun turut menunggangi jok belakang dan kami pun pergi menjauhi rumah dan meninggalkan Lingga di kamar.

[∞]

| Keheningan pening |

       ‎  Rega berbeda dengan murid-murid lain yang berkumpul bersama dan mengobrol satu sama lain. Ia hanya duduk di bangku depan ruangan kedua, bangku yang sudah diurutkan berdasarkan alphabet inisial nama. Dikarenakan muridnya yang terlampaui banyak dan kelasnya hanya sepetak, terpaksa harus membagi murid-muridnya menjadi dua kelas. Rega melamun, matanya menatap kosong ke arah depan, arah papan tulis yang ku hadapi sekarang. Aku membaca-baca peringatan di papan tulis yang bertuliskan :

'1x bell = masuk kelas'

'2x bell = ujian dimulai'

'3x bell = dikumpulkan'

       ‎  Krriiing... Bell tanda masuk kelas, beberapa murid yang berkumpul di luar segera bergegas menuju kelas dan duduk di bangkunya masing-masing. Sembari menunggu pengawas ujian datang, mereka semua mengeluarkan peralatan tulis dan papan penjepit kertas. Kupandangi kegiatan mereka di pojokan kelas, samping meja pengawas. Pemandangan yang membosankan.

[∞]

       ‎  Terik matahari memancarkan cahaya yang masuk dari jendela kamar Rega. Cahaya itu mengenai kedua kelopak mata Lingga yang terpejam semalaman. Merasa silau karena kilauan jendela, Lingga terbangun dan duduk, mengumpulkan niat untuk terjun pada kehidupan yang keramat. Ia melumat bibirnya, memandangi sekitar kamar berantakan dan melihat kesunyian kamar tanpa sesosok Rega dan Hening. Kamar berantakan itu tampak seperti tempat kejadian perkara. Lingga penasaran dengan rak yang berada di ujung ranjang itu. Ia menggeledah, bak pencuri yang mencari uang lalu kabur melarikan diri.

       ‎  Sambil memegang secarik kertas yang diremuk habis-habisan, yang ia temukan di dalam rak, Lingga menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa perlahan setelah ia membukanya, "ah, masa remaja pujangga cinta." Kertas itu berisikan surat yang Rega buat dan bertuliskan 'untuk Hening'. Namun naasnya, surat itu tak tersampaikan dari tangan ke tangan hingga penghujung tahun perpisahan.

| Entah apa tujuan Tuhan mempertemukan kita

| Mengenalkanku pada dia

[∞]

       ‎  Kembali ke dalam kelas, penuh budak nilai yang berambisi lebih untuk mencapai hasil yang terlampaui memuaskan, demi memasuki dunia kuliah dengan iming-iming masa depan cerah, lalu bekerja dalam ladang tuan muda kaya raya. Gila. Mengerikan. Seperti inikah dunia manusia ?.

       ‎  Mereka ku pandangi daritadi, begitu pula dengan Rega, tak terkecuali. Semua tampak serius, takut dengan nilai minus. Dari sekumpulan murid-murid tekun hanya Rega yang melamun. Pengawas ujian pun heran dengan kelakuannya, bisa-bisanya kertas ujian yang terjeber di mejanya masih kosong melompong, sedangkan ujian sudah berjalan selama setengah jam-an. Aku berinisiatif untuk menolongnya, mendekat pada telinganya dan membisikkan, "beritahu aku, mana murid paling pintar di kelas ini." Lalu Rega memutar bolpoinnya dan mengarahkan kepala bolpoin itu pada arah seorang siswi yang duduk di belakangnya. "Nomer satu A," bisikku dan seterusnya.

[∞]

       ‎  "Cara kerjanya sama kayak pesugihan bukan ?"

       ‎  "Kenapa bisa begitu ?"

       ‎  "Aku kan hantu"

       ‎  "Haha, thanks udah bantu"

| Seseorang yang bisa membuatku tertawa lepas bahagia

| Meski hanya sementara

[∞]

| Hanya sementara |

       ‎  Seminggu kemudian, ujian sekolah sudah rampung mereka lalui bersama, Rega dibantu oleh bisikan hantu konyol yang saat ini masih bersamanya. Mereka bertiga — Hening, Lingga dan Rega — bercanda tawa di gazebo kayu dekat rumah tua. Tempatnya tak jauh dari komplek perumahan Rega. Meski begitu, gazebo itu sepi dari pandangan orang-orang, jadi Rega puas mengobrol bebas dengan mereka berdua. Canda tawa ria menaburi mereka bertiga, entah apa yang mereka tertawakan. Mereka tampak kompak, kompak bercerita, kompak berdiskusi, dan kompak berhalusinasi. Halusinasi yang menghancurkan keramaian canda ria, dan tawa yang terhenti seketika. Disusul dengan raut kesedihan menghadiri wajah mereka. Terutama pada Rega dan Lingga.

