webnovel

Apartemen feri

Mas Rendy memberitahu ku rencananya. Ia dan teman-teman nya mendapat izin cuti selama seminggu. Katanya dari pada bosan di rumah lebih baik kami berlibur, mumpung ada kesempatan juga sih jarang-jarang suamiku libur, dulu saja saat libur menikah hanya di di beri waktu dua hari.

Semalam aku dan Ratna bertukar pesan membahas liburan kali ini. Namun sebelum berangkat kami mau menginap di apartemen feri karena Apri suami nya masih ada kerjaan di kantor cabang.

"Udah siap semua bund,?" Koper kami sudah berada di dalam bagasi mobil yang kami pesan online. Aku hanya membawa satu koper berukuran lumayan besar dan tas yang ku bawa sendiri.

"Udah, Ratna sama Apri nunggu dimana?"

"Nanti kita ketemu di apartemen feri aja bund, besoknya langsung berangkat ke bali" memastikan semua pintu dan jendela aman terkunci kami langsung menuju apartemen yang feri maksud. Baru kami sampai di area gedung, mata ku memandang ke atas terlihat seperti ada kabut hitam tipis tipis yang keluar dari salah satu lantai gedung, debu kah? Pikirku kala itu karena tidak terlalu jelas.

Mas Rendy menelpon feri untuk menjemput kami, hanya dia yang memiliki akses untuk masuk. Apartemen ini bisa di katakan mewah buktinya tak sembarang orang bisa masuk.

"Sorry lama, Apri sama yang lain udah di atas." Kami bergegas ke atas. Hawa di lantai 20 ini agak panas, harusnya berada di ketinggian hawanya dingin, bukan? Ah, sudahlah aku tak menghiraukan nya. Mungkin memang pihak hotel tidak memikirkan sirkulasi udaranya. Feri mengajak temannya Yudha. Total enam orang sekarang. Aku dan mas Rendy segera memasuki kamar kami

Malam harinya, feri, Apri, Ratna dan yudha sudah berangkat ke kantor cabang. Ratna ikut sekalian karena akan membeli beberapa keperluan untuk besok. Sedangkan mas Rendy masih di kamar. Aku memutuskan untuk ke balkon menikmati udara segar malam ini, terlihat pemandangan kota jakarta dari sini.

Dugg.. Dugg... Dughh...

Samar-samar aku mendengar orang berlarian di lorong, sesekali mereka berteriak ribut, karena penasaran aku hendak mengintip dari celah pintu. Penghuni apartemen sibuk lari kesana-kemari, ada beberapa dari mereka yang juga mengetuk pintu di samping unit ku. Aku ingin bertanya pada mereka, tapi baru tangannya menyentuh gagang pintu mas Rendy malah menepuk punggung ku hingga membuatku kaget, anehnya nafasku tersengal sengal seperti habis berlarian juga.

"Kamu kenapa sih bund, keringetan gini" ia mengelap dahi ku lembut dari tatapannya ku yakin mas Rendy heran melihatku

"Itu loh mas, tadi penghuni apartemen kok lari-larian ya. Ada apa ya?" Ia mengerutkan dahi lalu membuka pintu lebar dan menatap lorong yang ternyata sepi

"Lah kok sepi?" Lirihku aneh. Kami berdua saling memandang

"Tadi beneran rame kok mas" kukuh ku lalu tercium bau gosong.

"Mas kamu nyalain kompor ya. Bau gosong ini loh nanti kebakaran" aku meninggalkan nya di depan pintu lalu ke arah dapur yang ternyata juga kompor tidak hidup sama sekali. Jangankan kompor dapurnya pun tidak ada alat untuk masak

"Kamu gak papa kan bund?" Mas Rendy menatapku khawatir lalu memelukku, aku menyandarkan kepala di dadanya

"Ada apa ya mas sama apartemen ini" lirihku

"Keluar yuk? Cari angin di bawah. Pasti kamu juga laper kan belum makan dari siang" tangan nya meraih pinggangku kami berdua berjalan keluar apartemen. Hawa panas masih ku rasakan sampai kami di tempat resepsionis.

"Maaf Pak. Bapak sama ibu gak papa?" Tegur pegawai yang bertugas di meja resepsionis, mungkin dia yang melihat ku gelisah sejak tadi keluar lift.

"Gak papa mba, cuma di lantai 20 panas banget ya. Kurang ventilasi udara" kataku sambil mengibaskan tangan ke leher. Sang empu hanya terdiam mendengar ucapan ku, aku pun langsung bergegas keluar. Ikan bakar sudah tersaji di meja kami mas Rendy dan aku langsung segera memakannya.

Drrrtttt.....

"Hallo"

"Oh, oke oke. Gue balik sekarang, lagi makan nih" jam menunjukkan pukul sembilan malam. Feri menyuruh kami cepat kembali karena ada yang mau di bahas dengan mas Rendy, mungkin masalah kerjaan. Kami segera kembali ke unit gedung. Ku lihat meja resepsionis sudah berganti seorang laki-laki memakai baju biru yang sepertinya sibuk tak menghiraukan kami lewat di depannya. Tangan ku menekan tombol lantai 20. Perlahan lift naik

Tingg...

