Ketika keadaan memaksa manusia untuk bertindak tanpa menggunakan akal, hal yang mengerikan terjadi akibat keserakahan. Para penguasa menghilang, dan penegak hukum tak sanggup lagi menghalau kekacauan. Katanya Jakarta adalah tempat teraman, zona hijau yang dijadikan tujuan itu sebuah neraka atau surga? Nyatanya bukan keduanya, karena semua hal di atas hanya penuh dengan tanda tanya. Di antara tanda tanya yang begitu banyaknya, ada manusia yang masih berupaya, mempertahankan nyawa atau hak mereka. Masalahnya yang masih selamat apakah akan tetap menjadi manusia seutuhnya atau berubah menjadi mayat tanpa akal yang berkeliaran mengejar-ngejar? Kolaborasi bersama @Muktihidayat_
Kepulan asap membumbung tinggi membuat langit sedikit berwarna keabu-abuan. Seraya memastikan di luar aman terkendali, aku mencoba melongok keluar dari ruangan sempit nan berdebu di sebuah gedung kosong. Tidak ada siapapun kecuali tubuh-tubuh yang bergelimpangan di jalanan seperti sampah. Mobil-mobil beserta fasilitas umum rusak akibat aksi demonstrasi dan penjarahan besar-besaran yang sudah terjadi beberapa tahun lalu. Tapi, tidak yakin juga, entahlah mungkin aku sudah terlalu lupa akan lautan manusia.
Mendongak sejenak sambil memandangi kepulan asap itu. Mungkin kebakaran. Lalu, dengan langkah mengendap-endap kuhampiri salah satu mayat yang tergeletak di bawah tiang listrik di sisi kanan. Reaksi yang timbul selalu sama setiap bertemu tubuh tak bernyawa, hampir saja memuntahkan cairan asam lambung saat melihat kondisi mayat lelaki yang mengenakan baju satpam dengan label nama Sunaryadi. Wajahnya hancur dengan luka gigitan yang menganga dirubung lalat di tangan kiri dan kedua kaki. Entah apa yang terjadi pada lelaki malang itu, hingga tangan kanannya tak lagi utuh.
Pemandangan seperti ini sudah menjadi pemandangan yang selalu ada semenjak demonstrasi dan pandemi. Bahkan mayat yang sudah menjadi kerangka manusia dibiarkan teronggok seperti bangkai. Tapi, tetap saja, bagiku pemandangan seperti ini masih menjadi mimpi buruk yang tidak bisa dihindari walau berusaha bangun sekalipun. Iris mata coklatku menangkap pisau dan pistol di pinggangnya.
Sambil merapal doa dalam hati untuk tak bermaksud mencuri, perlahan kuambil kedua senjata dengan gemetaran, lalu menaruhnya di kedua saku belakang celana jeans. Lantas beranjak meninggalkan tubuh si satpam dan mencari tempat persembunyian lain. Sayangnya, suara perut yang tiba-tiba meronta-ronta minta diisi, membuatku berpikir dua kali.
Aku harus menemukan tempat persembunyian yang memiliki persediaan makanan.
Dengan bertelanjang kaki, aku berjalan dengan was-was dan sesekali bersembunyi di balik tembok atau pun di balik mobil. Bukan karena takut akan diciduk aparat negara di tengah wabah aneh yang melanda negeri, melainkan manusia yang telah menemui ajalnya kembali hidup menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih menakutkan daripada predator yang memangsa manusia. Lebih rakus dari para petinggi negeri yang berebut kursi dan harta.
Kadang aku pun juga heran dengan alam, perempuan yang selalu dianggap lemah oleh lelaki berhasil bertahan sejauh ini. Berjalan tanpa arah menyusuri jalanan yang dianggap aman dari 'mereka', berlindung di malam hari di tempat tinggi dan bergerak secepat mungkin di siang hari tanpa sebuah senjata. Terik matahari membakar setiap lapis kulit terutama telapak kaki yang bersentuhan dengan aspal. Bodohnya, di saat mendapati toko kosong bukannya mencari alas kaki, justru lebih mengutamakan mencari makanan untuk tetap mempertahankan nyawa.
