Sekarang Salwa tidak lagi tahu harus bagaimana atau melakukan apa. Salwa sedang berusaha mempercayai dirinya sendiri bahwa dia tidak sepenuhnya sakit. Bahwa yang dialaminya hanya masalah peralihan untuk menemukan ingatannya yang hilang.
"Salwa harus secepatnya mendapat perawatan. Jika terus menerus diulur, akan semakin membahayakan keselamatannya." Dian berusaha keras meyakinkan kedua orang tua Salwa.
Tanpa sengaja Salwa menangkap pembicaraan mereka ketika baru tersadar di rumah sakit. Terlalu banyak mengkonsumsi anti depressant membuat nyawanya lagi-lagi terancam. Salwa berhasil membuka mata dan melewati masa kritisnya setelah dua malam tidak sadarkan diri.
Sebenarnya kepala Salwa masih terasa berat, namun Salwa memaksakan diri meninggalkan rumah sakit saat tidak ada seorang pun yang menjaga.
Salwa yakin ibunya mulai memikirkan kalimat Dian untuk mengirimnya ke pusat perawatan. Ibu yang paling mudah dibujuk. Ibu adalah tipe yang mudah khawatir, jadi dengan menggunakan keselamatan Salwa sebagai alat tawarnya, cepat atau lambat Ibu pasti luluh.
Salwa masih tidak setuju. Tidak akan. Salwa adalah pemilik tubuhnya jadi dia yang paling tahu harus seperti apa memperlakukan tubuhnya. Tinggal di tempat suram seperti itulah yang akan membuatnya benar-benar gila.
"Ini hanya masa peralihan sebelum mendapatkan kembali semua ingatan yang hilang. Setelah itu, segalanya akan baik-baik saja." Berulang kali Salwa berkata pada dirinya sendiri.
"Pada akhirnya kamu tidak akan pernah bisa lari dari takdirmu?"
"Takdirku?" Salwa mengulang. Mengerutkan keningnya.
Bakal Manusia tiba-tiba saja muncul ketika Salwa tengah duduk sendiri di halte yang sepi. Salwa menatap ke arahnya, menuntut penjelasan.
Tidak ada sahutan, tidak ada penjelasan. Ketika Salwa akan kembali bertanya, makhluk itu telah menghilang entah kemana.
"Salwa!!" Dian mendekat.
Awalnya Salwa hendak beranjak menghindarinya, juga keluarganya jika mereka bertemu. Namun melihat peluh di kening Dian, nafasnya yang terengah-engah, Salwa pun menggurungkan niatnya.
Keluarganya pasti juga tengah sibuk mencari. Panik, khawatir. Selalu seperti itu. Salwa yang tidak ingin membuat siapa pun khawatir justru membuat mereka semakin khawatir.
"Dokter belum memperbolehkanmu kemana-mana, kenapa berjalan sejauh ini?" Dian mulai dengan kebiasaannya mengomel. "Ayo, kembali ke rumah sakit!" ajaknya.
"Bagaimana keadaanku saat ditemukan di tempat kecelakaan bus tahun itu?" Salwa bertanya tanpa mempedulikan apa yang baru saja Dian katakan.
"Kenapa, kamu sudah mulai mengingatnya?" Dian balik melemparkan pertanyaan. Suaranya terdengar antusias.
"Aku melihatnya ketika aku mengikuti Fahim beberapa waktu lalu. Aku merasakannya seolah aku berada dalam bus yang terpelanting. Suara panik dalam bus bahkan bisa kudengar dengan jelas," jawab Salwa menjelaskan.
Bagian ingatan yang Salwa lihat, Dian baru pertama kali mendengarnya. Salwa memang tidak pernah bercerita pada siapa pun. Tidak ingin mereka salah memahami kondisinya.
"Kenapa bisa hanya aku yang selamat dalam kecelakan itu?" Salwa bertanya penuh harap. Agar setidaknya Dian punya jawabannya. Air mata Salwa tumpah.
'Kenapa aku.' Salwa terus bertanya-tanya. Jika tidak ada kecelakaan itu, tidak akan ada dirinya yang sekarang, tidak akan bisa melihat Bakal Manusia, tidak akan dianggap gila, tidak akan mendengar rencana diam-diam dikirim ke pusat perawatan. Tidak akan mengalami berkali-kali nyaris mati.
Salwa berharap Dian bisa memberinya jawaban, bisa membuatnya mengerti kenapa harus dia yang terus hidup sementara orang lain tidak. Apa yang membuat nyawanya lebih berharga. Atau keberuntungan macam apa yang tanpa sengaja dimilikinya.
