webnovel

TITIK AWAL

| Kematian ini seperti membuatku terlahir kembali, lahir pada kematian.

| Kematian yang hidup.

| Namun, kehidupan yang baru lahir.

| Sulit dijelaskan.

_

[ Prolog tentang Akhir ]

       ‎  Aneh jika aku harus memulai cerita yang sudah mencapai akhir. Bahkan, aku saja tidak tau kenapa aku baru mulai merasakan hidup saat aku sudah mati. Aku juga tidak mengerti kenapa aku terbagi menjadi dua. Antara diriku saat ini dan raga seorang gadis yang tergeletak disitu. Apakah aku dikloning?. Kurasa diriku saat ini adalah arwah dari jiwa gadis itu, gentayangan seperti hantu. "Hantu?," pikiranku tersentak seketika, mengira jika aku akan berwujud menyeramkan sama seperti sesosok hantu yang menangkring diatas lemari pojok itu. Aku bisa melihat hantu?. Derap langkah kaki berlari menuju cermin yang tak jauh dari lemari, memastikan apakah aku benar-benar menjadi hantu seperti itu atau tidak. — Fyuh, syukurlah tidak. Wujudku masih sama seperti gadis itu, memakai celana panjang bermotif batik, berkaos putih dan berambut bondol dengan poni menutupi setengah dahi. Terlihat lemas, tergeletak tak bernyawa. Jika memang aku sudah mati, kenapa wujudku berbeda seperti hantu-hantu lainnya? Semoga ada seseorang yang bisa menjelaskan tentang ini semua.

     ‎  Tatapanku tertuju pada pintu itu. Tertutup, menutup ruangan yang redup. Inginku membuka pintu. Dengan segera, langkahku menuntun kesitu dan berdiri tepat berhadapan dengan gagang pintu. Tanganku seolah mengayuh, berusaha untuk menyentuh. Namun, pintu ini tampak seperti fatamorgana, tidak bisa disentuh, ataukah aku yang benar-benar menjadi hantu. Hantu gentayangan yang tidak perlu tangan untuk membuka pintu. Pertama ku mulai mencoba menembuskan kakiku dan disusul dengan seluruh badanku. Keluar dari kamar itu. Aku berputar tiga ratus delapan puluh derajat, mengelilingi setiap sudut rumah. Namun, hanya sepi yang kudapati. Sangat sepi. Tidak ada satu orangpun yang terlihat kecuali ragaku sendiri. Tiba-tiba, telingaku menangkap dengar suara gemercik air, memercik setiap gesekan piring dan gelas. Menjelaskan jika aku tidak benar-benar sendirian. Akupun menuju pada sumber suara itu. Suara yang berasal dari dapur. Terlihat seorang nenek tua renta, gemetar menahan piring yang diangkatnya. "Nek, tolong saya," beliau tak hirau karena memang aku adalah hantu yang tak bisa disentuh apalagi dirungu.

[.]

       ‎  Pyarrr... salah satu piring jatuh, memecah belah, memisahkan setiap beling piring. Hampir mengenai kaki beliau. Aku tak bisa berkutik untuk menolong sedikit. Hanya bisa diam, berdiri diatas keramik. Aku hanya bisa menilik, melirik dari samping sambil mengedip-ngedipkan mataku, berusaha menahan genangan air mata yang hampir jatuh.

       ‎  Sambil lirih tangis aku berlari keluar dan menengok sekitar. Ramai orang berlalu lalang. Lupakan semua kesedihan dan ciptakan sebuah kesenangan. Ingin rasanya aku bersenang-senang dan mengganggu orang-orang. Aku berlari menyusuri jalanan dan sampai pada halte bus yang ramai calon penumpang. Segera ku berlagak seperti hantu pengganggu. Menganggu orang yang sedang menunggu di sebuah halte bus itu dan menjahilinya satu persatu, meniupkan nafas dingin dibelakang kuping hingga membuat mereka merinding. — "Tuhkan, halte ini sangat angker," bisik mereka.

[.]