Menengadahkan kepala seraya membaca papan jalan yang bertuliskan jalan Boulevard Raya--deretan rumah mewah dan ruko--yang terbengkalai seperti menjadi saksi bisu musibah yang melanda tempat ini. Kedua mataku membelalak ketika melihat salah satu dari makhluk aneh itu berjalan sendirian di tengah jalan dengan tatapan kosong. Dengan gerakan cepat, aku merunduk melindungi diri di balik sebuah bus bercat hijau tua yang telah berkarat. Degup jantungku berpacu tak karuan, bulir keringat bermunculan sebesar biji jagung, napas pendek-pendek takut jika makhluk tak berotak itu mendengar suara sekecil apapun. Sial! Kedua tangan ikut gemetaran jika membayangkan apakah hidupku akan berakhir di tempat ini.
Dalam hati, harusnya aku bersembunyi saja di ruangan sempit tadi. Namun, bersembunyi tanpa mengetahui keadaan luar pun sama saja dengan bunuh diri perlahan-lahan. Sambil menelan ludah, aku merangkak di bawah bus dengan gerakan cepat, tetapi tidak menimbulkan gaduh. Bisa kulihat dari sini, kedua kaki yang terbalut celana pipa berwarna coklat yang usang dan robek, makhluk itu berjalan sempoyongan sambil sesekali berhenti entah mencari apa.
Dia berhenti sekitar sepuluh meter dari posisiku. Jarak paling dekat untuk mereka menyerang dan merenggut nyawa dengan mudah. Alhasil, degup jantung semakin tak karuan bahkan beberapa detik aku menahan napas. Kuremas kaus di dada, bermaksud agar degup ini tak semakin bertalu-talu seperti nyanyian yang mengundang mereka.
Langkah kaki terseret itu mendekat ke arah bus membuatku ingin berteriak meminta tolong. Namun, tidak ada waktu lagi jika terus-menerus menghindari mereka, terpaksa kuambil pisau milik satpam tadi. Aku harus bertahan hidup meskipun tidak tahu cara membunuh predator gila itu. Jika vampir dibunuh di bagian jantung, lantas di bagian mana aku harus menancapkan pisau ini ke tubuh mereka?
Ketika dia mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu dengan suara yang menggeram, seluruh sel saraf ku dipaksa untuk segera menghindari bus dan kuputuskan untuk merayap keluar dari sana. Di depan bus tua ini, ada sebuah angkot berkarat bercat biru tua yang jaraknya tak jauh.
Sayang, kesialan tiba-tiba datang ketika tak sengaja pundak kananku menyenggol badan bus. Aku berlari mencari tempat persembunyian setelah tertangkap basah oleh mayat hidup itu. Dia berlari hampir mengimbangi diriku dengan suara geraman yang sangat menakutkan dan mata yang berwarna putih keruh.
"Ah, sial!" seruku dengan tenaga yang mulai habis.
Tubuhku terjatuh menghantam aspal saat tak sengaja tersandung sebuah sandal jepit hitam. Darah merembes dari dahi dan kedua lutut. Nyeri dan pedih. Saat akan berdiri, mayat hidup akan menerjang tubuhku dengan mulutnya yang berlendir siap mencabik daging. Refleks kutendang perutnya dengan cukup keras, hingga mundur beberapa langkah
Seperti tak menyerah, kedua tangannya yang menghitam kembali ingin meraih tubuhku, tapi untung saja posisiku sudah mantap untuk melawan. Tangan kananku menusuk dahinya yang begitu lembek, membuat darah kehitaman nan busuk mengucur deras. Dia ambruk begitu saja di tengah jalan, sedangkan kesempatan itu kubuat untuk berlari sekencang mungkin mencari tempat perlindungan tanpa menoleh sedikit pun.
