Hujan belum reda, bahkan petir menyatakan kehadirannya. Para mayat mungkin sedang kebingungan sekarang, mendengar guntur yang saat ini sedang menggelegar.
Persetan dengan itu semua. Kini, tujuanku cuma satu, pergi dari sini, dari mobil yang kutumpangi. Kedua orang itu berbincang sesaat, lalu pergi ke arah rumah dengan dua lantai lantai di depan sana.
Ini kesempatanku, kupanjat bak mobil ini, lalu turun perlahan dengan menapak pada setiap besinya. Dengan sangat hati-hati aku melompat ketika kakiku hampir mencapai aspal.
Suara sepatuku tak mungkin terdengar oleh para mayat. Namun, aku terdiam sesaat, ini jauh lebih menakutkan.
"Ada penumpang gelap rupanya," ujar salah satu orang dari empat pria dan satu wanita yang mengepungku.
Aku masih dalam keadaan jongkok. Menatap ke atas pada setiap wajah yang memandangku dengan kerutan di dahi mereka. Matilah aku, apa hidupku akan berakhir di sini?
Aku mencoba menerobos, berniat pergi dari kepungan mereka. Namun, tentu saja takkan semudah itu, tubuhku langsung didekap kuat oleh pria berbadan kekar dengan codet di pipi kanannya.
"Lepaskan!" teriakku. Namun, mereka tak merespons.
Suara perempuan terdengar bertanya, "Namamu siapa?"
Bodoh, aku takkan menjawab hal itu. Aku takkan percaya manusia, kini zaman telah berubah. Yang lengah dan yang lemah akan mati. Mereka yang mudah percaya akan hilang ditelan kebodohannya.
Setidaknya aku tidak mati, setelah ucapan yang kuabaikan, aku menjadi hilang kesadaran. Kutatap langit-langit yang putih bersih, tak ada bau darah.
Aku jelas sekali sedang berada di dalam.ruangan. kumenoleh ke kanan, sebuah tirai yang sedikit terbuka ada di sana, jendela kaca dengan pemandangan malam tanpa cahaya, setidaknya ada sedikit dari bintang-bintang.
"Kau sudah bangun ternyata, maaf harus membuatmu tak sadarkan diri."
Suara perempuan yang tadi. Aku menoleh ke kiri, dia duduk di sampingku, seorang perempuan, rambutnya sepanjang pundak dan sudah memutih beberapa helainya. Dia tersenyum, di tangannya ada gelas putih dengan gambar daun kecil berwarna hijau. Diletakkannya gelas itu di meja bundar.
"Kau tadi belum menjawab, siapa namamu?"
Aku memilih diam, daripada harus menjawab perempuan mencurigakan ini, lebih baik segera pergi . Namun, tanganku tak dapat digerakkan, bukan karena tak bisa kugerakkan, tetapi ada borgol yang membelenggu kebebasanku.
"Maaf, jika kami tak memborgolmu, kau akan menyerangku. Itu hanya untuk keselamatan."
Keselamatan katanya? Omong kosong macam apa yang barusan ia ucapkan. Lagipula aku takkan menyakitinya, apalagi perempuan dengan umur yang hampir sama dengan ibuku.
"Kami orang baik. Jangan takut."
Aku masih diam. Sesekali tangan dan kaki yang terborgol aku gerakkan walau tahu itu percuma.
Dia menyerah, bangkit berdiri, lalu pergi menuju pintu keluar dan menutupnya. Sedikit terdengar obrolan dengan laki-laki, beberapa saat ada yang masuk.
Seorang pria, botak kepalanya, ada bekas luka di sana. Celananya sobek di dengkul kanan. Satu bilah pisau tersarung rapi di pinggangnya.
Aku menatapnya lekat saat ia mulai duduk. Dia tersenyum, senyum yang membuatku muak.
Dia memamerkan kunci, lalu memegang borgol di tangan kiriku, membukanya sambil berkata, "Di luaran sana bahaya, di sini kau aman. Bersama kami, bergabung dengan kami."
Setelah membuka borgol di tangan kiriku. Ia menaruh kunci itu, lalu berdiri, "Buka sendiri, setelah itu terserah apa maumu. Saranku, kau bersihkan badanmu, lalu bergabung dengan kami di meja makan."
