Rumah sakit. "Lagi-lagi aku berakhir di tempat ini." Salwa membatin.
"Mbak sudah sadar?" Seorang perawat yang bertugas mengganti infus Salwa, berujar. Salwa ingat itu adalah perawat yang sama dengan perawat berkaca mata yang pertama kali dia lihat begitu bagun dari koma.
"Anak laki-laki itu, bagaimana keadaannya?" Salwa tersentak, teringat hal yang penting.
"Masih dalam perawatan di ruangan sebelah." Perawat yang ditanya memberi keterangan seadanya.
Salwa segera bangun, melepas alat infus yang baru selesai dipasang dan memaksa turun dari ranjang.
"Eh Mbak, Mbak mau…"
Salwa mengabaikan perawat yang menegurnya dan berjalan dengan cepat meninggalkan ruangan rawatnya.
Ruang sebelah, ruang sebelah…
Salwa melihat Komandan Budiman berdiri di pintu masuk ruang Bogenvil. Ruangan yang memang berada tepat di sebelah ruangan rawat Salwa.
"Sudah sadar?" Komandan Budiman bertanya begitu melihat Salwa berjalan ke arahnya.
"Saya bahkan enggak tahu kapan saya pingsan," kata Salwa menanggapi.
"Tidak ingat? Setelah kamu berteriak pada kami untuk memanggil ambulans dan segera menolong anak laki-laki itu. Tepat setelah itu kamu pingsan." Komandan Budiman berkata sembari menyunggingkan senyumnya.
Salwa mencoba mengingatnya. Benar. Salwa menghawatirkan anak itu setengah mati. Melebihi dirinya sendiri.
Salwa mengintip melalui lubang kaca di pintu. Anak itu masih berbaring di ranjangnya. Lelah dan sakit tergambar jelas dalam gurat wajahnya yang telah dibersihkan. Keluarga berada di kanan-kirinya mendampingi. Tangis haru penuh syukur karena masih dapat dipertemukan, begitu kental terasa. Sesekali isak masih terdengar.
"Harus mengalami hal yang mengerikan di usia muda, sungguh kasihan." Komandan Budiman menghela nafas.
"Bagaimana keadaan Fahim?" Salwa sungguh ingin tahu.
"Dokter masih memberikan perawatan intensif. Luka tembak di bahu dan kaki, serta beberapa tusukan masih harus dirawat." Komandan Budiman beralih duduk di kursi panjang yang biasa digunakan pengunjung untuk menunggu. "Penyelidikan masih terus berlanjut, namun kami belum bisa menemukan bagaimana pelaku memilih dan menentukan korbannya selain berdasarkan usia."
"Wajah, mata. Fahim menyebutkannya pada saya, " Salwa menimpali "Usia muda, wajah dan mata yang cantik, dia mencari korban yang mengingatkan tentang dirinya. Fahim bahkan melakukan penyiksaan sama seperti yang Ayahnya lakukan padanya."
"Benar-benar gila." Komandan Budiman menggeleng. "Jadi kamu sudah tahu apa yang Fahim alami di masa kecilnya?"
Salwa terdiam sesaat. Menyadari sudah terlalu banyak bicara.
"Kondisi mental seseorang memang enggak sama. Juga trauma masa kecilnya yang belum sembuh. Tapi itu bukan pembenaran. Yang salah tetap salah." Salwa berkomentar. Lebih tepatnya mengalihkan pembahasan.
Tempat membunuh dan tempat membuang mayat adalah tempat yang berbeda. Sebelumnya Fahim bolak-balik ke kota dan tempat penyekapan yang berada di pinggiran menggunakan mobil pribadinya. Kebetulan pagi tadi mobilnya mogok, jadi mau tidak mau Fahim harus pergi menggunakan angkutan umum.
Sebelumnya Fahim tidak pernah melakukan aksinya dengan jeda yang begitu cepat seperti kali ini. Belum lagi Fahim masih dicurigai. Tapi Fahim bertemu dengan korban barunya lebih cepat, membuatnya tidak bisa menahan diri.
Karena tidak ingin tertangkap, Fahim mengubah modus operasinya. Sebelumnya Fahim tidak pernah menculik, membunuh, dan membuang mayat menghabiskan waktu lebih dari 12 jam. Selalu melakukannya pada hari minggu. Efisien dalam waktu adalah kelebihannya dalam melakukan kejahatan. Jadi, sebelum kepanikan anggota keluarga meluas kemana-mana, Fahim sudah menyelesaikan semua pekerjaannya.
