webnovel

Case File Compendium (TL NOVEL BL)

LGBT+
Ongoing · 300.4K Views
  • 117 Chs
    Content
  • ratings
  • NO.200+
    SUPPORT
Synopsis

Juga dikenal sebagai BAB, seri novel cinta danmei/anak laki-laki Cina terbaru dari penulis novel laris The Husky and His White Cat Shizun! Sebuah kisah modern dengan sentuhan fiksi ilmiah: seorang pemuda elit dengan sisi gelap mengembangkan hubungan yang dalam dan agresif dengan mantan dokternya. Kaya dan tampan, namun mentalnya tidak stabil - He Yu kembali ke rumah dari luar negeri dengan satu tujuan: memenangkan hati Xie Xue, gadis impiannya. Namun, selama kepergiannya, dia telah merawat lebih dari sekadar perasaan bertepuk sebelah tangan. Dia harus menghadapi dendamnya yang sudah lama dipendam terhadap saudara laki-laki Xie Xue yang terlalu protektif, Xie Qingcheng, yang tidak menganggap He Yu mampu mencintai. Namun sejarah tidak mudah ditulis ulang. Sebagai mantan dokter He Yu, Xie Qingcheng adalah satu-satunya orang di dunia yang benar-benar memahami penyakit mental He Yu yang tidak stabil. Ketika keduanya terlibat dalam sebuah insiden ledakan yang mengungkap rahasia gelap, kecurigaan Xie Qingcheng tentang He Yu terkonfirmasi. Sekarang, He Yu harus menghadapi iblisnya sendiri... termasuk obsesi gelapnya terhadap Xie Qingcheng. Fantasi urban dari Tiongkok yang dibangun berdasarkan hasrat antara dua pria (danmei) ini merupakan seri novel terbaru dari penulis novel laris The Husky and His White Cat Shizun. Edisi bahasa Inggris Seven Seas akan menyertakan sampul dan ilustrasi interior yang eksklusif dan baru.

Chapter 1Opening Shot

KLIK. Kegelapan tersingkap. Layar TV berpendar, dan perlahan, sebuah gambar mulai muncul.

Asrama fsayaltas terletak di sudut paling terpencil dari kampus universitas yang telah berdiri selama berabad-abad. Bangunan itu, yang seolah terbuang dari jalur utama, menjadi tempat bagi para pengajar muda dan penuh semangat yang dikirim oleh pihak sekolah. Dari luar, tampaknya begitu indah—dinding bata merah, tangga putih, serta sulur tanaman ivy yang melingkari bangunan bergaya Barat klasik. Setiap orang yang melewatinya pasti akan tergerak untuk menoleh dan mengaguminya. Namun, hanya mereka yang cukup beruntung menjadi pengajar dan masuk ke dalamnya yang akan menyadari bahwa di balik keindahannya, bangunan ini telah mengalami banyak renovasi. Dinding-dindingnya dipenuhi bercak dan lapisan cat yang menumpuk, seperti wajah tua yang ditutupi riasan tebal berkali-kali.

Asrama ini begitu tua hingga tidak memiliki televisi digital; yang tersedia hanyalah televisi kabel yang sudah bisa disebut sebagai barang antik.

'Dataran Yangtze mengalami hujan badai berturut-turut…'

Seorang pemuda melintasi lorong saat suara siaran TV terdengar samar melalui jendela kaca retak di kantor resepsionis. Biasanya, wanita tua yang bertugas di sana akan menghentikannya dan berseru, "Hei, anak muda, kau tahu, bukan? Ini tempat tinggal para pengajar. Kau itu mahasiswa, tidak boleh sering-sering ke sini."

Namun, malam ini, si resepsionis tidak menegurnya. Mungkin karena pikirannya sedang melayang entah ke mana, atau mungkin juga karena penglihatannya mulai menurun di usia senjanya. Ia bahkan tidak menyadari ketika pemuda itu melewatinya dalam kegelapan malam.

Pemuda itu melangkah langsung ke lantai tiga dan mengetuk pintu besi yang sudah begitu akrab baginya.

Pintu terbuka dengan derit pelan, dan seorang wanita mengintip dari balik celahnya. "Oh, kau?"