Aku tak tahu apakah cara tadi sudah bisa membunuhnya atau tidak karena selama ini yang kulakukan hanya bersembunyi dan bersembunyi seperti pengecut. Bahkan, sekarang aku pun tak merasakan lagi saraf di telapak kaki yang bersentuhan dengan aspal di bawah terik matahari. Semuanya mati rasa kecuali insting bertahan hidup.
Tuhan, aku tidak mau mati dengan kondisi seperti itu.
#####
1 April 20xx
Kulihat layar ponsel dengan tak minat sambil membaringkan diri di atas sofa tamu, hampir setiap hari para pengejar berita menampilkan peristiwa yang sedang ramai diperbincangkan. Selain isu politik, aksi demo, berita penangkapan gembong narkoba, hingga kematian mendadak beberapa hewan akibat sebuah penyakit aneh. Terakhir berita lama yang tak kunjung tuntas adalah pencemaran sungai terbesar di area Jawa barat dan Jakarta. Namun, kali ini akibat kebocoran salah satu tangki pabrik kimia.
"Baca apaan sih, kok serius banget," sahut Restu yang tiba-tiba muncul dan duduk di depanku sambil memangku laptopnya.
"Baca berita, semakin hari semakin bikin pusing," keluhku. "Negara kalau enggak rakyatnya yang bertingkah, ya pejabatnya. Lihat aja nih.... "
Kutunjukkan gambar sungai Citarum yang begitu miris kepada teman sekamarku selama ngekos di Bekasi. Gadis berambut pendek ala kartun anak-anak itu hanya mengangguk lalu mengedikkan bahunya.
"Enggak berani komen, takut ditangkap," katanya sambil terkekeh. "Enggak usah mikirin itu dulu, San. Pikirin ujian masuk kuliah tuh."
"Ck, iya-iya."
Kubaca sekali lagi artikel tentang dampak kebocoran pabrik kimia terhadap sungai bersejarah itu. Sungai Citarum berulang kali tercemar dan selalu diakibatkan oleh manusia sendiri. Pembuangan sampah, limbah, hingga pelebaran lahan untuk pabrik semakin gencar. Ini bukan terjadi sekali atau dua kali, tapi sepertinya para pemilik usaha besar seolah tak pernah jera dengan hukum. Atau bisa jadi semua karena pelicin yang membuat tuntutan masyarakat sekitar tak pernah selesai.
Restu menyalakan TV di sisi kanan kami, detik berikutnya layar 14 inci menampilkan berita lokal dengan tema yang sama dengan yang kubaca di internet. Bedanya, berita itu menayangkan korban-korban yang mulai berjatuhan akibat efek samping dari kebocoran pabrik kimia di Sungai Citarum.
"Jumlah korban akibat kebocoran pabrik kimia Mahakam Sanjana di sungai Citarum kian bertambah. Hari ini sudah ada dua puluh korban yang keracunan di rumah sakit Mekarsari, lima orang meninggal dunia, dan tiga belas lainnya sedang dalam perawatan ...."
"Ck, kalau kayak gini terus sumber daya air kita dari mana?" komen Restu geleng-geleng kepala.
"Ya, kan bisa beli air galon," jawabku sekenanya.
"Sinting. Kebutuhan kita hampir seluruhnya bergantung sama air, kalau yang digunakan cuma air galon terus tiba-tiba harga melonjak tinggi, rakyat yang susah, San. Satu galon enggak bakal cukup."
"Ya enggak usah mandi, cukup minum air galon aja," kataku sambil terkekeh.
Si pembawa berita juga menayangkan tentang adanya penyakit yang menyerang hewan ternak dan kini menularkan pada manusia di daerah Karawang. Bermula pada seorang peternak sapi yang mendadak mengalami demam tinggi setelah memandikan salah satu sapinya, hingga mengalami komplikasi pada otak, kemudian merebak ke warga di sekitar peternak sampai munculnya larangan memakan daging ternak. Penyakit yang awalnya ditimbulkan oleh bakteri sejenis Brucella ternyata juga terkandung virus yang belum diketahui jenisnya. Hal itu membuat siapa saja jatuh pingsan tanpa ada gejala, meski tanda awal selalu disertai demam tinggi yang berlangsung selama beberapa hari. Jalanan di sana mulai penuh dengan manusia yang bergelimpangan tak berdaya.
