webnovel

Fons Cafe #2

Tatsuya Maruyama is a success lawyer. Alexander Kougami is genius physic teacher. Carlos Takamasa is the womanizer scriptwriter. Leonardo Shibasaki is the cold hand oncology surgeon. David Kajima is the funniest comedian of the year. Kris Aikawa is the funky business man. They all have the same problem about woman. --- Berteman sejak masa sekolah, menjadikan mereka berenam selalu paham satu sama lain, dan hingga pada akhirnya satu per satu di antara mereka pun memutuskan untuk mulai melangkah dan mencari pasangan hidupnya. Setelah Tatsuya, Alex dan Carlos menemukan tulang rusuk mereka. Mungkin kisah ini sudah selesai bagi mereka bertiga. Namun, tidak demikian bagi Leo, David dan Kris! Apakah Leo, David dan Kris mendapatkan kesempatan mereka juga untuk bahagia?

Abigail_Prasetyo · วัยรุ่น
Not enough ratings
46 Chs

Episode 75

"Yang benar saja?! Masa Kris sudah membawanya ke studionya?!" Seru Rhea, "Stef, apa kau melihat Kris membawa perempuan kemarin malam?"

Steffi menggeleng. "Lagi pula, aku sibuk mengurus Ellen semalaman..."

"Aduh, jadi kurang informasi, kan!" Seru Rhea. Hidup pengangguran dan hanya mengurus anak, bukanlah hal yang disukai Rhea sebenarnya. Sekarang, Rhea baru sadar mengapa ibu-ibu sering di identikkan dengan tukang gosip. Alasannya, mungkin karena sama, atau setidaknya mirip sepertinya. "Los, kenapa kau hanya bercerita sepotong kemarin?"

"Aku dan Alex kurang sigap, Sayang, saat melihat gerak-gerik dan ancang-ancang mereka untuk beranjak dari tempat duduk mereka dan pergi begitu saja." Carlos berkata sejujur mungkin agar istrinya mau mengerti.

Memang benar apa yang dikatakan Carlos. Baik dirinya maupun Alex memang lengah saat Kris dan Chiko tiba-tiba saja sudah pergi dari restoran, kemudian kasirnya memberikan tagihan kepada Carlos saat mereka hendak pergi.

"Oh iya, Pria yang tadi menitipkan tagihan ini, jga memberikan ini untuk Anda," kata Kasirnya.

Secarik kertas yang di tulis dengan singkat. Dan Carlos mengenal betul siapa pemilik tulisan itu.

Jangan buntuti lagi, atau aku berhenti.

-K.

Peringatan itu masih jelas. Sehingga akhirnya rencana Carlos gagal untuk membuntuti Kris.

"Heran, kenapa dia bisa tahu aku membuntutinya, ya?" Pikir Kris. "Eh, hari ini rencananya Leo, kan?"

Rhea mengangguk setuju. "Betul."

"Kemana dia membawa Kris dan Chiko untuk kencan kali ini?" Tanya Steffi sedikit penasaran. Tunggu, sangat penasaran tepatnya.

Alex menyesap kopi hitamnya, lalu duduk bersandar di sofa, sambil melingkarkan tangannya di sekeliling pundak Steffi. "Kalau tidak salah, mereka ke Rumah Sakit."

"Untuk kencan?!" Tandas Rhea, "Astaga! Sebenarnya apa sih yang dipikirkan oleh Leo? Kenapa pilihannya harus Rumah Sakit?!"

"Not just an ordinary hospital, Rhe," lanjut Alex. "Rumah Sakit untuk anak-anak khusus yang luar biasa, dan anak-anak yang terkena kanker. Leo baru bergabung dengan satu rumah sakit, di luar Regium."

"Oh, aku kira dia mau membawa Kris dan Chiko untuk medical check-up," gumam Rhea.