       ‎  Tak lama aku menjahili orang-orang disini, hingga tak sadar jika seorang arwah lain menghampiri. Perawakannya kekar tinggi membuatku mendongakkan kepala, rambutnya gondrong diikat cepol mengalahkan rambutku yang bondol. Hampir saja aku jahili, tatapan matanya tajam menatapku sambil mengernyitkan dahi. Hiiiii.... seram sekali. Akupun pergi, dan ingin meninggalkannya sendiri. Namun, beberapa kilometer jalan sudah kulalui, melewati gang sempit, menyebrangi pertigaan jalan. Kemanapun aku pergi, berusaha menghindari, tetapi dia tetap terus membututi. Dasar fans fanatik. Aku sudah mulai muak diikuti olehnya, di setiap langkah aku hanya bisa menggerutu dalam hati sampai terhenti di pinggiran jembatan pembatas kota. Segera ku melepaskan rasa muakku. Badanku berbalik tepat menghadap pada depan pria itu. "Maaf aku tidak bawa bolpoin untuk tanda tangan, jadi jangan ikuti aku lagi," mohonku. Semua terdiam seketika. Apakah dia menganggapku aneh? Aku? Aneh? Tidak! dia lebih aneh. Tidak ada jawaban sedikitpun yang keluar dari mulutnya, tak ada respon apapun untukku, melainkan pertanyaan yang tak berkaitan.

     ‎  "Apakah kamu jiwa baru ?,"

       ‎  "Maksudnya ?,"

       ‎  "kelakuanmu seperti orang gila." Lontaran katanya itu membuatku mendidihkan lava emosi dalam kawah hati yang akhirnya erupsi, ingin mengeluarkan kalimat yang seharusnya menyakiti. Namun, aku masih punya hati nurani dan tak membiarkan itu terjadi.

     ‎  "Kamu waras gak sih ?,"

       ‎  "Gak, namaku Lingga bukan Waras,"

     ‎  "Hah?." — Orang aneh, jawaban yang aneh. Lagian, siapa yang menanyakan namanya? Tidak apa, setidaknya aku tak perlu berkenalan dengannya

[.]

       ‎  Tak ada semenit waktu yang terbuang untuk berdiam saling kebingungan. Dia mengulurkan tangannya, mengambil tanganku, menarikku dan mengajakku pergi dari situ. Aku merasa heran, seperti telah berbuat kesalahan dan akan dibawa ke tempat penghukuman. Aku bertanya kepadanya, "Kemana? Apakah aku akan dimarahi lagi?." Ia terhenti, mataku ditatap serius olehnya, sambil mengangkat satu alis, mengerutkan dahi. Bingung. Seperti menyimpan banyak pertanyaan karena ucapanku tadi. Aku juga tidak tau kenapa aku mengatakan hal itu, kalimat itu keluar secara spontan seolah ada naskah yang sudah dihafalkan.

       ‎  Ia melanjutkan perjalanannya tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Dia mengajakku kembali ke halte bus itu dan menyuruhku duduk menunggu. Tak lama kemudian, bus antarkota datang dan para calon penumpang menumpangi bus itu, begitu juga dengan aku dan Lingga. Kuharap dia tak salah memilih bus atau aku juga ikutan mampus kesasar. Aku sangat mengkhawatirkan diriku sendiri, aku takut pada pria ini, sepanjang perjalanan tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya hingga kami sampai pada tujuan. Kami berhenti di sebuah terminal bus, menunggu semua orang turun terlebih dahulu. Setelah bus sepi tanganku kembali ditarik olehnya lagi dan menumpang pada truk yang kebetulan berhenti disitu. Akupun duduk meringkuk di dalam truk itu. Tak lama perjalanan, tiba-tiba dia menyuruhku loncat. Apa dia gila, menyuruhku loncat dari truk ini?. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tapi dia menggenggam erat tanganku dan loncat dari truk itu bersama dengannya. Namun, tak ada satu luka pun di sekujur tubuhku. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Mau sampai kapan aku akan berjalan mengikuti dia?.

