webnovel

DREAM TRAIT

Langkah demi langkah aku dapati kecemasan yang menetap. Aku ingin segera membuka pintu ruangan yang tertutup itu. Aku ingin melihat secepatnya, soal Ayah Ibuku yang terkena musibah itu. Benarkah itu adalah ruangan yang di mana nenazah Ayah Ibuku di sana? Air mata sudah aku biarkan turun begitu saja. Aku berjalan seakan menghilangkan peningku. Aku serantanan kualahan dengan diriku yang seperti mau tumbang. Ya Allah, aku tidak kuat. Aku buka pintu yang tertutup dengan tulisan di atas pintu ruang jenazah. Aku menelan ludah dengan penuh ragu. Membuka pelan dan aku dapati ada empat orang yang berbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh. Itu bukan selimut, bukan pula kafan. Namun entah itu kain apa? Aku mendekati satu persatu jenazah itu. Tanganku sudah dingin seperti es. Aku penuh dengan kegugupan. Sungguh aku tidak berani melihat ini. Hatiku rasanya gegabah, ingin rasanya memeluk Ayah Ibuku untuk terakhir kalinya di sini. Aku mungkin akan hidup bukan lagi seperti putri raja namun aku lebih rendah dari pada anak miskin yang ada di desa. Aku sangat nestapa. Namun setidaknya aku bisa mencium punggung tangan Ayah dan Ibuku lalu memeluk terakhir kali untuk segala rindu ke depanku yang sudah jelas tidak akan lagi mendapatkan kasih sayang dan cinta Ayah Ibuku lagi. Jenazah pertama aku buka, penuh hati-hati namun ternyata itu bukanlah Ayah atau Ibu. Namun ketika jenazah ke tiga dan ke empat, ternyata itu adalah orang tuaku. Mimpikah ini?

Gertita_Rajina · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
5 Chs

Kamu Cantik

Ke dua temanku dan ke empat sahabatku yang belum di persilahkan Ibu untuk masuk itu melihatku terus, seperti tidak mau terkedip. Mereka mungkin merasa aneh saja, kalau syaratnya adalah berhijab.

Aku yakin kebanyakan mereka itu batin semua. Tetapi aku bisa apa? Kalau memang aku dibolehin keluar buat belajar kelompok, ya harus mau.

Tetapi masalahnya ini loh, hijab harus terpakai terus ketika keluar rumah. Tidak mungkin juga aku bisa melepas hijab ini di luar. Sama saja membohongi orang tua.

"Iya kalau sekolah kamu malah wajib. Tetapi kamu selalu menghindar dari omelan Ibu agar tidak memakai hijab. Kalau kali ini kamu begitu lagi. Ibu tidak akan pernah mengizinkan kamu keluar rumah."

Aku cemberut. Sebentar, perasaan tidak ada bedanya deh sama yang tidak memakai hijab. Soalnya aku juga tidak diperbolehin keluar terus.

Aduh, aku kok jadi pusing sendiri. Campur kesal lagi. Tapi aku tidak bisa melawan nasehat Ibu. Cukup yang kemarin-kemarin saja.

"Ibu ... baru juga ngasih izin keluar sudah begitu. Kalau waktu menari di rumah teman Ibu ngasih syarat ini, Fana pasti sudah berhijab sampai sekarang."

"Kan tidak ada yang menjemput kamu. Nanti kalau kamu ke mana-mana dan Ibu tidak tahu bagaimana?"

Ibu ini bisa saja mencari alasan. Tetapi entahlah benar tidaknya.

"Ya sudah Ibu, Fana mau ganti baju muslim sama hijab segi empat."

"Iya, Eh ... kalian semua kenapa di situ terus. Ayo masuk dulu. Biar Fana ganti baju dulu."

Aduh mereka semua pasti batin, melihat Ibuku yang kebanyakan syarat.

Eh, kamu sembarangan Fana. Tidak sopan mengatakan itu!

Aku menaiki anak tangga agak cepat, biar ganti bajuku yang sangat lama tidak ada yang tahu.

Mana lagi aku jarang berhijab. Bagaimana ini hijabnya? Yang mirip seperti Ibu yang model hijab langsung masuk seperti itu malah seperti Ibu-Ibu pengajian yang kesasar nanti.

Lalu aku harus pakai yang mana? Ya Allah, bagaimana juga aku bisa berhijab. Ribet ini. Aduh kok kesel banget begitu akunya.

Mereka semua pasti menunggu aku lama. Mana lagi, aku tadi tidak pamit ke mereka cuma pamit ke Ibu saja. Batinnya berlipat-lipat mereka. Pasti itu.

Tok-tok-tok

Pasti ini Ibu. Tidak mungkin kalau itu Ayah. Selain itu pasti pembantu. Tidak, kalau pembantuku tidak mungkin. Soalnya lagi pulang kampung.

"Fana ... Nak ...."

Itu kan, benar. Ibu itu.

"Iya, Ibu ...."

Aku membiarkan almariku terbuka begitu saja. Lagian aku juga bingung mau memakai baju mana. Nanti kalau warnanya salah dianggap norak. Kalau nanti warnanya jelek, aku bisa dinggap tidak punya baju.

Ih kesel juga. Tidak langsung pakai baju kebaya saja biar mirip sama Raden Ajeng Kartini yang fotonya digantung di dinding kelasku itu, biar nanti semua pas nanya, aku mau pawai agustusan atau habis tersambar halilintar?

"Apa, Ibu?"

Aku membuka pintu sambil mendengus kesal.

Aku pastikan Ibu tidak akan tahu kalau aku lagi kesal dalam memilih baju.

Eh, yang dibawa Ibuku itu apa?