"Xie-laoshi," sapa pemuda itu dengan suara lembut.

Hari sudah larut, dan kehadirannya jelas tak terduga. Namun, wanita itu bukan hanya gurunya, melainkan juga orang terdekat yang ia miliki di seluruh kampus. Setelah sejenak terkejut, ia pun membiarkannya masuk.

Wanita itu menyeduh secangkir the dan menambahkan beberapa irisan jahe. Di luar, hujan masih turun, dan ia bisa merasakan bahwa tubuh pemuda itu basah serta kedinginan. The jahe panas bisa membantu mengusir rasa dingin itu.

Xie-laoshi meletakkan cangkir yang masih mengepul di atas meja the di hadapan muridnya, yang berdiri dengan canggung di depan sofa.

"Kapan kau kembali?"

"Hari ini."

"Duduklah," ujar Xie-laoshi.

Baru setelah itu ia duduk, tangannya mengepal di atas lutut. Tubuhnya tampak tegang dan ksaya, serta tak menyentuh tehnya sedikit pun.

"Kenapa kau tidak memberi tahu bahwa kau akan kembali? Apa masih ada bus yang beroperasi selarut ini?"

"…Mm."

"Bagaimana urusan dengan keluargamu?"

Pemuda itu terdiam cukup lama, lalu menundukkan kepala, jemarinya mulai meraba-raba sobekan kecil di celana jinsnya. "Ibu masih ingin saya keluar dari universitas…"

Xie-laoshi ikut terdiam.

Pemuda itu sudah berstatus sebagai mahasiswa; jika ia memilih untuk berhenti, pihak universitas tak bisa berbuat banyak. Namun, ia sendiri telah berbicara dengan sang ibu dan bahkan berjanji untuk mengurangi biaya kuliah mereka karena kondisi finansial yang sulit—semua demi memberi kesempatan agar pemuda ini bisa menyelesaikan pendidikan yang telah ia perjuangkan dengan begitu keras.

Namun, ibunya dengan tegas menolak.

"Kuliah? Belajar bahasa Mandarin? Siapa yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Mandarin? Kalian semua hanya menipu saja!"

Xie-laoshi dengan sabar dan lembut mencoba menjelaskan, "Putra Anda memiliki kecerdasan yang luar biasa. Lihatlah, ia sudah memasuki tahun kedua perkuliahannya. Bukankah sangat disayangkan jika harus berhenti di tengah jalan? Selain itu, setelah lulus, ia akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan. Ia pernah menyampaikan kepada saya bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang guru. Dengan prestasi akademiknya, ia tidak akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan sebagai pengajar. Profesi ini stabil dan memiliki prospek yang baik…"

"Dia tidak mungkin bisa menjadi seorang guru! Anda sendiri pasti sudah melihat wajahnya!"

Perkataan sang ibu bagaikan bilah tumpul yang membelah arus tak kasatmata.

Xie-laoshi merasa geram, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus merespons.

"Saya ingin dia segera pulang dan bekerja! Keluarga kami mengalami kesulitan ekonomi! Dia harus berhenti membuang-buang waktu! Dengan… wajah seperti itu… Apa yang bisa ia lakukan meskipun menyelesaikan pendidikannya? Sekolah mana yang mau menerima guru seperti dia?!"

Lantas, seperti apakah wajahnya?

Xie-laoshi menatap muridnya, wajahnya samar-samar diterangi oleh cahaya lampu pijar yang redup di dalam kamar.

Ia sudah terbiasa dengan fitur wajah pemuda itu, tetapi siapa pun yang melihatnya untuk pertama kali pasti akan terkejut. Karena suatu penyakit yang tidak diketahui penyebabnya, separuh wajahnya—mulai dari dahi hingga leher—dipenuhi dengan bercak-bercak keunguan, seolah menutupi daging yang membusuk.

Pemandangan itu tampak mengerikan, mencolok dalam ketidaknormalannya.

"Monster!"

"Jangan dekat-dekat dengannya, nanti menular."

"Hei! Setengah-setengah!"

