"Julia, sembuhkan luka Aran dan Iriel," pinta Mithyst kepada gadis di sampingnya.
Secara bergantian, gadis itu menyembuhkan dua orang terluka yang duduk di atas sisa reruntuhan. Dari tangan Julia muncul cahaya misterius. Ketika cahaya itu didekatkan ke kulit maka terasa hangat dan melegakan. Dalam waktu singkat, luka Iriel dan Aran hilang tak berbekas.
Julia juga merupakan salah satu pengguna kekuatan supernatural. Kekuatan gadis itu berasal dari peri. Ibunya merupakan peri terakhir di Rurall. Namun, tidak lama setelah melahirkan Julia dan Julius, ia menghilang. Entah karena meninggal atau justru meninggalkan Rurall. Orang-orang tak ada yang tahu termasuk Julia.
"Jadi, kesepakatan apa yang kau maksud?" Tanya Iriel setelah pulih.
"Sebagai ganti kebebasan Albert, aku ingin kau memberitahu semua tentang lembah terlarang."
Albert terperanjat mendengar ucapan Mithyst. Lembah itu rupanya lebih terkenal dari yang ia ketahui. Albert sendiri sebenarnya baru memiliki ketertarikan terhadap lembah terlarang sejak bertemu dengan Fuguel. Pengetahuannya terhadap tempat itu sebatas nama. Sepertinya ketamakan manusia jauh lebih besar dari apa yang anak itu bayangkan. Apakah Mithyst termasuk di dalamnya?
"Hmmm …," Iriel tampak tidak puas. "Maaf tapi sepertinya kesepakatan itu tidak akan terjadi."
"Apa Albert tidak lebih penting dari informasi itu?"
Wanita berambut hitam itu kemudian tersenyum simpul, bukan arogansi melainkan rasa percaya diri. "Tidak …," ucap Iriel membuat orang-orang ternganga, mereka tampak terkejut dengan jawabannya. Kemudian wanita itu melanjutkan kalimatnya. "Kalian terlalu meremehkan muridku, tidak mungkin kau bisa mengurung dia selamanya."
"Sepertinya kau tidak memahami posisimu." Mithyst menghunuskan pedangnya, membuat ujung benda tajam itu mengarah ke tenggorokoan Albert. Mendengar ucapan Iriel membuat harga diri Mithyst sedikit terluka, dari cara bicara wanita itu seperti ada kesan meremehkan. Dan Mithyst sama sekali tidak bisa mengabaikan hal itu.
"Lily of the valley …," bersamaan dengan ucapannya, Iriel mamasang pembatas di antara ketiga penduduk Rurall itu. Bila difokuskan, akan terlihat sebuah pembatas yang melingkar menyelubungi mereka.
"Kau pikir apa yang kau lakukan!" Aran naik pitam.
"Kalian jangan coba bergerak, pembatas itu mengandung sengatan, kecuali jika kalian ingin menyakiti diri kalian."
Baik Mithyst, Aran, dan Julia tampak bergeming. Meski begitu, tatapan tajam mereka tidak henti-hentinya dilemparkan ke arah pemilik sihir itu. Melalui kejadian tersebut, Mithyst sedikit menyesali perintahnya untuk menyembuhkan Iriel.
"Jadi apa yang kau inginkan?" Tanya Mithyst.
"Seperti yang aku sebutkan, Lily of the valley."
Mithyst mengerutkan alis. Ia menunjukkan wajah masam. Dari reaksi itu, bisa disimpulkan bahwa bunga yang diinginkan oleh Iriel bukan bunga biasa. Meski begitu, Mithyst menyanggupi permintaan tersebut.
"Baiklah," ucapnya dengan suara parau. Satu kata itu terasa berat keluar dari mulutnya.
Setelah selesai membuat kesepakatan, kedua orang tersebut memutuskan untuk berdamai. Selanjutnya mereka akan kembali bertemu sehabis Eleusinia esok hari. Mereka lalu meninggalkan tempat yang kacau balau itu. Tempat itu sebelumnya adalah pos keamanan yang sudah tidak digunakan lagi. Dalam semalam, bangunan tersebut hancur lebur. Untungnya mereka jauh dari pemukiman sehingga mereka tidak menarik perhatian sama sekali. Sangat berbeda dengan mereka yang masih bertarung di tengah-tengah kota.
"Aku tidak percaya, kau sangat kasar!" Wanita berambut merah itu tampak sangat berantakan. Ia menggerutu sebab pria di hadapannya tidak tanggung-tanggung mendaratkan pukulan di wajahnya.
Roxanne menghentak-hentakkan kaki ke tanah membuat benda di atas pusarnya turut berguncang. Ia sangat kesal karena pria tanpa eskpresi itu sangat keras, baik dalam arti yang sesungguhnya maupun kiasan.