Lift terbuka di lantai enam. Dahi ku menyerit, kosong. Tidak ada siapapun kenapa lift berhenti di lantai ini. Tangan ku meremas lengan mas Rendy was-was. Begitupun mas Rendy ia berusaha setenang mungkin

"Liftnya error kayanya, bund" ucapannya meyakinkan ku meskipun mustahil. Lift kembali naik membuatku bernafas lega. Tak lama lift berhenti lagi di lantai sembilan belas. Aku meneguk ludah ketika pintu terbuka, di lorong penuh orang-orang yang ah, pasti bukan orang. 'mereka' sosok yang menyeret kaki dan tubuhnya yang hangus menghitam di lantai. Di bandingkan zombie, ini lebih mengerikan. Beberapa dari mereka tubuhnya mengeluarkan asap hitam ke udara, seketika aku teringat asap yang ku lihat saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.

"M-mas..." Lirihku

Mas Rendy menutupi ku dari pemandangan tak lazim kami. Ku dengar ia merapalkan beberapa ayat suci Al-Qur'an. Tangan kanan nya terus menerus menekan tombol lantai dua puluh. Hawa panas terus menyelimuti kami berdua. Sosok itu hendak mencapai pintu tetapi terlambat pintu lift sudah kembali tertutup, tubuhku masih gemetar, seumur hidup baru kali ini aku menyaksikan mahluk sebanyak itu. Mereka seperti zombie. Mas rendy langsung menarik tanganku ke dalam unit apartemen

"Gila lo, beli apartment sembarangan banget fer" Mas Rendy memandang feri emosi, bahkan nada bicaranya sudah naik satu oktaf

"Maksud lo apa sih ren. Datang-datang marah" jawab feri heran

"Gue sama istri gue liat setan di lantai sembilan belas! kaya zombie, untung Nadia gak kenapa-kenapa" mereka serentak menatap kami ngeri

"Seirus lo?"

"Kayanya mereka korban kebakaran deh, mas" celetuk ku

"Ah, gue paham. Pasti lo ngalamin di lift kan?" Tanya yuda pada kami, aku menganggukan kepala saja

"Gue juga pertama kali dateng kesini di kerjain. Gue pencet lantai 20 malah lift nya lanjut terus sampai lantai 23. Dan itu di lorong penuh sosok yang badannya ke bakar" jelasnya. Kami semua menatapnya.

Tok... Tok... Tok... Tok...

Di tengah kami sedang membahas masalah ini, suara berlarian kesana-kemari terdengar kembali. Orang-orang berhamburan kali ini pintu unit feri di ketuk dari luar. Tak hanya aku, mereka berlima yang tidak peka akan hal gaib pun mendengarnya, kami saling pandang satu sama lain

"Tunggu, jangan di buka. Liat dari celah pintu aja" saran feri kami mengangguk paham. Satu persatu melihat dari celah pintu namun mereka semua menggelengkan kepala

"Gak ada siapa-siapa." Masa sih? Terus yang mengetuk pintu siapa? Aku mencoba mengintip di sela pintu. Di lorong memang sepi, tapi di depan pintu unit sebrang. Sesosok perempuan tengah mengetuk unit tersebut, ku lihat dari area pinggang ke bawah kaki hancur tubuhnya di seret. Kulitnya mengelupas dan rambut yang kaku terbakar. Aku meneguk ludah berlahan mundur sebelum sosok itu mengetahui aku melihatnya.

"Kenapa bund?" Tanya mas Rendy padaku

"Mending kamu Telpon scurity sekarang fer, malam ini kita pergi dari sini. Gak aman!" Perintahku pada mereka

"Kenapa, Nad?" Ratna mendekatiku. Kepalaku hanya mampu menggeleng

"Apartemen ini bekas kebakaran. Aku gak tau kejadian pastinya kaya apa. Tapi salah satu unit lantai apartemen ini pernah kebakaran. Sosok-sosok itu yang jadi korban saat kebakaran!" Jelas ku pada mereka. Tanpa ba-bi-bu lagi Ratna dan yang lain membereskan barang-barangnya begitupun aku, dan feri menelpon pihak resepsionis untuk datang. Saat petugas itu datang kami semua sudah siap keluar

"Gak lagi-lagi gue, horror banget gila!" Apri bergidik ngeri

"Lagian lo dapet apartment itu dari siapa sih, fer?!" Ratna menyahutinya

"Dari temen om gue. Dia jual harga murah kok" jawabnya.

"Pantes murah, banyak demitnya gitu" mas Rendy menggandeng tangan ku menuju mobil feri, malam itu sekitar jam 11 malam kami menginap di hotel depan bandara saja agar besok bisa langsung berangkat.

Cari aman...