webnovel

DREAM TRAIT

Langkah demi langkah aku dapati kecemasan yang menetap. Aku ingin segera membuka pintu ruangan yang tertutup itu. Aku ingin melihat secepatnya, soal Ayah Ibuku yang terkena musibah itu. Benarkah itu adalah ruangan yang di mana nenazah Ayah Ibuku di sana? Air mata sudah aku biarkan turun begitu saja. Aku berjalan seakan menghilangkan peningku. Aku serantanan kualahan dengan diriku yang seperti mau tumbang. Ya Allah, aku tidak kuat. Aku buka pintu yang tertutup dengan tulisan di atas pintu ruang jenazah. Aku menelan ludah dengan penuh ragu. Membuka pelan dan aku dapati ada empat orang yang berbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuh. Itu bukan selimut, bukan pula kafan. Namun entah itu kain apa? Aku mendekati satu persatu jenazah itu. Tanganku sudah dingin seperti es. Aku penuh dengan kegugupan. Sungguh aku tidak berani melihat ini. Hatiku rasanya gegabah, ingin rasanya memeluk Ayah Ibuku untuk terakhir kalinya di sini. Aku mungkin akan hidup bukan lagi seperti putri raja namun aku lebih rendah dari pada anak miskin yang ada di desa. Aku sangat nestapa. Namun setidaknya aku bisa mencium punggung tangan Ayah dan Ibuku lalu memeluk terakhir kali untuk segala rindu ke depanku yang sudah jelas tidak akan lagi mendapatkan kasih sayang dan cinta Ayah Ibuku lagi. Jenazah pertama aku buka, penuh hati-hati namun ternyata itu bukanlah Ayah atau Ibu. Namun ketika jenazah ke tiga dan ke empat, ternyata itu adalah orang tuaku. Mimpikah ini?

Gertita_Rajina · Urban
Not enough ratings
5 Chs

Kabar Buruk

"Tuh, ngelamun lagi. Fan ...."

Arul yang duduknya di sebelah kiri si Rey tukang supir mobil. Dia langsung menoleh ke arahku. Mungkin aneh saja sih, kenapa kami berdua di kursi belakangnya ribut mulu.

"Tidak apa-apa. Cuman lagi ingat-ingat nasehat Ayahku saja."

Aku menyentuh lengan kanan Aurel. Sambil senyum aku menatap dirinya sejenak.

Aku tahu, Aurel itu kalau sudah ngambek. Nanti akan sangat sulit untuk di ajak bicara. Tetapi aku tidak marah dulu, memang aku yang salah. Kebanyakan berangan dari tadi, jadi mau merespon Aurel selalu teralih ke hal lain.

"Ya sudahlah, lupakan."

Aku mengangguk.

Perlahan aku melepas tangan kananku, lalu mengecek ponselku yang mungkin ada pesan.

Aduh, tidak ada juga yang disombongkan dengan ponselku ini. Palingan ini ponsel hanya aku gunakan untuk mengetik novel dan tidak macam-macam.

Kalaupun ada pesan dari whatsAap itu dari grub kelas, grub sahabat dan mungkin beberapa teman kelasku yang tanya apa tugasnya.

Iya, semenjak jadi ketua aku banjir pesan dari teman-teman kelasku. Tanyanya kalau tidak tugas ya besok jadwalnya apa. Heran juga sama mereka.

Padahal paginya itu masuk, terus malamnya tanya besok tugasnya apa? Memang kalau ada tugas tidak pernah dicatat atau bagaimana?

Lalu paginya. Percuma saja bukan, kalau sudah dijawab tugasnya apa? Kalau ujung-ujungnya minta contekan. Aduh. Ini bukan hanya tepuk jidat atuh, lebih dari itu.

Mau tidak nyontekin, dikira sombongnya sejagat mentang-mentang sudah ngerjakan.