Untuk korban terakhir, Fahim telah menghabiskan waktu selama tiga hari. Pertama, alasannya karena Fahim tidak bisa bergerak dengan leluasa. Kedua, Fahim harus membuatnya benar-benar berbeda agar ketika pekerjaannya telah selesai, tuduhan tidak lagi terarah padanya.
"Telah memberi kesaksian sejauh ini, terima kasih banyak. Kembalilah beristirahat dan serahkan sisanya pada kami." Komandan Budiman menepuk bahu Salwa. "Lain kali jangan bertindak nekat seorang diri. Kamu tidak tahu, 'kan bagaimana paniknya temanmu saat menelepon bantuan dan mendapatimu pingsan? Bagaimana sedihnya keluargamu?"
Dian!
Salwa sangat menyesal karena tidak bisa membantu Dian saat Fahim menyerangnya. Tersirat keinginan di hati Salwa untuk mengetahui keadaan Dian. Bagimana lukanya, bagaimana kabarnya.
"Karena saya sangat yakin Fahim yang telah membunuh anak murid saya. Jadi, saya harus menemukan buktinya." Salwa tidak mengatakan perasaannya, dia kembali pada topik yang dibicarakan.
"Menemukan bukti adalah pekerjaan polisi." <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Komandan Budiman berkata bijak.</span>
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Salwa tidak bisa menampik, juga tidak mendebat.</span>
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Hening. Ketika Komandan Budiman akan beranjak untuk melanjutkan tugasnya, Salwa menahan. Masih ada yang ingin diketahui olehnya.</span>
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">"Ayah Fahim… bagaimana keadaanya sekarang?" tanya Salwa.</span>
<span style="line-height: 64.489px;">Orang yang bekerja keras membanting tulang siang dan malam adalah Ibu. Sementara suaminya, setelah di PHK, tidak pernah lagi berusaha mencari pekerjaan baru. Ayah tidak pernah memukul di wajah atau tempat lain yang mudah terlihat sehingga butuh waktu lama sampai Ibu tahu apa yang Fahim alami.</span>
<span style="line-height: 64.489px;">Awalnya Ibu tidak percaya. Setelah melihat dengan mata kepala sendiri, Ibu akhirnya melaporkan perbuatan Ayah pada polisi.</span>
"Kepribadiannya mirip seperti Fahim yang kita lihat. Dari pada tertangkap polisi, dia lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan menabrakkan dirinya saat kereta tengah melaju," jelas Komandan Budiman.
Ada sesuatu yang akhirnya bisa Salwa mengerti dan itu membuat jantungnya seperti diremas. Perih. Salwa butuh waktu untuk biasa mengambil oksigen yang ada di udara dengan bebas.
Kembali hening.
"Salwa!"
Ayah, Ibu, dan Daffa, bahkan Dian, mereka mencari Salwa yang mendadak hilang dari ranjangnya. Mereka terlihat sangat panik dan ketakutan. Salwa kembali merasa bersalah. Membuat khawatir, membuat masalah. Selalu berulang.
Seketika itu juga Salwa digiring untuk beristirahat. Untuk kembali ke kamarnya.
Ayah, Ibu, Daffa, dan Dian, semua berada di kamar rawat Salwa. Perawat yang tadi dia abaikan memarahi dan mengomelinya banyak hal. Ayah dan Ibu mewakili Salwa meminta maaf.
Begitu perawat telah pergi, Dian dan Daffa sama-sama tertawa. Tampaknya Daffa sudah berhenti merajuk.
Ayah menyuruh Salwa berbaring saja agar bisa segera pulih dan pulang ke rumah. Ibu mengupaskan jeruk. Sementara Daffa hanya duduk saja di temani gaget yang tidak bisa lepas dari tangannya.
Sesekali Daffa akan bertanya mengenai apa yang Salwa dan Dian alami. Jika sudah sekali bertanya, Daffa akan terus bertanya seperti seorang polisi yang sedang mengintrogasi tersangka. Daffa baru bisa diam jika Ayah atau Ibu yang angkat bicara.
"Kamu sedang apa?" Protes Salwa karena tiba-tiba Dian naik ke ranjangnya. "Kembali ke ruanganmu sendiri, sana!" tambahnya mengusir.
"Aku sudah enggak kuat jalan lagi," Dian beralasan dan berbaring dengan nyaman di sebelah Salwa. "Lagipula kamu ini jahat sekali. Aku ini temanmu, aku yang datang membantu, tapi kamu hanya menghawatirkan anak laki-laki itu. Sama sekali enggak menanyakan keadaanku." Dian balik memprotes.