       ‎  Rega teringat pada sebuah janji yang ia buat untuk dirinya sendiri. Janji dimana ia tak lagi memiliki teman imajinasi. Namun kali ini, ia baru merasakan hidup meski bersama jiwa-jiwa yang raganya sudah mati. Semua ini didalangi oleh Lingga, Lingga adalah dalang yang membuat Rega berkhianat pada janji yang ia buat. Begitu pula dengan Lingga, kepalanya juga mengingatkan bahwa ia hanya sementara untuk ini semua, misinya hanya untuk memulangkan Hening. Setelah Hening pulang, Lingga pergi dan kembali pada danau yang sunyi. Lantas bagaimana dengan Hening ?. Tentu saja Hening akan melupakan ini semua, karena kehidupan yang masih bernyawa. Hanya saja jiwanya terbagi menjadi dua.

| Pertemuan tak menjanjikan untuk tetap berteman dan bertahan

| Apakah kita akan saling mengucapkan kalimat perpisahan ?

[∞]

Go on now ♪

Don't let this go ♪

Don't let my love fade away ♪

People come and people go♪

But I... stay ♪

Ghostride - Crumb

       ‎  Masih lama, belum ada titik terang sebagai jalan pulang. Ingatan yang kembali pulih hanya dua puluh persen, hanya sebuah nama dan kembalinya teman lama. Aku senang masih merasakan ini semua, ada Lingga, Rega, dan kehidupan tak terhingga. Kehidupan yang tak terhingga hanya untukku dan Lingga, untuk Rega ? Apakah aku harus menyuruhnya bunuh diri juga ? Tidak. Jangan. Walau kenyataan mengatakan itu semua hanya sementara. Aku berharap ragaku benar-benar mati agar aku tetap bisa menikmati keabadian seperti ini.

       ‎  Memangnya jenuh menunggu hal yang tak kau tau kepastiannya, entah ada atau tidak tapi tetap saja harus menunggu. Kejenuhan itu membuat dua hantu ini menjadi pembantu Rega, berkedok menghilangkan kejenuhan dalam rumah. Lelah jika hanya berdiam di rumah Rega dan menunggu Rega pulang. Jadi, kami mengikuti Rega hingga ke sekolah, menemani si cupu tak pandai bergaul itu. Kadang kami juga berlagak ikut serta menjadi murid yang duduk di bangku, seolah-olah memperhatikan guru yang sedang menerangkan, dan memberi Rega contekan. Semua kami lakukan dalam seminggu.

       ‎  Hari ini, kami masih bersinggah di kamar Rega. Tempat yang menjadi markas paling aman dan nyaman yang pernah ada, setelah Rega memasang pengedap suara kemarin yang ia beli dari online shop. Dengan begitu, orang-orang tak kan menganggapnya punya teman imajinasi. Rega tak lagi berbicara dengan hati-hati dan takut ada yang mendengarnya lagi. "Nah gini kan enak," kata Rega. "Good, good, very very good," pujiku pada hasil kerja Rega yang diusulkan Lingga. Lingga pun merasa besar kepala dengan pujian yang kuucapkan, "Ya iyalah good ide saya kok, jangan pernah diragukan." — "Alah tai," sahut Rega dengan wajah sinisnya, memutarkan kedua bola matanya, membuat Lingga terdiam dengan senyuman sombongnya. Suasana menjadi sepi sekeita, dan aku pun sekedar basa-basi mencairkan kembali suasana yang sedang senyap ini dengan topik yang kubisa.

       ‎  "Reg, kata guru tadi besok pembagian nilai ujian ya,"

       ‎  "Yoi,"

       ‎  "Kalo semisal dapet nilai jelek gimana ya ?,"

       ‎  "Palingan cuma dipukulin ayah," dengan santainya jawab Rega, sambil meletakkan punggungnya pada bantal yang tersedia. Akhirnya Lingga angkat bicara, Lingga seperti sensitif dengan hal-hal yang berbau kekerasan, "Kok bisa dipukul ga, kenapa ?, Kan kamu udah usaha." Rega pun menjawab, "ya, namanya juga orang tua, apalagi sekolahku itu swasta, bayar mahal-mahal tapi hasilnya nihil. Orang tua mana yang mau punya anak kayak gini ?, Nyusahin." Mendengar itu, kami berdua mengangguk-anggukkan kepala, memaklumi kebodohan Rega.

