"Wajah yang cantik."
Telinga Salwa mereaksi sebuah suara. Berat. Kepalanya terasa berat, badannya terasa sakit. Salwa membuka mata perlahan dan tersentak ketika melihat punggung seseorang yang berjongkok membelakanginya. Fahim.
Ingatan Salwa kembali memberi gambaran apa yang terakhir kali terjadi dan bagaimana dia bisa berakhir bersama Fahim.
"Sudah bangun?" Fahim berbalik memandang Salwa.
"Kamu… ternyata benar kamu pelakunya." Suara Salwa tercekat di tenggorokan. Dia berusaha keras menahan murkanya yang meletup-meletup.
Ada orang lain selain Salwa dan Fahim dalam tempat berdinding kayu yang mengurung mereka. Seorang anak laki-laki, seumuran Daffa, seumuran Amir.
Korban baru? Rahang Salwa mengeras.
Anak laki-laki itu memejamkan matanya. Pipinya yang digores belati mengeluarkan titik-titik darah. Bukan luka yang dalam, jadi tidak mematikan. Keningnya memar, penampilannya berantakan. Bibirnya pecah-pecah dan terdapat luka di sudutnya. Tangannya terikat ke belakang seperti halnya Salwa.
Gigi Salwa bergemeletuk. Matanya berkaca-kaca. Menatap anak itu seperti melihat bagaimana Amir menderita sebelum ajalnya tiba. Meski matanya terpejam dengan wajah yang terlihat tenang, namun ketakutan dan rasa sakitnya telah di koyak. Kekuatan pergi. Membiarkannya sendiri tanpa daya.
Ternyata Fahim memang memilih korban yang memiliki rentan usia sama. Dengan kata lain, sebelum Fahim bisa dihentikan, bisa jadi suatu saat Daffa akan menjadi korban, dan banyak nyawa anak akan terancam.
"Kenapa terlihat begitu terkejut?" Fahim berdiri dari jongkoknya, menuju meja dan kursi yang hanya satu-satunya berada dalam tempat berukuran 5X5 meter. "Bukankah kamu sangat yakin kalau aku pelakunya." Fahim melebarkan senyumnya, duduk di kursi kayu dan mengasah belatinya.
Benar. Sebelumnya Salwa memang yakin kalau Fahim adalah pembunuh. Kalau tidak bagaimana mungkin kebencian bisa mengakar begitu kuat dalam hatinya. Meski sudah tahu, tetap saja Salwa tidak bisa untuk tidak terkejut.
Mata Salwa masih lekat menatap anak laki-laki di depannya. Saat anak itu ketakutan, berteriak, berharap seseorang datang menolong, bahkan sampai pada perasaan putus asa dan pasrah pada hidup, Salwa seolah bisa merasakannya. Hatinya bergetar marah.
"Karena aku pikir bisa menyelamatkan mereka. Tapi… meski aku dapat melihat masa depan, aku tetap tidak mampu mengubah takdir." Salwa mengulang kalimat yang Fahim ucapkan saat berada di kantor polisi.
Fahim tersenyum mendengar kalimatnya diucapkan oleh Salwa. Seperti ada kebanggaan dalam binar-binar matanya.
"Aku mencoba untuk enggak tersentuh saat mendengarmu mengatakan kalimat itu. Karena aku tahu, mata seorang pembunuh enggak akan bisa disembunyikan meski mulutnya begitu manis," tambah Salwa sinis.
"Setiap orang menyukai kata-kata manis yang menyentuh. Bukankah begitu?" Fahim tersenyum lagi. Merasa bangga lagi. "Mereka menyukainya, bahkan meski itu omong kosong."
Sebuah uap muncul tepat disisi kiri Fahim. "Zeis?"
"Apa?" Fahim berhenti mengasah, melihat Salwa menatap ke arah lain yang bukan dirinya. "kamu bilang apa?"
Fahim mendekat ke arah Salwa. Tidak kunjung mendapat jawaban, atau menatap balik, Fahim memegangi wajah Salwa dengan kasar. Memaksa Salwa melihat ke arahnya. Genggamanya yang kuat membuat Salwa tidak kuasa melawan.
Fahim menatap lekat mata Salwa. "Mau tahu kenapa aku memilih anak-anak malang itu?"
Salwa mengerutkan keningnya, tidak menjawab.
"Selain karena mereka anak laki-laki yang berwajah cantik, juga karena mereka memiliki mata yang indah." Fahim tetap melanjutkan kalimatnya. "Matamu… juga sama. Aku menyukainya."
Ada sesuatu yang menyodok hati Salwa. Salwa memejamkan mata dan menarik paksa wajahnya. Selain mengerikan, kalimat Fahim juga terdengar menjijikan. Salwa benar-benar tidak tahan.
Zeis masih tetap berada di tempatnya sejak pertama kali muncul. Telinga Salwa mereaksi suara yang untungnya hanya dia saja yang bisa mendengarnya. Ini sebuah keuntungan.