Dian menunjuk memar-memar yang ada di wajahnya. Kening di plaster dan tangan kanannya yang cedera digantung. Saat berjalan langkahnya juga masih terpincang-pincang. Padahal yang diselamatkan adalah Salwa, tapi justru Dian yang banyak terluka.
Kepala Salwa memang diperban tapi hanya gegar otak ringan. Badanya memang sakit semua, wajahnya juga memar karena di pukul Fahim beberapa kali, tapi cederanya tidak lebih banyak dari fisik Dian atau mental anak laki-laki itu.
Benar. Dian sudah beberapa kali menyelamatkan Salwa. Sebenarnya bukan tidak khawatir, Salwa tahu Dian adalah gadis yang sangat kuat. Sebesar apapun badai yang datang, sebesar itu pula kekuatannya mampu memberi bantuan. Dian selalu bisa mengobati lukanya.
Salwa sungguh mengagumi Dian. Keberaniannya, kekuatannya, dan kemampuannya pulih dari luka.
"Enggak apa-apa. Nanti Ibu yang akan bilang ke dokter untuk memindahkan Dian ke ruangan yang sama dengan Salwa. Lagipula pasien di ranjang sebelah baru keluar hari ini." Ibu angkat bicara.
Dian menjulurkan lidahnya pada Salwa, merasa menang. Karena Ibu membela dan lebih berpihak padanya.
"Bisa ajari aku setengah dari keberanian yang kamu punya saat menghadapi Fahim hari itu?"
Salwa berkata di suatu malam saat Ibu tengah terlelap. Daffa pulang karena besok harus pergi sekolah. Sementara Ayah ada shift malam.
"Bukannya aku sudah pernah bilang kalau kamu adalah keluargaku." Dian memberi jeda. "Setelah kehilangan Ayah dan Ibu, kehilangan Mia, bagaimana mungkin aku diam saja dan menunggu sampai kehilanganmu juga."
Salwa yang sebelumnya menatap langit-langit mengalihkan tatapannya pada Dian.
"Setelah kehilangan banyak orang berharga dalan hidupmu, kamu enggak akan tahu dari mana keberanian dan kekuatan itu datang. Yang kamu tahu, kamu hanya enggak ingin kehilangan lagi. Meski itu harus dengan mengorbankan diri sendiri." Dian menyelesaikan kalimatnya.
Salwa dan Dian saling bertukar pandangan. Mata Dian berkaca-kaca, air sudah menumpuk di kantung matanya, tapi Dian bersikeras untuk tidak menangis.
"Kalau mau nangis, nangis saja. Jangan ditahan." Salwa melempar bantalnya hingga mengenai wajah Dian yang berada di ranjang sebelah.
"Siapa yang mau nangis, memangnya aku cenggeng?" Dian melempar balik bantal Salwa.
Salwa melempar lagi dan kembali mengenai Dian hingga menutupi seluruh wajahnya. Dian terdiam, tidak membalas. Membiarkan saja bantal Salwa menutupi wajahnya.
Salwa mengubah posisi tidurnya membelakangi Dian. Menggunakan lengannya sebagai bantal dan mencoba memejamkan matanya.
*****
Sekali lagi Salwa dapat lolos dari kematian. Entah harus berapa kali lagi menemui bahaya sebelum akhirya Salwa tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman maut dan berakhir dengan kalimat singkat, 'sudah waktunya'.
Kematian adalah sesuatu yang menakutkan seperti pemikiran banyak orang. Semakin sering menghadapi situasi antara hidup dan mati semakin membuat kematian tampak mengerikan. Tidak ada yang bisa terbiasa karena kematian adalah takdir yang memang tidak mampu ditebak.
Berulang kali Salwa merasa telah mencapai batasnya, akhirnya… Sudah waktunya… Nyatanya batas yang dia pikirkan bukanlah akhir dari takdirnya. Salwa hanya bisa menebak, 'mungkin ini waktunya', 'mungkin tidak akan bisa bertahan lagi'. Tapi pada dasarnya takdir bukan berdasarkan perasaan, melainkan ketetapan.
Salwa telah kembali ke kamarnya. Meski dokter mengatakan bahwa Salwa sudah membaik dan diperbolehkan beraktifitas seperti biasa, Ibu melarangnya pergi ke sekolah atau ke luar rumah untuk sementara waktu. Ayah juga menekankan agar Salwa menghabiskan waktunya untuk beristirahat saja di rumah. Agar luka-lukanya benar-benar sembuh.