Beberapa hari yang lalu, sebelum masuk ke rumah sakit, Salwa memeriksa artikel mengenai kecelakaan yang menimpanya. Bagaimana kejadiannya dan berapa korbannya.
Begitu tahu hanya dirinya yang selamat, Salwa merasa getir. Hal pertama yang ada di benaknya adalah 'kenapa.' Semua orang, teman-temannya, bahkan Mia, tidak satu pun yang selamat. Hanya dia.
Dian tidak langsung menjawab, menatap Salwa dengan mata berkaca-kaca. Kesedihan tergambar begitu jelas dari tatapannya. Masa-masa itu, sama menyesakkannya bagi Dian.
"Bus baru bisa ditemukan dua hari setelah kecelakaan terjadi." Dian mulai bercerita. "Kamu di temukan cukup jauh dari bus. Saat ditemukan pergelanganmu tergores dan tangan kananmu memegang pecahan kaca. Kamu… kemungkinan berusaha mengakhiri hidupmu sendiri. Kamu… mungkin menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi. Perasaanmu yang sekarang, mungkin sama seperti perasaanmu hari itu."
Kecelakaan terjadi di jalan tembus antar kota. Jauh dari pemukiman, dan saat kecelakaan terjadi jalan sepi, hingga laporan terlambat masuk dan pencarian mengalami kendala. Itu adalah kecelakaan yang menggemparkan. Artikelnya dimuat di halaman depan beberapa media masa. Berulang kali dibahas di media elektronik.
Alasan utama orang tua Salwa memilih pindah kota adalah untuk menghindari segala pertanyaan terkait kecelakaan. Untuk menjaga mental Salwa. Untungnya wajah Salwa tidak pernah dimuat. Dalam waktu satu tahun semua berangsur-angsur mereda dan orang-orang yang tidak ada hubungannya lambat laun lupa.
Menjadi dilupakan dalam waktu satu tahun memang terdengar mudah. Sementara orang-orang yang menjalaninya harus berjuang dengan luka kehilangan dan air mata. Berulang kali menangis, berulang kali terisak.
"…"
"Apa bebanmu terlalu berat? Kenapa enggak membaginya denganku? Kenapa enggak membaginya bersama keluargamu? Kenapa kamu menganggap kami enggak ada dan hanya menderita sendiri, merasa bersalah, dan terus-menerus menyakiti diri sendiri?"
Mia. Bayangan mengenai gadis itu muncul dalam benak Salwa. Di antara ingatannya yang samar-samar, hanya wajah gadis itu yang terlihat jelas. Tawanya, suaranya, dan perasaan akrab dalam diri Salwa.
Semakin banyak wajah Mia muncul, semakin Salwa justru merasa sakit. Merasa kehilangan. Matanya kembali basah.
"Aku! Aku yang sudah mengambil Mia. Aku mengambil satu-satunya keluargamu yang tersisa." Salwa berkata di sela isak tangisnya. "Seandainya aku enggak memaksa Mia dan yang lainnya ikut berlibur hari itu."
Perasaan bersalah, penyesalan, rasa sedih, kehilangan yang begitu dalam. Semua meyerang Salwa. Membuat dadanya sakit, membuatnya sulit bernafas. Membuatnya mulai mengerti, alasan kenapa dia harus hidup dengan berkali-kali nyaris mati.
"Seandainya aku enggak keras kepala… Seandainya aku enggak egois… Seandainya bukan aku, mereka semua pasti baik-baik saja sampai sekarang." Salwa tidak berhenti menyesali pilihannya.
Yang terpikirkan dalam kepalanya adalah penebusan. Bahwa dia harus ikut menangis siang dan malam seperti yang keluarga korban dan keluarga teman-temannya lakukan. Bahwa dia tidak berhak bahagia.
"Kamu sebenarnya membenciku, 'kan? Jauh dalam lubuk hatimu kamu juga menyalahkanku karena memaksanya ikut pergi hari itu. Aku melihatnya… aku bisa melihatnya di malam kamu menunjukkan foto Mia padaku."
"Iya, aku membencimu!" Sentak Dian. "Seharusnya kamu hidup bahagia agar aku bisa membencimu. Seharusnya kamu tertawa-tawa dan menikmati hidupmu. Kalau kamu begini menyedihkan siapa yang sanggup membencimu?!"
"…"
"Kenapa kamu begitu keras kepala?! Kenapa kamu yang diberi kesempatan untuk tetap hidup justru menjadi begini menyedihkan?! Kenapa kamu terus menyalahkan dirimu sendiri?!" Dian memaki. Air matanya juga berurai dengan deras.