[.]

       ‎  Akhirnya sampailah kami pada tujuan. Menakjubkan. Pemandangan yang sangat menawan, lelahku terbayarkan. Apakah aku berada di surga. Tidak, aku masih menginjak tanah. "Tempat apa ini?." Benar-benar tempat yang bau kutemukan. Biarkan aku berdiri sendiri disini, diatas bukit tinggi, mendeskripsikan apa saja yang kulihat saat ini. Tampak pepohonan yang rindang di siang hari, mengerubungi danau berair payau dengan cahaya nan berkilau, merefleksikan bayangan dari setiap pemandangan. Tempat ini terlihat hidup, bernafas, meniupkan angin sepoi-sepoi semi kencang seperti badai, menggeraikan rambut yang terurai. Namun, keindahan itu pecah sesaat, setelah aku teringat akan pertanyaan-pertanyaan yang menggumpal di pikiran selama perjalanan. Akupun bertanya tanpa menatap pria itu, "Kenapa aku dibawa kemari?." Mataku tak bisa memalingkan pandanganku dari pemandangan yang kutuju.

       ‎  "Tadinya ada hal yang ingin kutanyakan padamu," jawabnya, mengundang perhatian untuk perkataannya.

       ‎  "Apa?"

       ‎  "Kurasa tidak jadi." Menyebalkan, kukira susana akan mulai serius tadi. Padahal aku sudah pasang badan sigap, bersiap untuk menjawab.

[.]

[ Lingga dan Entah Berentah ]

       ‎  Lingga Abdiranu, kadang aku enggan mengartikan namaku. Katanya, nama adalah doa dari orang tua. Ya, memang benar adanya. Orang tua yang jahat. Mengapa demikian? Kurasa aku harus menjelaskan arti namaku ini. Lingga, penguasa katanya, aku tak begitu paham arti dan makna dari bahasa sansekerta. Abdiranu, dari kata abadi, dan ranu yang berarti danau. Jika digabungkan, maka makna dari arti namaku adalah 'penguasa yang abadi di danau', benar-benar abadi.

       ‎  Jenuh, sudah puluhan tahun menunggu, menunggu, menunggu dan akan terus menunggu, entah apa itu yang ditunggu. Ini bukan soal takdir, karena aku telah bunuh diri. Tuhan mana yang tak murka, jika jalan cerita yang sudah disiapkan tiba-tiba dihancurkan. Jika diibaratkan, bukan lagi nasi menjadi bubur. Masih bisa dimakan dan dinikmati. Melainkan nasi yang sudah sangat basi tapi tetap dikonsumsi. Menjemput mati.

       ‎  Disinilah aku hilang, di tempat yang jarang diketahui banyak orang. Mungkin jika aku masih hidup di jaman sekarang aku akan menyebutnya 'hidden gem'. Bagaimana tidak?, Lihat saja wanita yang kubawa saat ini, terlihat kagum, memandangi tempat ini dari setiap sisi, sudut dan tinggi, serta tanyanya yang menjadi bukti keindahan tempat ini. "Tempat apa ini?," katanya. Seandainya kau tau cerita dibalik keindahan itu mungkin dia akan membenci itu. Seandainya.

     ‎  Awalnya, kukira dia orang yang sama dengan seseorang yang pernah kutemui saat aku masih hidup. Aku tak bisa ingat namanya, apalagi wajahnya. Entah, aku hanya bisa mengingat kehadirannya. Yang kutahu mereka berdua memiliki aura yang sama. Sama-sama terlalu sering dimarahi. Kehadirannya membuatku ingin membawanya kemari, mengundang seribu memori.