Salwa sendirian di rumahnya yang kosong, sementara Ibu berada di warung untuk membeli keperluan bumbu dapur. Bukannya tidak tahu bahwa keluarganya sedang mengurungnya, Salwa hanya mencoba mengerti. Sekali lagi berpikir dari sudut pandang keluarganya.
Salwa duduk di kursi dalam kamarnya. Kertas berjilid dari Dian, Salwa sangat ingin mengetahui lebih banyak lagi mengenai isinya.
Beberapa hari ini Salwa mulai kacau. Dia melihat sesuatu yang harusnya tidak ada. Perasaan yang begitu akrab dengan gambaran yang ditunjukkan penglihatannya, membuatnya merasa bahwa kejadian itu nyata. Kenyataannya tidak ada yang terjadi. Sama seperti kejadian bus yang terlempar ke luar jalur tempo hari.
Diam-diam Salwa menemui seorang dokter tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu untuk berkonsultasi. Ada keyakinan bahwa kejadian-kejadian yang dilihatnya adalah potongan dari ingatannya yang hilang.
Sekarang, Salwa benar-benar merasa dirinya sakit. Benar-benar sakit. Ketidakmampuan membedakan antara fakta dan gambaran dari masa lalunya yang hidup dalam bentuk imajinasi, yang terlihat dan terasa seperti nyata, mengacaukan pikirannya.
Perasaan sedih, kacau, keduanya seperti membentuk sebuah pusaran yang mampu menelan Salwa dalam kegelapan. Perasaan putus asa yang tak berujung. Kesedihan.
Botol obat kecil yang Ibu berikan masih berdiri di atas meja. Sama seperti terakhir kali Salwa meninggalkannya. Obat itu, Salwa belum menyentuhnya sama sekali. Segelnya bahkan masih terpasang.
Salwa berpikir sesaat sebelum menggerakkan tangannya dan menarik laci meja tempat kertas berjilid yang Dian berikan padanya tersimpan.
Sepertinya, memang sudah waktunya. Salwa akan mengandalkan obat yang Ibu berikan jika dia sudah tidak sanggup lagi.
Salwa menarik nafas panjang dan mulai membuka. Di mulai pada lembar paling awal.
'Bakal Manusia', mereka ada di manapun. Bahkan mungkin disekelilingmu saat ini sedang mengamati, atau mungkin menjadi salah satu temanmu yang begitu dingin dan sedikit banyak tahu tentang perasaanmu.
Pernahkah kamu merasa mengenal seseorang padahal baru pertama kali bertemu dengannya, atau merasa ada seseorang di sekitarmu yang 'kosong', atau merasa ada seseorang yang mengikutimu. Mereka –Bakal Manusia– ada, sedang mengamati bagaimana manusia hidup utuk memutuskan terlahir sebagai apa mereka selanjutnya.'
Salwa terus membaca. Ketika mulai merasa gelisah, Salwa akan memakan satu pil, satu lagi, lagi, dan lagi…
Pikiran Salwa mulai berontak, tubuhnya seolah begitu ringan melayang. Setiap kalimat yang dibaca, Salwa seperti menjadi pemerannya. Setiap dialog yang muncul, Salwa mampu mengucapkannya seolah benar-benar dia yang melaluinya.
Layaknya seorang pemeran dalam sebuah drama, Salwa adalah tokoh utamanya. Salwa juga pemegang kunci dari segala hal yang terjadi layaknya sutradara. Salwa tahu apa yang akan terjadi pada adegan selanjutnya bahkan sebelum membalik naskah.
Salwa telah melayang begitu tinggi ketika tiba-tiba dia terjatuh. Benar-benar terjatuh dari tempatnya duduk. Kepalanya menjadi begitu berat, seluruh isi dalam perutnya berputar kecang hingga merasa mual.
Ponsel. Salwa berusaha meraihnya dengan sekuat tenaga meski tubuhnya semakin lemah dan sulit digerakkan. Nafas Salwa semakin sesak, pandangannya kabur. Sesuatu mengalir ke luar dari mulutnya yang mengatup.
"Aku…" Salwa berusaha bicara namun suaranya tidak keluar.
"Salwa? Salwa?!"
Salwa mendengar suara yang sangat berisik dari kejauhan. Dian. Pasti! Ada siapa lagi orang yang sangat berisik selain dia.
Dian datang. Samar, semakin samar dan akhirnya tidak ada lagi yang bisa terlihat dan terdengar.
*****