Orang-orang yang lewat sesekali akan menoleh karena tertarik. Terasa seperti menonton drama. Beberapa yang baru tiba, bahkan tidak ada yang berani mendekat ke halte.
"Kenapa kamu begitu bodoh?" Dian mendorong Salwa tapi nada suaranya menjadi lebih lembut. "Kamu enggak perlu seperti ini. Enggak ada yang menyalahkanmu…"
"Bohong."
"Apapun yang sudah terjadi bukan kesalahanmu. Bukan kamu yang menulis di buku takdir. Bukan kamu yang meminta kecelakaan itu terjadi." Tatapan Dian melembut. "Bukan hanya Mia, kamu juga adalah keluargaku. Kalian berdua satu-satunya keluargaku. Jangan biarkan aku kehilangan keluarga lagi setelah aku kehilangan Mia."
Dian memeluk Salwa. Keduanya lanjut menangis bersama. Menemukan orang yang tepat untuk berbagi tangis setelah menuangkan segala curahan di hati sangat melegakan, menenangkan.
Salwa merasa kesedihan yang membeku di sudut hatinya yang membiru, meleleh cair. Rasa sesak tanpa sebab yang selama ini dibawa setiap kakinya memindahkan pijakan, mulai lapang, memberikan sedikit tempat untuk udara masuk dan berganti.
Salwa dan Dian masih berpelukan ketika sebuah ambulans datang dan berhenti. Sesaat Salwa merasa Dian menggeratkan pelukannya. Merasakan air mata hangat yang membasahi punggungnya menjadi lebih banyak.
Salwa masih belum menyadari apa yang terjadi sampai 4 petugas berpakaian serba putih keluar dari ambulans dan berjalan mendekat.
"…maaf." Dian berkata dengan suara bergetar. Suara tangisnya masih terdengar jelas. Dian melepaskan pelukannya.
"Apa ini?" Salwa bertanya meminta penjelasan.
Dian hanya tertunduk menangis. Tidak ada jawaban, tidak ada yang memberinya penjelasan.
"Apa yang akan kalian lakukan?!" Salwa berubah waspada pada kedua petugas pria yang ada di depannya.
Seorang petugas wanita diam-diam mengeluarkan jarum suntiknya. Salwa yang berusaha melarikan diri ditahan oleh dua petugas pria.
Salwa yang tidak terima diperlakukan seperti penjahat berbahaya yang tengah diciduk, memberontak, berteriak. Salwa kerahkan usahanya sekuat tenaga agar bisa terlepas dari genggaman kuat dua pria berseragam putih. Sayangnya perbandingan tenaga yang dimiliki sama sekali tidak imbang.
Tidak ingin menerima begitu saja, Salwa tetap tidak berhenti memberontak. Dua orang yang menahan mulai kewalahan. Tampaknya tenaga Salwa tidak bisa dianggap remeh.
Setelah drama melankolis penuh air mata, adegan memberontak dan diamankan, menjadi tontotan gratis bagi orang-orang yang lewat. Jalan terlihat lebih padat karena banyak yang menepi dan berkumpul.
Salwa masih mengedarkan pandangannya ke segala arah, sampai matanya menangkap sosok keluarganya.
Ayah, Ibu, Daffa. Mereka sama seperti semua orang yang hanya berdiri di seberang jalan dan ikut tontonan. Tubuh Salwa akhirnya melemas pasrah jeda tidak lama setelah cairan dalam jarum suntik berhasil dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Sebanyak apapun Salwa menolak, sekuat apapun memberontak, pada akhirnya dia tetap kalah.
Salwa semakin ingin marah, ingin mengamuk sejadi-jadinya. Namun semakin dia berusaha mengeluarkan tenaganya, semakin Salwa lemas dan tanpa daya.
Mengetahui semua orang memperlakukannya seperti ini membuatnya kesal, sedih, kecewa. Semua bercampur aduk membuatnya semakin ingin mengamuk, ingin mencaci. Tapi sekali lagi Salwa tanpa daya.
Salwa sangat berharap keluarganya mau mengerti keadaannya, sedikit saja. Mau mempercayainya sekali lagi. Rasanya menyakitkan. Sesaknya seperti dapat membuat orang mati seketika itu juga.
"Aku enggak gila, sungguh… percayalah… kumohon…" Suara Salwa semakin hilang dengan pandangan mata yang semakin samar-samar.
Air mata Salwa kembali menetes sebelum akhirnya dia benar-benar kehilangan kesadaran.
*****