     ‎  Ingatan-ingatan semasa hidup benar-benar tidak bisa kuingat dengan jelas. Semuanya terlihat remang-remang dalam bayangan ingatan. Bahkan awalnya saja, aku tak mengingat siapa namaku. Saat itu, tiba-tiba saja ada sebuah nama yang entah datang darimana muncul dalam mimpiku, nama yang tak asing, terdengar melekat begitu dekat, seperti sudah terikat antara aku dan nama itu. Namun, soal bagaimana aku mati, sebenarnya aku tidak tau pasti, aku hanya mencari tau dan menyimpulkannya sendiri. Apakah kesimpulanku benar-benar ril atau tidak, aku tidak tau. Kematian ini seperti membuatku terlahir kembali, lahir pada kematian. Kematian yang hidup. Namun, kehidupan yang baru lahir. Sulit dijelaskan.

[.]

[ Menunggu hal yang Ditunggu ]

       ‎  Masih disini, menjadi saksi tenggelamnya matahari. Hingga bulan dan bintang-bintang datang menggantikan matahari yang telah tenggelam, sore menjelang malam. Malam dengan kesunyian. Akankah ada sang Juru selamat yang lahir?.

-

Silent night, holy night ♪

Shepherds quake at the sight♪

Glories stream from heaven afar♪

Heavenly hosts sing halleluya ♪

C h r i s t   t h e   s a v i o r   i s   b o O o r n♪

Christ the Savior is born♪

- Silent Night

       ‎  "Apakah kamu mengingat sesuatu saat kamu masih hidup?," Celetuk Lingga bertanya, mengetuk kesunyian yang mengutuk malam, membangunkan jiwaku yang duduk tersuntuk. Aku hanya melihatkan ekspresi kebingungan dengan apa yang dimaksudkan dia. Entah ingatan apa yang dia tanyakan. Lingga melanjutkan, peka untuk menjelaskan, mungkin karena bahasa wajahku terlihat kebingungan. "Sesuatu hal yang kecil, mungkin nama atau apa". Kali ini benar-benar serius, sumpah demi neptunus aku berusaha keras untuk mengingat. Berusaha setengah hidup, bukan lagi setengah mati karena aku sudah mati. "Tidak ada," - sungguhan, tidak ada satu hal pun ingatan yang ada dalam pikiran. Apalagi sebuah nama. Dia baru saja menyadarkanku pada sebuah nama yang seharusnya teringat diluar kepala. Baiklah, aku akan ikut menunggu," dia merespon dengan ekspresi bengong, sedangkan aku bingung tak tertolong.

       ‎  "Menunggu apa?",

       ‎  "Tidak tau," - Hm, masih aneh, masih Lingga yang sama. Tidak jelas.

[.]

       ‎  Lingga berdiri dari sandarnya, menoleh ke bawah, ke arahku yang duduk meringkuk melamuni langit malam. "Biar kubantu mengumpulkan ingatan yang hilang, sambil berjalan bersenang-senang, jika ada ingatan yang mengganjal di pikiran, bilang ya." - Terserah, aku lelah memahami maksud dia. Menyesal, mengharapkan dia bersikap serius. Namun sama saja, aneh, serius ataupun tidak, karena topik yang dijurus sama-sama aneh.

       ‎  Sebutir air tiba-tiba menetes di lengan sebelah kiriku, lengan yang masih merangkul kedua lututku. Kiri, arah Lingga berdiri. Apakah tetesan air itu berasal dari gerimis ataukah Lingga yang menangis. Dua-duanya. Tangis Lingga yang bertanding dengan gerimis singkat, disusul dengan hujan lebat, membuat kami berlari kalang kabut mencari tempat teduh, menuju gubuk jerami yang tak jauh di sekitar kami.

[.]

       ‎  Gemuruh suara deras hujan, mengundang suara petir nan keras. Ada yang diam kedinginan, ada juga yang seperti merasakan penyesalan dengan apa yang telah ia lakukan. Salah satu dari kami yang saat ini berdiri meneduh dibawah gubuk jerami. Lingga, pria gagah bersifat sementara. Kenapa? Karena dia termasuk pria paling cengeng yang pernah kutemui. Lihat saja, sebentar petir menggelegar menyambar awan, dia keluar dari gubuk dan berdiri diatas rumput. Ia berteriak dengan suara yang agak serak. Kurasa suara serak itu ia dapati sehabis menangis, bonus gratis dari sang tangis. Orang mana yang tak bertanya-tanya dengan kelakuan seperti itu secara tiba-tiba. Masa iya dia kesurupan? hantu dirasuki hantu? jeruk makan jeruk?. Biarkan saja, aku tak paham alur cerita ini.