       ‎  Tengah malam pukul dua belas, Hening sudah tertidur pulas. Rega dan Lingga melanjutkan pertandingan virtualnya dengan konsol game yang dimainkannya. Alunan musik lofi yang Rega putar membuat Hening mengantuk dan tertidur. Tiba-tiba, Hening terbangun dan teriak sejadi-jadinya. Bak pahlawan kemalaman - bukan lagi pahlawan kesiangan karena sudah malam, Lingga berusaha menenangkan Hening. "Ada apa ning," tanyanya. "Mimpi buruk kali," jawab Rega seperti biasa, santai. Hening pun menceritakan pada Lingga tentang apa yang terjadi dalam mimpinya. Hening mendapat sebuah ingatan soal kehidupan sebelumnya, seperti tangisan, nilai ujian, dan kekerasan. Semuanya sama seperti yang Rega ceritakan, tapi melekat pada kehidupan Hening, bukan karena memimpikan cerita Rega. Mendengar itu semua, Lingga pun menyimpulkannya dalam pikiran, bahwa Hening juga pernah merasakan apa yang Rega ceritakan. Ia tak berani mengungkapkan itu semua, takut jika Hening trauma dan menolak untuk kembali pulang kerumahnya. Lingga berusaha menenangkan, ia memeluk Hening hingga Hening kembali tidur. Genggaman tangan Lingga menghangatkan tubuh Hening yang kedinginan karena kipas Rega yang mengarah ke arah Hening.

       ‎  "Ah mesranya dua sejoli ini," celetuk Rega menggoda Lingga.

       ‎  "Cemburu ya hehe"

       ‎  "Engga lah ngapain," wajah Rega memerah dan menyembunyikan rahasia dengan kebohongan, tapi Lingga yang sudah tau rahasianya hanya bisa tertawa terbahak-bahak.

| Setiap ikatan tak harus bergandengan tangan bukan ?

[∞]

       ‎  Mimpi itulah yang sebenarnya ku tunggu, Hening akan pergi. Begitupun denganku, aku akan kembali pada danau itu lagi dan bergelut dengan sepi, hingga panggilan alam datang dan menyuruhku kembali menemani seseorang lagi dan lagi. Dan Rega, ia pasti akan menjalani janjinya kembali, dengan berhenti memiliki teman imajinasi seperti kami. Aku sudah menceritakannya pada Rega, untung saja Hening masih tertidur, aku tak ingin jika Hening mengetahui semuanya. Ini akan berakibat buruk. Seandainya Heninh tau jika ia akan pulang pasti dia akan senang, karena tak akan abadi seperti ini.

| Ringkasan dari pertemuan yang diakhiri dengan perpisahan

       ‎  "Reg, kamu tau rumahnya Hening ?,"

       ‎  "Tau, kenapa ?,"

       ‎  "Antar jiwa Hening kesana nanti ya,"

       ‎  "Pasti."

[∞]

| Aku yang Tidak Mau |

       ‎  Hari berganti, hari sudah berganti esok untuk kemarin. Sangat secara tiba-tiba saja, Rega mengajakku pulang ke rumahku dan Lingga yang memberi tahuku bahwa aku akan hidup kembali seperti sediakala. Mengetahui bahwa aku akan hidup kembali, aku menolaknya, karena aku masih tetap ingin bersama mereka. "Nanti saja deh, aku masih ingin disini, ngerasain main sama kalian hehe."- Mereka berdua setuju pada pintaku, tampak dari senyum menyengir yang mereka tunjukkan bersamaan. Lalu Rega pun pergi ke sekolah dengan hati gembira, terlihat dari gerak-gerik dan senyuman sumringahnya. Aku seperti kunci kebahagiaan mereka. Kali ini Lingga dan aku tak ikut Rega ke sekolah, kami ingin surprise dari melihat nilai Rega, hasil contekan kita, meski gak semuanya. Lingga dan aku juga bermain tebak-tebakan untuk menjawab soal ujian Rega. Menyenangkan bukan ?.