Kadang kalau aku tidak mau nyontekin, gitu ngerayunya minta ampun. Muji yang bukan-bukan. Tapi aku sudah kebal buat itu semua. Saking risihnya.

Aku tinggal saja ke kantin. Biar satu kelas mencontek semua. Ngerasain itu memang kadang kesal. Tapi bagaimana lagi?

"Kamu tadi nanya apa?"

Aku baru keinget, Aurel kan sempat tanya ke aku tadi. Cuma aku samar-samar mendengar saja.

"Ibu kamu usia berapa, kelihatan masih muda soalnya."

Aku tersenyum. Tentunya Ibuku sudah umur empat puluh lebih. Mana bisa terlihat muda? Mungkin hatinya ya yang masih terlihat muda.

"Umur ibuku udh kepala empat, malah sekarang lebih berapa begitu ...."

"Kamu jangan bohong, Fana. Masih muda loh, bukan umur tiga puluhan?"

"Begini ya, kalau ibu aku nih ya ... kamu hitung umur tiga puluh. Masa ngelairin aku umurnya empat belas tahun? Kan tidak mungkin. Ibuku nikah saja umur dua puluh lebih berapa gitu ...."

"Kok aneh ya ... sebentar kalau tidak percaya aku tanyain tuh sama mereka semua."

"Tanya apa?"

"Eh, kalian ... tadi pas ke rumahnya Ibunya Fana. Itu wajahnya Ibu Fana mudah banget kan ya?"

"Tidak Aurel ...."

Aku seketika menjawab. Aku soalnya masih tidak percaya saja. Apa benar? Tapi perasan aku melihat Ibuku ya wajahnya sama seperti usianya yang sekarang.

"Iya ... masih muda. Bener Fan, Aurel benar tuh. Masih muda. Iya nggak Rul? Rey ...."

"Hooh ...."

Mereka menyerang jawaban.

Satu mobil ramai seketika. Sementara ini jalanan sudah mulai memasuki jalan raya. Rey kan harus hati-hati berkendara.

Aduh, aslinya aku takut juga sih, kalau si Rey yang mengendatai mobil. Soalnya kan dianya tidak punya SIM. Tapi biarlah juga, anak orang kaya. Dia mah bebas.

"Hmm ... terserah kalian deh. Aku tidak ikut-ikut. Yang benar Ibuku sudah kepala empat bahkan lebih. Aku heran kalau kalian menganggap Ibuku masih muda."

***

"Assalamualaikum Tante ...."

Iya, aku keluar mobil paling lambat sendiri. Rokku soalnya tersangkut di palang mobil. Untunya tidak sobek. Astaghfirullah, pokoknya.

Ke empat sahabatku itu sudah keluar dari mobil, sementara yang telat keluar cuma aku saja sama Rey yang menyetir mobil itu.

Tapi kalau tidak ada Rey, rokku sudah sobek.

"Wa'alaikumsalam. Cantiknya ... pacar kamu Rey?"

Aku melirik ke arah Rey setelah mengecup pungung tangan Ibunya Rey. Namun, aku masih tetap tersenyum.

"Eh Ma, itu teman kelasku. Masa pacarku."

"Bajumu sama sih, lihat tuh warnaya sama."

"Tidak, Tante. Ini hanya kebetulan saja. Tadi Ibu Fana yang ngasih saran untuk pakai pakaian abu-abu."

Ibunya Rey tersenyum.

"Iya, Cantik. Silahkan masuk. Rey, kamu antar ini. Baru pertama kali kan, teman perempuanmu Fana ini ke sini? Ayo antar ...."

"Iya, Ma ... lagian Rey kan juga ke dalam."

Rasanya aku senyum-senyum sendiri, mengingat hal tadi. Ibunya Rey ternyata keren. Memakai hijab juga seperti Ibuku.

Rumah Rey juga besar. Wajar kalau ke mana-mana Rey bawa mobil.