Seumur hidupnya, pemuda itu tumbuh dengan wajah seperti itu, sehingga cemoohan dan ejekan selalu membayanginya.

Karena penyakitnya, dan lebih lagi karena ia tidak berusaha untuk menyembunyikan kondisinya—"kejelekannya"—ia selalu dikucilkan ke mana pun ia pergi.

Tak peduli seberapa giat ia belajar, tak peduli seberapa lembut ia berinteraksi dengan orang lain, ia tetap seperti seekor naga hitam yang terbang di langit cerah—terlalu mencolok dan menakutkan. Ia tidak pernah diperlakukan setara.

Orang-orang seperti Xie-laoshi, yang mampu melihat bahwa separuh wajahnya yang tak bercela sebenarnya sangat lembut dan menawan, hanyalah sedikit di antara banyak orang.

Ia selalu menanggung hinaan dengan tenang dan tanpa perlawanan. Terkadang, ia bahkan ikut tertawa, seolah-olah ia benar-benar telah melakukan suatu kesalahan.

Namun, kesalahan apa yang sebenarnya telah ia perbuat?

Xie-laoshi memperhatikan segalanya. Saat belajar, ia adalah yang paling fokus. Dalam tugas kelompok, ia dengan senyap akan mengerjakan bagian terbanyak tanpa mengeluh. Saat diintimidasi, ia hanya bertahan dalam diam, tanpa menunjukkan kemarahan atau berkata banyak.

"Tidak apa-apa, Laoshi. Saya sudah sangat bersyukur karena Anda mau mengobrol dengan saya. Di desa saya, setiap kali saya lewat, semua orang akan menyeberang ke sisi jalan lain. Tidak pernah ada orang seperti Anda, yang mau mendengarkan saya dengan sungguh-sungguh. Teman-teman di kampus juga baik. Setidaknya, di sini tidak ada yang melempari saya dengan batu bata."

Kata-katanya terdengar tenang, tetapi kepalanya selalu tertunduk, dan bahunya membungkuk. Bertahun-tahun mengalami penghinaan telah membuat tulang punggungnya melengkung, tertekuk oleh tekanan yang terus-menerus.

Suatu hari, Xie-laoshi berkata kepadanya, "Jika kau ingin, kau selalu bisa datang kepadaku untuk bimbingan belajar setelah sesi belajar malam. Jika ada hal yang tidak kau mengerti atau butuh bantuanku, jangan ragu untuk memberitahu."

Dia tersenyum dengan penuh rasa malu, rona merah karena rasa malu muncul di bagian wajahnya yang tak bercela.

Selama dua tahun mengenalnya, Xie-laoshi telah terbiasa membuka pintu asramanya setelah mendengar ketukan dan mendapati pemuda itu berdiri di sana dengan postur tubuhnya yang membungkuk. Ia selalu membawa lembaran kertas berisi tulisan—prosa, bahkan puisi—yang ia buat sendiri, datang untuk meminta masukan darinya.

Di zaman ini, banyak orang gemar mengumpat, tetapi sangat sedikit yang masih menulis puisi.

Namun, ia tetap bertahan, meskipun para mahasiswa lain mengejeknya, menyebutnya sebagai si buruk rupa yang menulis hal-hal buruk: "Begitu busuk, bahkan lebih busuk daripada wajah anggur busukmu."

Ia hanya tersenyum kecil dan terus menulis.

Kini, bahkan hak untuk melakukan hal itu pun telah direnggut darinya.

Memikirkan hal ini, Xie-laoshi merasakan kepedihan yang mendalam dan menatap pemuda di hadapannya dengan penuh belas kasih.

"Laoshi, kali ini saya datang untuk berpamitan," katanya.

"saya akan pergi besok."

"Kau akan pulang?"

"…Mm, kurang lebih begitu."

Ia terdiam sejenak, lalu berkata, "Laoshi, seandainya penyakit saya ini tidak ada di wajah saya, seandainya ada di tempat yang tak bisa dilihat orang lain, mungkin mereka akan sedikit lebih baik pada saya. Betapa indahnya jika itu terjadi."