"Kami kewalahan. Semua area rumah sakit penuh.... "
Aku masih ingat, peredaran daging ternak ilegal ternyata masih ada meski dari Departemen Kesehatan sudah menurunkan surat perintah untuk menarik peredaran daging dan memberi sanksi kepada penjualnya. Namun, ada saja alasan pedagang yang selalu mementingkan diri sendiri itu. Alhasil, banyak masyarakat yang akhirnya menjadi korban.
Dan seperti yang kau duga, aksi demonstrasi akibat penarikan semua daging di pasaran hingga terjadinya PHK di beberapa pabrik jagal pun terjadi hingga tubuh-tubuh yang berserakan di jalanan itu hidup kembali.
#####
Merintih kesakitan akibat luka di dahi dan lutut yang masih terasa nyeri meski darah sudah mengering. Aku mengintip di balik jendela kaca mobil sedan entah milik siapa. Lelah berlari dengan arah tak menentu membuat lambungku semakin meronta-ronta. Sejak dua hari kemarin tidak ada satupun makanan yang tersisa kecuali air minum sebagai pengganjal sementara. Kini cairan asam di perut merangkak naik ke kerongkongan, kuambil botol minuman dari dalam tas, hanya tersisa seperempat botol yang sungguh tidak cukup untuk perjalanan selanjutnya.
Kuteguk sisa air mineral yang hanya bisa membasahi tenggorokan kering. Jika seperti ini, aku yakin besok atau lusa, kematian akibat kelaparan akan menjemput dengan sukarela. Mengedarkan pandangan melihat bangunan di sekitar, ruko-ruko yang tertutup rapat ini menandakan kalau aku masih di daerah Boulevard Raya.
Ah, sial. Kenapa perumahan elit ini sangat luas?
Manik mataku menyipit melihat sebuah benda berwarna hitam dengan sebuah kepulan asap di tengah jalan. Jarakku dengan benda itu sekitar dua puluh meter mungkin bisa kurang. Ada sesuatu yang lain di sisinya. Sesuatu yang terbakar tapi tidak tahu apa. Bisa jadi kayu, ban mobil atau hewan.
Perutku berbunyi lagi dan semakin pedih hingga kugigit bibir bawah tuk menahan rasa lapar ini. Kulihat sekeliling, memastikan bahwa makhluk itu tidak ada. Setidaknya saat ini, tidak tahu beberapa menit ke depan.
Membuka pintu mobil dengan sangat pelan untuk tidak menimbulkan suara keras. Matahari sedang sangat terik dibandingkan dengan tadi, sensasi menyengat terasa di telapak kaki seolah menghidupkan kembali sel saraf yang mati kala menyentuh aspal jalanan.
Aku berlari kecil menuju benda itu. Ternyata sebuah ransel hitam berisi kaleng susu cair, roti isi, dan sebuah korek api. Kedua mataku membulat dengan seulas senyuman lebar, tetapi seketika memudar melihat benda sekaligus mayat yang gosong membuatku muntah seketika.
Ah sial! Siapa yang membakar mereka?
Tiba-tiba terdengar sebuah suara mobil yang begitu nyaring. Bergegas kuambil tas dan makanan sebagai rejeki di siang bolong, lalu berlari dan bersembunyi di balik sebuah tembok pertokoan di sisi kanan jalan.
Suara itu semakin nyaring membuat telingaku sakit. Jika aku punya cukup tenaga, ingin rasanya kulempar mobil itu dengan batu besar. Namun, kali ini aku hanya diam menunduk melindungi diri ketika sebuah mobil MPV merah menyala melintasi jalanan dan menabrak dan melindas jasad gosong itu.
Siapa mereka?