"Ayo masuk ... hmm, maaf ya. Jangan tersinggung. Mamaku memang begitu, suka humor."

Aku mengangguk.

"Iya, tidak apa. Aku suka ngelihat Mamamu senyum juga kok. Mamamu ramah."

"Terima kasih."

Aku bingung. Rey ini mau membawaku ke mana? Kok naik tangga ke lantai dua? Apa ruangan belajar kelompoknya di sana?

"Rey, ini mau ke mana?"

"Ya, sama teman-teman. Kan di lantai atas."

"Ooohhh, kenapa tidak di lantai bawah saja?"

"Kalau lantai bawah tidak ada AC-nya. Nanti di gigit nyamuk semua."

Aku terkekeh sejenak. Benar juga memang. Kalau AC tanpa nyamuk. Kalau kipas angin masih ada nyamuk memang.

***

"Cie sama Rey ...."

Shafa menyikutku. Rasanya lengan kananku njarem. Agak sakit juga itu anak nyikut.

Lagi-lagi salah faham tuh. Salah sendiri pada ninggalin. Tidak malah nunggu malah nyelonong sama yang lain.

"Issssttt kamu itu, bikin aku geram saja. Lagian kenapa juga kalau barengan."

"Ya kan soswit gitu. Jalannya bareng."

"Eh jalannya nggak bareng tadi, aku di belakang Rey aja. Lagian kamu kesambet apa bilang gitu?"

"Kesambet kamu yang berduaan sama Rey."

"Sudahlah, ayo lhang dikerjakan."

***

"Assalamualaikum, Ibu ...."

"Wa'alaikumsalam, maaf Nak. Ini bukan Ibumu. Ini saya Ibu Sumarlin. Tetangga kamu, Nak."

Ibu Sumarlin? Oh, iya aku kenal. Yang jualan bakso itu kan? Tapi kenapa ponsel Ibu di bawa sama beliau?

Apa ketinggalan di warung baksonya. Eh, tapi Ibu tidak pernah keluar malam. Lalu kenapa ponsel bisa di Ibu Sumarlin?

"Iya Bu, ada apa ya?"

Aku menelan ludah kekhawatiran. Firasatku sudah mulai tidak enak ini. Kenapa ya Allah, apa yang terjadi?

Tapi dari suara Ibu Sumarlin seperti memberi isyarat kalau beliaunya sedang cemas. Ya Allah ada apa sih?

Hatiku berasa sangat khawatir, pikiranku sudah kacau. Entah kenapa, aku ingin cepat-cepat diantar Rey sama yang lain pulang.

"Rumah kamu terbakar, Nak. Hancur. Ayah Ibumu sedang dicari di dalam. Kamu cepat ke sini, Nak."

Ponselku seketika terlepas dari tanganku. Ponselku pecah, aku merisaukan itu.

Air mataku tumpah seketika aku rapuh dan menyandar di dinding yang paling dekat dengan diriku berdiri tadi.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak menyangka akan terjadi seperti ini.

Badanku gemetaran tiada karuan, aku lemas tidak bisa melakukan apa-apa.

Apa yang terjadi? Kenapa aku pergi dari dari rumah? Kalau aku tahu kalau begini yang akan terjadi, aku akan memilih bersama Ayah Ibuku di rumah.

Kenapa di saat Ibuku memberikan izin pertama dengan syarat memakai hijab ini justru izin yang membuat petaka di rumahku.

Aku menyesal beribu menyesal. Bagaimana keadaan Ayah Ibuku? Baik-baik sajakah mereka.

"Fan, Fana ... kamu kenapa Fan ...."

Seseorang menggoyah badan sebelah kananku. Dari suara aku mengenal kalau itu adalah suara Naina.

Aku spontan memeluknya. Kemudian samar-samar pandanganku menampaki tiga sahabatku yang lain mengahampiri dan Arul sekalipun.

Hanya Rey yang di sini tidak ada.