Sudut mata Xie-laoshi mulai memerah. Ia telah melakukan segala yang ia mampu, tetapi ia bukan keluarganya; ia tidak memiliki keputusan akhir, juga tidak bisa menyelamatkannya. Keadaan keluarganya semakin memburuk dari hari ke hari, dan ibunya menyesali keputusannya yang dulu—mengizinkan anaknya meninggalkan rumah untuk berkuliah. Terlebih, ia masih memiliki seorang putra bungsu yang sehat dan masih duduk di bangku SMP. Jika anak sulung yang sakit ini dipanggil kembali ke rumah, maka si bungsu yang sehat dapat menggantikannya.

Xie-laoshi tidak menyalahkan ibunya; dengan kondisi ekonomi keluarga yang harus dipertimbangkan, keputusan yang diambilnya cukup masuk akal.

"Esai yang kau titipkan padaku, yang kau minta untuk kuperiksa, aku belum selesai mengeditnya—" Xie-laoshi buru-buru mengalihkan pembicaraan, merasa bahwa ia hampir tak bisa lagi menahan air matanya.

"Tapi aku sudah membaca bagian awalnya dengan sangat saksama. Bagaimana kalau kau menunda sedikit proses pengunduran diri dari universitas? Tunggu sampai aku selesai mengedit seluruhnya…"

"Tidak." Ia menggeleng sambil tersenyum. "sSaya harus pergi saat pagi tiba."

Hatinya dipenuhi penyesalan; mengapa selama ini ia selalu berpikir bahwa masih ada waktu?

Mengapa ia tidak begadang semalaman untuk mengedit esainya?

Dan mengapa ia masih menyempatkan diri untuk berbelanja, mengobrol, serta menghadiri rapat-rapat panjang yang tidak berarti?

Mimpi muridnya akan segera hancur, hatinya akan segera luruh. Sebagai gurunya, ia bahkan tak bisa memberikan seikat bunga untuk mengantarkan perpisahan atas impian itu.

"Maafkan aku…"

"Tidak apa-apa," jawabnya. "Tapi saya menulis satu puisi terakhir. Bolehkah saya memberikannya kepada Anda?"

Xie-laoshi segera mengangguk.

Ia mengambil selembar kertas tipis dari ranselnya dan menyerahkannya.

Kertas itu ringan, nyaris tanpa bobot.

Xie-laoshi membaca setiap kata.

Itu adalah puisi cinta yang penuh gairah, membara, tetapi juga ragu-ragu dan penuh kehati-hatian.

Ia telah membaca karya para maestro yang menulis tentang cinta—dari bait klasik "Kapankah cahaya bulan di ranjang kita mengeringkan air mata di wajah ini" hingga ungkapan modern "Mataku lebih indah karena ada dirimu di dalamnya".

Namun, pada saat ini, seolah-olah tidak ada satu pun dari semua puisi itu yang bisa menandingi selembar kertas yang diberikan oleh muridnya.

Dia tidak mengungkapkan apa pun secara gamblang, seolah-olah melakukannya akan merusak irama puisinya.

Pemuda ini adalah seorang penyair. Ia memahami bahwa jika cinta antara dua orang dari status sosial yang berbeda kehilangan keindahan puitisnya, yang tersisa hanyalah rasa canggung.

"Ini sebagai kenang-kenangan untuk Anda."

Ekspresi kelembutan terpancar di wajahnya—baik di sisi yang cacat maupun yang tampak biasa.

"Maaf, Laoshi. Saya tidak mampu membelikan Anda hadiah apa pun."

"Tak ada yang lebih berharga dari ini." Xie-laoshi membalikkan badan, berusaha menahan isak tangisnya. "Kau…kau harus makan sesuatu. Aku akan mencari camilan untuk menemani tehmu."

Dalam upaya mengendalikan emosinya, Xie-laoshi mengaduk-aduk lemari penyimpanannya. Ia mengambil sebuah kaleng kue mentega dan meletakkannya di atas meja.

Ia menerima dengan sopan. Di bawah tatapan Xie-laoshi, akhirnya ia menyentuh cangkir teh itu dengan ragu-ragu, tetapi segera menarik tangannya kembali. Dengan suara pelan, ia berkata, "Panas sekali."