-

| Banyak hal yang ingin ku tanyakan.

| Namun, seribu bisu membungkamku dalam diam.

| Banyak pertanyaan yang menunggu jawaban.

| Namun, masih terpendam di hati yang penuh keraguan.

-

       ‎  "Lingga,"

       ‎  "Ya?,"

       ‎  "Emang hantu bisa kehujanan? Kan mereka transparan,"

       ‎  "Siapa yang bilang bisa?."— Percuma neduh. Sekarang giliran aku yang melangkah keluar, menarik nafasku dalam-dalam dan mulai berteriak di tengah-tengah hujan kegilaan, "LINGGA GILAAAAA!!!!!!!."

[.]

[ Meneropong Bulan ]

       ‎  Masih disini hingga hujan pergi, duduk berdua dalam gubuk jerami. Hanya berdiam memegangi kayu penyangga depan gubuk, tak ada yang bisa kulakukan selain melamuni bulan. Begitu juga dengan Lingga. Ia menyandarkan kepalanya pada papan kayu belakang gubuk itu, menatap kosong ke arah depan. Entah bulan ataukah hujan yang akan menjadi alasan pandangan lamunan.

       ‎  "Bolehkah aku memanggilmu Bulan?," Pinta Lingga tiba-tiba sambil menatapku, mengalihkannya dari lamunan tak beralasan itu.

       ‎  "Kenapa harus bulan?," heranku tiba-tiba

       ‎  "Karena kamu menutupi pandanganku pada bulan itu, menyingkirlah," katanya, sambil mengalihkan kepalaku dengan tangan kanannya. Menyebalkan. Kukira ada makna tersendiri dari nama itu. Bulan, lumayan bagus untuk dijadikan nama panggilan. Untung saja dia tak melihat pohon yang juga kuhalangi dari pandangannya, atau itu akan menjadi nama baruku. Sambil menunggu pagi, kami beristirahat di dalam gubuk ini hingga bulan lekas pergi dan digantikan mentari pagi yang segera menyertai hari. Aku juga bulan, apa aku juga akan meninggalkan Lingga sendirian?. Lucu. Kuharap begitu.

       ‎  Apakah hantu juga merasakan ngantuk? Ya. Aku merasakan demikian sebelum aku melihat Lingga yang sudah tidur duluan. Memunggungiku seperti tak memperbolehkanku melihat wajah mode tidurnya.

Kami tidur disini, beratap jerami, beralaskan kayu jati, diterangi cahaya bulan dan kerlip bintang. Tak kusangka, seharian aku menjadi hantu, dari siang hingga petang datang, saat aku terjaga hingga aku terlelap bersama Lingga, teman hantuku.

[.]

| Teropong Bulan |

       ‎  Kenapa secara tiba-tiba aku memberinya nama Bulan? Nama itu sangat melekat pada dirinya dan begitu dekat denganku juga. Apakah aku mengenalnya di kehidupan masa laluku? Ah, tidak mungkin. Fisiknya saja terlihat seperti gadis remaja yang berumur belasan, sedangkan aku sudah mendekam selama puluhan tahun dan menetap pada fisik remaja seumuran dengan dia. Jadi, tidak mungkin aku mengenalnya disaat aku masih hidup.

       ‎  Tak pernah aku berpikir sedalam ini sebelumnya, memikirkan seseorang yang hanya sementara saja. Hanya sementara, tak akan bersama selamanya. Entah dia ke surga atau kembali ke dunia, bukan lagi sebagai arwah tapi sebagai manusia. Bukankah semua itu tugasku? Menemani mereka dan ditinggalkan begitu saja.

Bulan, biarkan aku menuntunmu berjalan, kembali pulang,

dan bertemu dengan orang-orang tersayang

- Lingga, sang peneropong bulan