Nyali Salwa bangkit. Dia menyunggingkan senyum lebar. Menatap Fahim dengan tatapan merendahkan.
"Apa yang lucu?" Fahim berkata tajam. Jelas tidak suka melihat reaksi Salwa.
"Masa depan, kamu enggak bisa melihatnya," Salwa berkata datar.
Fahim menyipitkan matanya dan melepaskan tangannya yang kasar. Fahim mengalihkan pandangannya sesaat dan –plak, telapaknya melayang dan mendarat di pipi Salwa.
"Siapa yang bilang? Aku bisa melihat masa depan. Aku melihatnya di matamu. Kamu akan mati sebentar lagi. Matamu akan kosong selamanya. Keindahannya akan meredup dan hilang." Fahim menekan kalimatnya.
Salwa tidak terpengaruh oleh intimidasi Fahim. Tetap menatap dengan akuh.
"Sekarang, berteriaklah! Kita lihat, apa kematian bisa berpaling darimu saat kamu memohon pertolongan." Fahim berkata lagi.
Sekarang terlihat dengan jelas bahwa Fahim benar-benar 'sakit.' Fahim memaksa Salwa agar berteriak. Jika tetap diam, Fahim akan memukul. Terus, berulang. Sampai Salwa mau berteriak dan memohon untuk hidupnya.
"Kamu bisa melihat masa depan."
Salwa berkata sebelum tangan Fahim kembali menamparnya. Bukannya memohon, Salwa justru lanjut memprovokasi. Suaranya lemah. Sudut bibirnya berdarah. Rasa sakit membuat mulutnya tidak mampu terbuka lebar dan bersuara keras.
"…jika tidak bisa, maka buatlah masa depan yang bisa kamu lihat. Ciptakan masa depan. Asal kamu bisa melihatnya, meski itu mengerikan tidak masalah."
Tangan Fahim yang masih terangkat di udara bergetar. Keningnya berkerut dalam.
"Ciptakan masa depan. Asal kamu bisa melihatnya, meski itu mengerikan tidak masalah." Salwa mengulang.
"Diam…" Fahim berkata dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Bodoh! Kamu nggak bisa melihat masa depan, sama sekali enggak bisa!!" Salwa meninggikan suaranya.
"Aku bisa, aku bisa… Jangan, aku bisa melihatnya. Iya, aku bisa. Aku bisa." Suara Fahim mulai bergetar. Tatapannya terhadap Salwa mulai berubah. Seperti Fahim adalah korbannya.
"Ciptakan masa depan. Asal kamu bisa melihatnya, meski itu mengerikan tidak masalah." Salwa mengulang lagi. "Enggk bisa, enggak bisa. Enggk akan pernah bisa!!!" Suara Salwa semakin tinggi, semakin menyudutkan.
Salwa mengulang-ulang kalimat yang seperti diucapkan oleh dua orang. Satu kalimat perintah dan satu lagi kalimat bernada merendahkan.
"Diam!!!" Fahim memekik. "Diam…"
Seluruh tubuh Fahim gemetar. Ketakutan. Berulang kali kalimat yang sama Fahim ucapkan. Fahim memegangi kepalanya, meringkuk di pojokan, memekik, menangis. Perubahan emosi terjadi dengan cepat. Seperti ada pergolakan dalam jiwanya.
Kalimat-kalimat Salwa membangkikan trauma masa kecil Fahim. Rasa sakitnya kembali diingatkan. Amarah yang menggulung bersama duka dan ketakutannya. Ketidak berdayaan dan rasa putus asa yang mulai mengambil alih.
"Arrgh!!" Fahim memekik dengan keras seperti sedang kerasukan.
Fahim berusaha keras mengendalikan dirinya. Memukul-mukul kepalanya, menghentak-hentakkan kakinya. Menyerapahi dunia dengan kata-kata vulgar. Ketika akhirnya sadar, Fahim mengambil belati yang ada di atas meja.
"Aku, sekarang bisa melihatnya. Aku bisa melihat masa depan. Aku akan menciptakan…" Buk– sebuah bongkahan kayu menyerang punggung Fahim.
Dian!
Belati yang hendak Fahim acungkan pada Salwa terpental. Tidak langsung roboh hanya dengan satu pukulan, Dian mencoba lagi. Kali ini tidak berjalan baik. Dengan sigap Fahim menangkis serangan Dian.
Di tengah gulat antara Fahim dan Dian, Salwa memanfaatkan kesempatan mengambil belati yang terpental dan melepaskan ikatannya. Begitu terlepas, Salwa menusuk punggung Fahim. Tidak langsung roboh, Fahim balik memukul Salwa dan merebut kembali senjata miliknya.
Untuk kedua kalinya ketika belati diacungkan ke arah Salwa, bongkahan kayu kembali menyerang Fahim. Kali ini bukan punggung melainkan kepala. Diserang di bagian vital, membuat Fahim sempoyongan dan akhirnya roboh.