Xie-laoshi menyentuh cangkirnya. "Hah? Ini sudah hangat."

Namun demikian, ia tetap menambahkan sedikit air dingin ke dalam cangkirnya. Muridnya mulai mengunyah kue kesukaannya dan perlahan-lahan menyesap teh. Saat ia selesai menikmati kue dan tehnya, malam masih panjang.

"Laoshi, bolehkah saya tinggal di sini sedikit lebih lama untuk membaca?" tanyanya.

"Tentu saja."

Ia tersenyum lagi, sedikit canggung. "Saya merepotkan Anda begitu banyak, bahkan ketika saya akan pergi."

"Tidak apa-apa, kau bisa tinggal selama yang kau mau…Oh iya, berikan aku alamatmu—aku akan mengirimkan salinan buku-buku bagus yang kutemui. Dengan kecerdasanmu, meskipun hanya belajar sendiri, kau tidak akan tertinggal." Xie-laoshi hanya bisa menawarkan kata-kata penghiburan. "Jika kau butuh bantuan, hubungi aku lewat WeChat."

Ia menatapnya. "Terima kasih." Ia terdiam sejenak. "Seandainya semua orang sebaik Anda, mungkin…"

Ia menundukkan kepala dan tak melanjutkan perkataannya.

Asrama Xie-laoshi dipenuhi buku. Dengan kondisinya yang mencolok, kehadirannya di perpustakaan selalu menarik perhatian. Karena itu, Xie-laoshi mengundangnya ke asrama dosen dan meminjamkannya buku-bukunya.

Malam itu, dalam semangat yang sama, ia menghabiskan waktu membaca di dalam asrama, seolah ingin membawa semua kata-kata itu kembali ke kampung halamannya dalam satu malam.

Jarang sekali ia bertindak sesuka hati. Biasanya, ia tidak akan berlama-lama, khawatir mengganggu rutinitas gurunya. Tapi malam ini pengecualian.

Xie-laoshi tidak menyalahkannya atas kelancangannya yang terakhir ini. Ia tetap menemaninya, tetapi menjelang larut malam, rasa kantuk mulai menguasainya. Tanpa sadar, ia tertidur di mejanya.

Dalam kesadarannya yang samar, ia mendengar muridnya tiba-tiba berkata, "Xie-laoshi."

Setengah terjaga, ia menggumamkan jawaban.

"Ada satu hal lagi. Saya ingin meminta maaf pada Anda. Tentang pencurian di kelas kita yang membuatmu dikritik… Ketika para siswa kehilangan barang-barang mereka dan tidak bisa menemukannya di mana pun…Sebenarnya, sayalah yang mengambilnya."

Terkejut, Xie-laoshi terbangun dari tidurnya, tetapi tubuhnya terlalu lelah, terlalu berat untuk bangkit.

"Tapi saya tidak menyimpan barang-barang itu. Saya tidak mengambil uang mereka," katanya dengan nada penuh penyesalan. "Saat mereka mengejek saya, saya benar-benar membenci mereka… Saya membuang semua tas mereka ke dalam tumpukan jerami dan membakarnya. Mereka mencurigai saya, tetapi Anda memilih untuk membela saua tanpa ragu. Padahal kenyataannya, sayalah pelakunya. Saya tidak memiliki keberanian untuk mengakuinya. Hanya di mata satu orang saya pernah dianggap sebagai manusia biasa, bahkan mungkin orang yang baik—dan itu adalah Anda. Laoshi, saya sangat dangkal, bukan?"

Ia terdiam sejenak. "Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan jika Anda kecewa pada saua. Andalah satu-satunya yang pernah mengakui saya."

Suaranya perlahan memudar.

Namun, tatapannya begitu jernih, seakan-akan beban yang lama ia pikul telah terangkat.

"Inilah hal yang paling saya sesali… Xie-laoshi, saya benar-benar minta maaf. Penyakit saua seolah telah menyebar dari wajah ke hati saya. Jika ada kehidupan berikutnya, saya sungguh ingin menjadi orang yang normal… Saya tidak ingin menjadi seseorang yang begitu sakit hingga bahkan tak memiliki hak untuk dicintai. Xie-laoshi…."