"Ini iket kamu pakai, pakai baju abu-abu saja kamu. Soalnya Ibu baru beli iket yang abu-abu. Warna lainnya masih belum ada di toko soalnya."

Aku semakin kesal rasanya. Tapi aku mencoba tenang saja. Memberi senyum yang bukan senyum asli, tetapi senyum palsu.

Manalagi aku tidak pernah memakai iket. Ibu juga memberi syarat yang sangat aneh. Kalau dikasih iket. Jelas-jelas disuruh makai. Nanti kalau tidak pakai, Ibu malah tanya lagi.

"Iya, Ibu."

"Kamu belum ganti baju juga?"

"Belum Bu, tadi mau ganti tapi bingung. Tapi kata Ibu, suruh abu-abu barusan. Ya sudah, Fana mau ganti yang abu-abu saja."

"Ya sudah, cepat. Ibu mau buatin teman-teman kamu es sirup dulu."

Aku mengangguk lalu menutup pintu ketika Ibu sudah pergi.

***

"Iya Ibu."

"Kamu juga tidak boleh ke mana-mana selain belajar kelompok. Jangan buat teman-teman kamu bingung nyariin kamu."

Aku mengangguk saja.

"Kalian semua, Tante nitip Fana ya. Nanti kalau jam sembilan harus kalian antar lagi Fana ke mari."

Empat sahabatku mengangguk sementara Arul sama Rey yang menjawab.

"Iya, Tente tidak perlu khawatir. Kami akan kembalikan Fana sesuai jam yang Tante kasihkan."

"Ya sudah, kalian bisa pergi."

"Salim Tante ...."

Mereka semua bergantian mengecup punggung tangan Ibuku.

"Kamu sudah pamit ke Ayahmu?"

Aku menggeleng.

"Belum, Bu."

"Kenapa tidak pamit?"

"Pas ke sana. Ayah lagi sholat isya."

"Ya sudah. Biasanya juga Ayahmu sholatnya lama. Jadi nanti Ibu pamitkan."

"Wassalamualaikum Tante ...."

"Wa'alaikumsalam."

Mereka pergi ke mobil dulu, sementara aku setelah mengecup punggung tangannya Ibu. Aku masih dikecup kening terlebih dahulu.

Rasanya aku aneh banget memakai baju muslim ini. Warnanya abu-abu lalu hijabnya harus pakai iket lagi.

"Ibu, Fana berangkat."

"Iya hati-hati ya."

Ibu menepuk pelan pundak kananku.

"Assalamualaikum Ibu."

"Wa'alaikumsalam."

***

"Fana, kamu cantik loh. Lihat di kaca mobil sana ...."

Aurel memandangku dengan wajah yang menujukan kagum. Apa dia pura-pura atau memang lagi beneran?

Seperti tidak ada bedanya. Dia soalnya salah satu sahabatku yang hanya dia saja memakai kacamata slinder.

Tapi entahlah katanya kalau orang slinder itu penglihatannya tidak begitu normal. Seperti bayangan yang dilihatnya samar semua.

Eh, kalau sudah pakai kacamata pasti sudah bisa melihat jelas.

Yang biasanya sulit melihat bayangan samar banget, ya yang belum memakai kacamata.

"Eh, Rel. Kamu jangan menghina. Aku sudah tidak enak ini. Manalagi tidak terbiasa."

"Aku nggak menghina Fana. Memang beneran kok. Kamu sudah cantik jadi tambah cantik kalau memakai pakaian muslim begini."

Aurel berbicara sambil menata kacamatanya yang tidak membuatnya nyaman.

Entahlah. Aku rasanya kurang percaya. Tetapi masa sih sahabatku bilang yang bohong. Atau bohong biar aku senang saja? Apa bagaimana?

"Ya sudah, terima kasih pujiannya. Tetapi aku jujur. Ini sangat terpaksa. Aku tidak suka dengan pakaian seperti ini. Terlalu tertutup."

Aku cemberut.

Mobil yang dikendarai Rey dengan laju sedikit cepat, ketika ada polisi tidur seketika goyahlah mobil itu.

Kaca mobil yang berada di tengah itu tanpa sengaja mengarah kepadaku.

Aku melihat pantulan wajahku di sana. Gadis yang satu-satunya memakai hijab dalam mobil ini. Apakah aku secantik itu?

Aku mencoba tersenyum, memperhatikan apakah aku memang cantik ataukah tidak?

Namun aku seperti melihat diriku seperti bukanlah aku. Itu seperti orang lain.

Apa benar yang dikatakan Ibu waktu pagi saat aku masih berumur dua belas tahun itu?

"Fana, Ibu kamu memang usia berapa terlihat masih muda."

"Eehhhhhmmm ... apa?"

"Hisssttt, kamu itu melamun apa sih sampai senyum-senyum sendiri?"

Aku seperti orang yang habis ketangkap basah, dengan wajah yang cemas dan bingung menjawab.

"Hmm, tidak ... bukan apa-apa."

Aku mengalihkan pandanganku ke arah depan. Di mana aku melihat jalanan yang akan menuju ke jalan raya besar.

"Lalu kamu senyam-senyum sendiri kenapa?"

Aku bingung mau menjawab apa. Tapi memang baru kali ini aku terlihat seperti orang yang tidak jelas karena berhijab. Apalagi hatiku seperti bangga saat aku melihat wajahku sendiri.

Kata Ayahku waktu itu, jangan memuji diri sendiri karena kalau memuji diri sendiri itu adalah sifat sombong. Untuk itu aku harus benar-benar menjaga diriku agar tidak sombong. Bangga seperlunya saja, tidak perlu diungkapin di lisan. Kalau memang cantik biarlah hati saja yang bilang untuk mensyukuri keindahan yang diberikan Allah.