"Jangan bodoh begitu, Rhe," balas Alex. "Leo memang punya selera yang aneh. Tapi aku yakin ini akan jauh lebih baik dari pada susunan acara kencan yang di buat suamimu itu."

Ups.

Yang bersangkutan pun langsung menyahut, "Hei, setidaknya, aku memiliki rekor sebagai penulis naskah drama terbaik di layar lebar!"

"Layar lebar, Los. Layar lebar!" Tegas Steffi, "Bukan untuk realita!!!"

Alex pun tersenyum senang mendengar penegasan yang dilakukan istrinya. Tapi Rhea, bukannya membela Sang Suami, dia malah tertawa terbahak-bahak.

-----

"Hai, Kris! Chiko!" Suara seruan dari Eugene, langsung terdengar, begitu Kris dan Chiko masuk ke dalam aula rumah sakit yang di beritahu Leo.

Kris tersenyum. "Chiko, kau sudah kenal kan, ini Eugene, istrinya Leo."

"Tentu," balas Chiko. "Dimana Leo, Eugene?"

"Oh, dia sedang ada di bangsal kanker. Hanya keluar dari sini, lalu belok ke kanan," jelas Eugene. "Kau mau kesana?"

Chiko mengangguk. "Kris, kau tidak mau ikut?" Melihat gerak gerik Kris yang hanya berdiri di sana, tempat yang sama setelah Chiko sudah jalan.

"Oh, aku nanti menyusul," jawabnya, "Kau duluan saja. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Eugene dulu."

"Iya. Nanti kami menyusul," balas Eugene sambil tersenyum. "Kelly, bisakah kau mengantar Chiko ke tempat Dokter Leo?" Kelly mengangguk sebagai jawaban, "Chiko, kau pergi dulu saja bersama Kelly. Nanti kami segera menyusul."

Chiko mengangguk lagi sambil memberikan senyumannya.

Kris membawa Eugene ke belakang aula. Saat ini, memang sedang ada seminar umum mengenai kanker mata. Dan Eugene bertanggung jawab dalam urusan konsumsi.

"Kenapa kau bisa muncul disini?" Tanya Kris, menahan emosi, "Kau lupa kalau aku bilang akan berhenti mengikuti kemauan aneh kalian jika kalian mengikutiku lagi saat aku kencan dengan Chiko."

"Wah, kau sudah menganggap ini kencan? Bagus sekali!!" Seru Eugene senang.

"Eugene, aku serius."

Eugene masih terkekeh kecil tapi kemudian dia berhenti dan melanjutkan ucapannya. "Baiklah, baiklah. Aku paham maksudmu. Tapi, rumah sakit ini adalah mitra dari Regium. Dan setahuku, Chiko menyukai anak-anak. Jadi kurasa ini suatu langkah yang bagus."

"Maksudmu?"

"Ya, kau menyusul saja ke tempat Chiko sekarang."

Kris mendengus. Matanya lelah menatap istri sahabatnya yang keras kepala satu ini. Tidak ada yah pernah bisa mengalah kekeras kepalaan Eugene. Termasuk Leo sendiri kadang.

"Baiklah. Aku pergi melihat Chiko dulu."

"Perlu ku antar?" Tanya Eugene, meledek.

"Tidak usah repot-repot! Kau pasti sangat sibuk, bukan?" Sindir Kris.

Sepeninggal Kris, Eugene langsung membuka grup whatsappnya, dan mengetik.

Eugene Anastasia

A good news will soon be here!

-----

Chiko tersenyum saat menggendong seorang anak berusia dua tahun yang katanya baru di operasi, seminggu lalu. Tak lama, Kris melihat dari kejauhan, kalau Leo mulai mendekati Chiko, dan terlihat seperti Leo akan meletakkan tangannya pada pundak Chiko.

"Hei, tangannya tidak perlu usil seperti itu," kata Kris dengan cepat, lalu berjalan mendekati mereka. "Apa kau mau aku laporkan pada Eugene?"