Angin menerobos masuk melalui jendela, membuat kertas-kertas di meja berterbangan, seperti bendera pemanggil arwah.

Lalu, keheningan kembali.

Teh di atas meja mendingin.

Ketika Xie-laoshi terbangun keesokan paginya, ia mendapati dirinya telah tertidur semalaman di mejanya. Kamarnya tampak rapi dan bersih. Muridnya memang selalu sopan, tetapi kali ini, ia pergi tanpa berpamitan kepada gurunya.

Tak mampu menahan rasa pilu yang menyelinap di hatinya, ia bangkit dengan kantuk yang masih menggelayut dan menuju ruang tamu. Saat menundukkan pandangan ke meja teh, matanya langsung membelalak, seolah-olah seember air es baru saja disiramkan ke kepalanya.

Teh yang ia buat untuk pemuda itu telah membeku. Tapi bagaimana mungkin? Suhu ruangan jelas sekitar 27 derajat Celsius!

Mata gelapnya membesar, menelusuri ruangan dengan kebingungan yang semakin dalam. Semalam, ia jelas melihat muridnya memakan kue mentega, tetapi sekarang, tidak satu pun yang hilang dari kaleng itu. Teh yang membeku itu sama sekali tidak tersentuh. Dan akhirnya…

Puisi perpisahan yang begitu ia kenang, surat yang diberikan muridnya dengan perasaan yang tersembunyi…

Telah menghilang.

Atau, mungkin lebih tepat dikatakan bahwa kertas itu tak pernah ada sejak awal.

Xie-laoshi hampir gemetar. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi dengan suara notifikasi, membuatnya tersentak kaget. Dengan segera, ia meraihnya, tetapi yang muncul hanyalah pesan spam. Ia menghela napas lega, namun kemudian, seolah tersadar, seolah baru bangun dari mimpi, ia dengan cepat menelepon nomor muridnya.

Beep. Beep. Beep.

Jantungnya berdegup seiring dengan setiap nada panggilan yang terdengar.

"Halo?"

Panggilannya tersambung.

Di ujung telepon, terdengar suara seorang wanita paruh baya yang familiar. Suaranya serak, namun kali ini juga terdengar sengau, dipenuhi air mata.

Xie-laoshi bertukar beberapa kata dengan ibu muridnya.

Hatinya seakan jatuh ke dalam lubang hitam yang tak berdasar, meluncur tanpa kendali.

Setelah jeda sejenak, ia mendengar suara bentakan penuh amarah—"Kalian lagi! Kalian lagi!! Aku bahkan belum sempat mencari kalian, tapi justru kalian yang berani menelepon lebih dulu!"

Xie-laoshi tak lagi ingat apa yang ia ucapkan di awal. Pikirannya seketika kosong. Yang terdengar hanyalah teriakan memilukan di ujung telepon, seperti lonceng kematian yang membangunkannya dengan paksa.

"Dia sudah mati! Mati!!"

Darahnya membeku.

Mati?

"Ini semua salah kalian!! Dia bertengkar denganku lalu lari keluar. Saat itu ada badai besar, dan polisi bilang ada kabel listrik yang terbuka…"

Telinga Xie-laoshi berdenging.

Di antara hujan caci maki dan tangisan penuh duka, ia hanya bisa menangkap beberapa kata, terdengar samar dan mengerikan, seperti perpisahan dari dunia lain.

Lalu, wanita di ujung telepon itu menjerit—suara melengking yang menusuk hingga ke tulang.

"Kenapa masih menelepon? Untuk apa?! Kemarin adalah hari ketujuhnya!!"