[∞]

       ‎  Tak sabar menunggu ujianku, aku duduk di bangku dan menunggu namaku disebut. - "Reganang Pribadi." Ah akhirnya, wali kelasku memanggilku dengan beberapa lembar kertas ujian yang dipegangnya. Aku maju ke depan dan mendekat pada wali kelas. Tapi ia tak langsung memberikan lembaran ujian itu padaku.

"Rega, nanti sepulang sekolah ke ruang BK sebentar ya,"

"Ok." Aku pun kembali duduk ke bangkuku dan melihat-lihat beberapa nilai di lembaran ujianku. Sambil menunggu giliran selanjutnya dipanggil dan jam sekolah berakhir.

       ‎  Kring..kriing...kriiing.... Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid menuju tempat parkir dan ada yang berdiri di depan gerbang menunggu jemputan. Teringat suruh dari wali kelasku tadi, aku berjalan menuju ruang BK dan bertemu beliau.

       ‎  "Kamu mencontek ya ?"

       ‎  "Enggak tuh, kenapa bu ?"

       ‎  "Nilai ujianmu jauh dari nilai-nilaimu sebelumnya, yakin gak nyontek ?"

       ‎  "Ibu dikasitau pengawas begitu ?"

       ‎  "Engga sih, pengawas gak bilang kalo ada yang nyontek makanya ibu tanya langsung ke kamu"

       ‎  "Mohon maaf sebelumnya, silahkan ibu cek sendiri di cctv"

Beliau pun mengeceknya, hanya terlihat Rega mengerjakan soal-soal ujian tanpa menoleh sedikitpun ke arah murid-murid lain di sekitarnya.

[∞]

       ‎  Sudah tujuh jam kami berdua suntuk menunggu Rega, mau sampai kapan dia di sekolah ?. Aku yang rela mondar-mandir seperti setrikaan dan Lingga hanya merenung memandangi cuaca yang tiba-tiba mendung. Lalu kami pun menoleh kearah bunyi mesin motor yang tak asing di telinga, mesin motor vespa Rega. Akhirnya ia pulang, untungnya hujan datang sesudah ia sampai ke rumah. "AKU PULANG," teriak Rega di kamar, sambil tertawa bahagia dan segera merogoh tas yang dibawanya. Lingga dan aku menunggu hasilnya dan "WOW YEAH, Seratus!!," Teriakku yang bersahut-sahutan dengan teriakan mereka, Rega menyalakan musik rock dan halilintar hujan menambah kebisingan, memulai tarian penghancur kamar. Namun, tiba-tiba saja Lingga gila ini membuat kami berhenti menari gara-gara pertanyaan konyolnya, "emang gurumu gak curiga ?."

       ‎  "Yaiyalah, makanya tadi aku pulangnya lama,"

       ‎  "Trus kamu jawab apa ?" — Rega langsung menceritakan semua kejadian di sekolahnya tadi dan aku kembali teriak sejadi-jadinya lagi dan "Aduh sakit," tubuhku terasa panas padahal di luar masih hujan deras. Aku terbaring lemas, tubuhku semakin tembus pandang hampir tak terlihat, Rega dan Lingga khawatir dengan keadaanku. Aku merasa bersalah, menghancurkan getaran kegembiraan yang ada. "Reg, antar Hening ke rumahnya," - suruh Lingga, Rega mengangguk dan menarikku. "GAK, gamau, aku masih ingin seperti ini, sebentar saja," aku tetap menolak, tapi tawa gembira tak lagi datang pada mereka seperti tadi.

       ‎  "Kamu harus pulang ning, ini udah saatnya ragamu butuh separuh jiwamu itu,"

       ‎  "Lalu bagaimana dengan kalian ?"

       ‎  "Ya kami tetep seperti biasa, gak gimana-gimana," — kali ini aku benci dengan jawaban santai Rega.

       ‎  "Pokoknya kamu pulang dulu ya, soal bagaimana dengan kami biar kami pikirkan," bujuk Lingga, berusaha menenangkanku tapi tetap saja tidak bisa. Tubuhku semakin sakit, mereka membawaku pulang dengan paksa. Rega meminjam mobil ayahnya, berbohong dengan ijin palsu karangannya, "ijin pinjam buat jalan-jalan," katanya. Rega telah merusak citra arti dari jalan-jalan yang seharusnya menyenangkan, tapi perpisahan penuh diam menahan tangisan.

| Hingga saatnya tiba, akhir dari sebuah kisah

| Bertukar sepenggal pamit diakhiri dengan kalimat 'selamat tinggal'

| Akankah ada hari selanjutnya, yang mengharuskanku mengucapkan 'sampai jumpa' ?