Yakin Fahim sudah tidak bergerak, Dian menendang belati yang berada di tangan Fahim. Jauh, hingga ke pintu luar.
"Kamu baik-baik saja?" Dian bertanya dengan nafasnya yang tidak beraturan.
Salwa menggelang. Dengan tenaganya yang sisa setengah, Dian membantu berdiri dan memapah Salwa.
"Polisi akan segera datang. Kita tinggalkan saja dia disini," kata Dian lagi.
Dengan seluruh badan yang terasa remuk, Salwa dan Dian saling memapah. Baru berjalan beberapa langkah, ada sesuatu yang menahan kaki Salwa.
Anak laki-laki itu, dia masih hidup!
Salwa memanjatkan syukur. Anak laki-laki itu terus bertahan. Meski putus asa dan ketakutan tetap berjuang untuk hidup. Rasa lega sekaligus haru membajiri perasaan Salwa.
Anak laki-laki itu tidak mengatakan apapun. Hanya menggerak-gerakkan saja tangannya. Lemas. Tidak ada lagi kekuatan yang tersisa.
"Jangan, takut! Kami akan membawamu keluar dari sini," kata Salwa.
Salwa dan Dian sebenarnya sudah kesulitan membawa diri masing-masing, namun mereka sama-sama berusaha agar bisa keluar dan segera bebas.
Mereka berjalan sangat lambat. Keadaan fisik dan keadaan jalan yang harus dilewati membuat kaki hanya bisa melangkah sedikit demi sedikit. Pelan-pelan. Masih berusaha keras bertahan dengan rasa lelah dan nyeri yang menyerang, terdengar sebuah teriakan di kejauhan.
Suara Fahim yang memekik murka. Dengan langkah yang cepat dan panjang, Fahim mulai mengejar. Mangsa yang sudah ada di depan mulutnya tidak akan dibiarkan lolos begitu saja.
Suara sirine mobil polisi terdengar dari atas jalan raya, tapi mereka tidak berhenti. Salwa dan Dian berteriak, melambaikan tangan, berharap suara mereka terdengar dan para polisi berputar balik.
Tidak! Tidak ada waktu lagi. Langkah Fahim semakin dekat dan terus mendekat. Ada bongkahan kayu yang dibawa di tangannya.
Gawat!
"Kita berpencar?" tanya Salwa.
"Jangan!" Dian menolak dengan cepat. "Semakin banyak orang, akan semakin ada banyak waktu untuk kita bertahan."
Fahim datang dan mengayunkan bongkahan kayu yang dibawanya ke arah Dian. Dian bisa menghindar ke sisi kanan, sementara Salwa yang tidak segesit Dian, terkena pukulan di bagian kepala sebelah kiri.
Salwa terpelanting bersama anak laki-laki yang masih dia papah. Telinga Salwa berdenging, kepalanya pusing, pandangan kabur. Rasa sakitnya membuat tidak bisa bergerak untuk sesaat.
Dian menahan dari belakang lengan Fahim yang terayun lagi ke arah Salwa kemudian menggigitnya. Keberaniannya benar-benar patut diacungi empat jempol. Pekik kesakitan memecah terik matahari siang. Fahim semakin berang dan mulai menyerang Dian dengan brutal.
Salwa berusaha bangkit membantu, namun kesadaran dan kekuatannya masih belum terkumpul di titik normal. Salwa masih sempoyongan. Berusaha berdiri tegak dan menyeimbangkan tubuhnya justru membuatnya oleng dan kembali terjatuh.
Dian terkena pukulan beberapa kali. Padahal Dian datang untuk menolong. Padahal Dian berusaha keras untuk melindunginya. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Kalau tetap seperti ini…</span>
"Argh!!!" Salwa berteriak, memaska dirinya berdiri dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki.
Ketika Salwa hendak melompat ke arah Fahim dan meyerangnya, seseorang telah mendahuluinya dan berdiri di depan Salwa. Badannya setengah membungkuk dan… sebuah belati ada dalam genggamannya. Entah sejak kapan dia menyimpan benda itu dalam sakunya.
"Ti…"
Nafas Salwa tertahan. Anak laki-laki itu menyerang dan menusukkan belati yang dibawanya ke arah pinggang Fahim.
Kaki Fahim masih kuat berpijak menopang berat badannya. Fahim mencabut belati yang menancap di pinggangnya dan memukul anak laki-laki itu hingga terpelanting cukup jauh.
"Berhenti, jangan bergerak!!!" Sebuah peringatan terdengar dari kejauhan.
Polisi datang. Mereka mengacungkan pistol ke arah Fahim sebagai peringatan. Tidak sudih digertak, Fahim tetap mengayunkan belatinya. Kali ini ke arah Dian. Sepertinya menjatuhkan satu tumbal lebih memuaskan dibanding menyelamatnya nyawanya sediri.
–Dor, sebuah timah panas melesat dan merobek kulit sasarannya. –Dor, sekali lagi.