Beberapa saat setelahnya, terlihat orang-orang yang menyeruduk masuk di dalam kerumunan. "Roxy, ayo kembali!" Gadis kecil itu memanggil si wanita berpenampilan awut-awutan.
Saat Roxanne mengalihkan pandangannya ke sumber suara, ia melihat wajah Julia dan lainnya begitu kelelahan. Aran yang biasanya tampil elegan dan Mithyst yang selalu berwibawa kali ini benar-benar kepayahan. Mereka tidak cukup kuat untuk memasang mode karismatik.
"Apa yang terjadi pada kalian?"
"Ceritanya panjang," jawab Julia ketus, gadis itu kemudian menghela napas panjang. "Semuanya sudah selesai," imbuhnya.
Masih dalam kebingungan, wanita berambut merah itu pergi meninggalkan area tersebut tanpa rasa bersalah. Selain membuat keributan, ia dan Fuguel juga mengacaukan kota. Padahal besok adalah hari penting.
"Kalian ingin ke mana? Di mana …,"
"FUGA!" Teriakan anak itu begitu kencang membuat perhatian tertuju padanya. Albert berlari melewati kerumunan dan menghampiri Fuguel. Melihat keadaan anak itu baik-baik saja, memberikan rasa lega pada pria berkuncir itu.
Dengan perginya Mithyst dan yang lainnya, kerumunan tersebut akhirnya bubar menyisakan dua pengembara itu dan satu lagi. Sosok itu berjalan perlahan, angin malam bertiup dan membuat rambut hitamnya terkibas hingga kilaunya terpancar.
"Selamat malam, Tuan Fuga," ucap wanita itu seraya tersenyum hangat. Kerutan di sekitar matanya menandakan senyum tulus.
"Perkenalkan dia adalah Iriel, masterku." Fuguel hanya terdiam kaku. Melihat reaksi pria itu, Albert sedikit khawatir.
Pria itu kemudian menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga kulit wajahnya mengetat. "Sa-salam kenal!" ucapnya kaku.
"Pftt …."
Melihat kegugupan pria itu, si murid dan masternya terkekeh. Gelak tawa mereka kemudian menghiasi malam Kota Folois.
"Sekarang aku mulai berpikir, sepertinya kau memang lemah terhadap wanita," ujar Albert seraya menghapus air matanya yang keluar karena tertawa.
Setelah perkenalan singkat itu, Fuguel meninggalkan kedua murid dan masternya berdua. Pria itu cukup peka untuk memberikan waktu kepada mereka bernostalgia. Dua orang itu kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan di larut malam.
"… dia benar-benar sesuatu," anak itu dengan riangnya menceritakan perjalanannya bersama Fuguel. Kesenangan yang Albert pancarkan membuat atmosfer dirinya dan Iriel terasa begitu hangat. Dengan jujur, dengan terbuka, dan dengan menjadi dirinya sendiri, Albert tulus merasa senang terlepas dari hal berat yang dia alami.
"Syukurlah …," ucap wanita itu dengan senyum hangat khas miliknya kemudian menepuk kepala Albert pelan. "Aku turut bahagia untukmu." Wajah Albert memerah mendengar ucapan Iriel.
"Jangan memperlakukanku seperti anak-anak," ucap anak itu tersipu. Ia terlalu malu untuk menatap masternya.
"Tapi kau memang anak-anak," balas Iriel kemudian tertawa kecil.
Setelah beberapa waktu Albert digoda masternya, raut wajah anak itu tiba-tiba berubah. Sesuatu yang penting terlintas di benaknya. Hal tersebut berkaitan dengan insiden yang sebelumnya terjadi.
"Katakan Iriel …," anak itu berjalan mendahului masternya. Ia kemudian berbalik dan menatap serius. "Bagaimana bisa sihirmu mempan terhadap pengguna supernatural?"
Mendengar pertanyaan itu, senyum Iriel masih terpatri dengan jelas di wajahnya. Wanita itu menatap bulan cukup lama dan membiarkan mereka berdua dalam keheningan. Angin malam yang menyeruak masuk ke dalam jubahnya sama sekali tidak mengusik Iriel. Ia kemudian memejamkan mata, membiarkan malam merasukinya.
"Albert, banyak hal yang harus aku sampaikan padamu," Iriel memecah keheningan. "Tapi semua ada waktunya." Saat mengucapkan hal itu, Iriel menatap mata muridnya dalam. Namun, tatapan itu terlihat sendu. Banyak sekali makna tersirat dari satu kalimat yang wanita itu ucapkan.
"Mengenai sihir yang mempan terhadap pengguna kekuatan supernatural, aku akan membicarakan semuanya besok."
Keduanya kemudian memutuskan berpisah. Albert kembali ke rumah pohon, tempat Fuguel berada. Sedangkan Iriel pergi ke penginapan di tengah kota. Besok akhirnya Eleunsinia dilaksanakan.
~