"Astaga, aku mau membawa balik Vina, yang di gendong Chiko, kenapa kau malah protes?" Goda Kris. "Kalau kau cemburu, katakan saja."

Chiko mulai menarik sudut-sudut bibirnya, membentuk senyuman.

Wajah Kris memanas. "Chiko, kita keluar saja dari sini, bagaimana?"

Chiko tertawa kali ini. Kris yang memiliki penampilan eksentrik, kini sedang panik dengan wajah merah padamnya.

"Baiklah. Aku ingin jalan-jalan ke luar. Kata Leo, mereka memiliki taman yang hijau dan indah di belakang sana," jelasnya.

Kris langsung melingkarkan tangannya di pundak Chiko dengan protektif dan posesif. "Kalau begitu ayo. Sebelum dia mengganggu kita lebih lama lagi."

Chiko mengangguk.

Di luar gedung rumah sakit, memang ada sebuah taman yang indah, seperti yang di bayangkan oleh Chiko. Kris pun tersenyum melihat wajah manis Chiko semakin terlihat saat gadis itu berlarian layaknya anak kecil.

Puas dengan mengelilingi taman sambil berfoto-foto, Chiko dan Kris pun memilih untuk duduk di taman.

"Disini ada kurang lebih 300 anak yang terdaftar sebagai pasien kanker, dan 100 anak sebagai anak yang berkebutuhan khusus," kata Chiko memaparkan apa yang di ketahuinya dari Leo. "Mereka masih kecil padahal. Tapi, Tuhan memilih mereka untuk menanggung penyakit dan kelainan yang ada pada tubuh mereka."

"Kau iri dengan mereka?" Gurau Kris.

Chiko mengangguk cepat. "Sangat iri malah. Aku ingin menjadi sekuat mereka. Tidak takut di suntik, di kemoterapi, dan paling penting, tidak takut mati."

Kris mematung sesaat.

Erika.

Pandangannya langsung teringat peristiwa yang sudah lebih dari sepuluh tahun itu. Kris merasa bahwa dunianya berhenti berjalan untuk sesaat.

"Kris? Kris? Hei, Kris?" Panggil Chiko beberapa kali sambil memetikkan jarinya beberapa kali di depan mata Kris. "Kau mendengarku?"

Kris sadar dari lamunannya. Dia segera menoleh ke Chiko, "Maaf, aku sedikit melamun tadi. Kau bilang apa tadi?"

Chiko mengangguk-anggukkan kepalanya, paham. "Tidak apa-apa. Aku hanya berkata kalau akan sangat menyenangkan jika memiliki keluarga kecil, dan anak-anak yang lucu, juga menggemaskan sepertinya."

Kris bergeming.

"Punya anak yang lucu, dan imut. Mereka itu sangat menggemaskan! Yang perempuan akan manis, dan yang laki-laki akan tampan!"

Kris mengingat perkataan yang di katalan Erika dulu. Astaga mengapa dia masih bisa mendengar suara Erika seperti ini?

"Kau ingin punya anak berapa?" Tanya Kris lembut, dengan tatapan intensnya.

Chiko menoleh, dan mendapati Kris sedang menatapnya. Dia mengangkat satu sudut bibirnya, "Dua atau tiga. Eh, tidak! Aku ingin empat! Aku ingin rumah ramai, dan tangisan anak-anak memenuhi rumah."

Kris tersenyum.

"Apa aku salah bicara?" Tanya Chiko.

Kris menggeleng. "Tidak sama sekali."

"Hmm... Kris, kau sudah di pertengahan tiga puluhan. Tapi, apa kau tidak ingin menikah?"

Tentu saja Kris ingin. Dia ingin memiliki anak, dan hidup bersama istrinya. Sepertinya Chiko akan menjadi orang yang tepat untuk ini.

"Chiko," panggil Kris, dan Chiko pun menoleh. "Maukah kau menikah denganku?"