You May Also Like

Love Me Once Again For A Year

[Check my profile out to read the English version of this book. ^^] Park Chunghee telah menjalin hubungan dengan seorang pria bernama Lee Donghae selama sepuluh tahun. Dia sangat mencintainya, tapi untuk Donghae sendiri ... dia meragukannya. Belakangan ini, Donghae yang dulu sangat mencintainya sekarang menjadi seperti orang lain baginya. Namun, Chunghee tidak ingin menyerah pada kepribadiannya dan terus bertahan, dengan harapan bahwa Donghae akan kembali seperti yang iakenal. Terkadang, ia berpikir, bertanya kepada dirinya sendiri: Inikah murka Tuhan? ia mengetahui bahwa keinginannya adalah hal yang salah, tetapi ia sudah melangkah sejauh ini dan memilih untuk tetap dalam hubungan yang rusak dan selalu mengatakan sesuatu yang bodoh, dengan terus berkata 'baik-baik saja!' Namun, itu semua adalah kebohongan yang ia ungkapkan! Dalam hubungan rumit ini, Chunghee juga bertemu dengan cinta pertamanya yang bernama Kim Daehyun, dan menjadi seseorang yang selalu menjaganya. Ketika kesehatannya memburuk, hanya Daehyun yang bisa membuatnya tersenyum kembali seperti sebelumnya. Itu membuatnya harus memikirkan sesuatu yang sulit lagi. “Apa menurutmu aku marah?” "Aku tidak marah! Aku sakit hati!" "Semua ini tidak lagi membuatku marah, selain merasakan sakit saat ini. Tapi jika kamu mengira aku marah, maka sekarang aku justru marah padamu—" Bagaimana hubungan mereka di masa depan? Akankah Chunghee bertahan? ----------- Belum Bisa Menerjemahkan. Jangan lupa mengkoleksi buku-buku saya yang lain. ^^ Naskah: Mei, 2018 Dipublikasikan: Agustus, 2019 -----------

Mao_Yuxuan · LGBT+
4.9
407 Chs

Terjebak Cinta Yang Salah

21+ Ridho. Jika ada satu hal yang aku tahu, itu merupakan cara bermain Game... Baik di dalam maupun di luar lapangan. Jika bukan karena satu kesalahan remaja di mana aku mencium Adi, aku bisa terus membodohi diriku sendiri. Sepak bola adalah satu-satunya hal yang aku gunakan untuk mengalihkan diri dari kebenaran, dan ketika aku mengacaukan sampai kehilangan permainan yang aku sukai, aku menemukan diri ku kembali ke Bandung. Aku kembali bertatap muka dengan Ketua tim, yang membenciku bahkan lebih dari yang dia lakukan ketika kami masih kecil. Sihir apa pun yang dia pegang padaku saat itu masih tersisa. Sekuat apapun aku melawannya, aku masih menginginkannya. Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan… Yah, kecuali dengan Adi, yang terus-menerus memanggil ku dengan omong kosong. Mengapa aku sangat menyukainya? Adi, aku mungkin telah menghabiskan bertahun-tahun menonton Raka. Wujudkan mimpiku, setidaknya tanpa kejenakaan di luar lapangan dan pesta pora dengan wanita, tetapi aku telah menjalani kehidupan yang baik untuk diriku sendiri. Aku seorang pemadam kebakaran, dan aku melatih tim sepak bola saudara laki-lakiku untuk mereka yang memiliki cacat. Tetapi ketika Raka kembali ke kota dipersenjatai dengan ego tingginya dan julukan yang bodoh, semua orang kagum padanya. Tidak, bukan aku. Aku tidak peduli jika ciuman kami bertahun-tahun yang lalu bertanggung jawab atas kebangkitan seksual ku. Aku tidak akan jatuh cinta pada Ridho. Meskipun resolusi itu akan jauh lebih mudah jika dia tidak begitu menggoda. Begitu dia menemukan jalannya ke tempat tidurku, aku sangat kacau, dengan lebih dari satu cara. Tapi ada yang lebih dari Raka daripada yang terlihat, terkubur di bawah egonya, sarkasme dan bagaimana kita terbakar untuk menaikkan seprai bersama-sama. Segera, ini lebih dari sekadar permainan. Kami tidak hanya membuat satu sama lain bersemangat, kami mungkin saja memenangkan hati satu sama lain. Sayang sekali hal-hal tidak pernah sesederhana itu...

Pendi_Klana · LGBT+
5.0
268 Chs
Table of Contents
Volume 1 :Bing An Ben

ratings

  • Overall Rate
  • Writing Quality
  • Updating Stability
  • Story Development
  • Character Design
  • world background
Reviews
Liked
Newest

SUPPORT