Pria botak itu pergi tanpa menutup pintu. Aku segera membuka borgol di tangan kanan dan kedua kaki. Sepatuku ada di bawah, dekat dengan ranjang, segera aku memakainya dan kudekati jendela.
Jalanan begitu lengang, mobil berserakan sudah seperti sampah. Bangkai manusia ikut andil dalam memperjelek pemandangan, apalagi mereka yang masih hidup.
Aku mendekati pintu itu. Karena terbuka, aku mengintipnya, dan hanya ada tangga menuju ke lantai bawah. Terdengar suara mengobrol, sedangkan di pintu depan tentu saja para mayat berusaha untuk masuk dengan menggedor-gedor.
Mereka tak mengobrol dengan keras. Sangat pelan, dan hanya sesekali saja. Tapi aku tak mau terjebak di sini, aku harus keluar bagaimana pun caranya.
Kuturuni anak tangga, mereka yang ada di meja makan -sekitar empat orang- pun menatapku. Di sana beberapa hidangan makanan sudah tersedia. Kudekati pintu yang terganjal beberapa lemari dan barang berat lainnya.
Percuma. Aku tak bisa keluar untuk saat ini, kutatap lagi orang-orang itu. Apa aku harus bergabung dengan mereka?
Tidak mungkin, tidak akan pernah. Aku harus mencari jalan keluar lain, mungkin dengan memasuki seluruh ruangan yang ada di rumah ini.
Beberapa saat berlalu, aku sudah menyerah. Tak ada jalan keluar yang aman, jadi aku memilih membersihkan diriku di kamar mandi. Berganti celana jeans yang masih baru, baju lengan pendek yang kainnya sangat halus, dan tentu saja sepatu dengan merek terkenal. Mereka menyiapkannya untukku.
Aku juga bergabung dengan mereka di meja makan. Bukan karena aku tak konsisten dengan sikapku, tapi rasa lapar ini membuatku terpaksa ikut dalam jamuan itu.
Daging, nasi, dan beberapa sayur sudah aku ambil. Kutahan rasa malu karena akhirnya mau melahap makanan mereka, mungkin aku sekarang terlihat sangat kelaparan, terbukti saat piringku lebih cepat kosong dibanding milik mereka.
"Kalau kau mau, aku bisa mencukur rambutmu." Yang terlihat paling muda berbicara, ia laki-laki yang mungkin seumuran denganku. Rambutnya memang rapi, apa dia mencukurnya sendiri?
"Andre mencukur rambutnya sendiri, lo." Si pria botak menyahut.
"Andre dulu punya salon yang ramai, selain itu dia terkenal di media sosial dengan konten mencukur rambutnya." Pria dengan wajah lonjong di samping kananku menjelaskan. Rambutnya juga rapi, jelas si Andre yang mencukurnya.
Dulu aku pernah sekali melihat wajah Andre ini, di sebuah channel youtube tanpa sengaja. Lebih baik aku diam untuk saat ini, jangan terlalu mudah percaya dengan mereka atau nasibku akan buruk.
Setelah beberapa pujian, Andre tertawa lepas. Dia malah tersedak, lalu segera minum air dalam gelas yang sebelumnya dituang dari botol. Yang lain menertawakannya, sementara aku menahan tawaku.
"Namamu siapa?" Kembali, si perempuan dengan uban yang masih sedikit itu bertanya.
Aku menatap matanya, ia berada tepat di seberang meja berhadap-hadapan denganku. "Jarak."
"Itu namamu? Aneh, ya. Tapi keren, unik," ujar Andre.
"Jarak, ikutlah dengan kami. Karena dengan keadaan yang seperti ini tidak baik berada di luaran sana sendirian."
Aku sebenarnya tidak tertarik, tapi mau bagaimana lagi? Aku terjebak di sini dengan mereka. Jadi, kuanggukkan kepala, bukan berarti mau, ini hanya agar aku selamat saja.
Bukan berarti aku memanfaatkan mereka, tapi ini adalah salah satu upaya menyelamatkan nyawa. Setelah beberapa saat aku tahu nama mereka semua, perempuan itu bernama Helena. Pria botak itu bernama Bobianto, sementara pria dengan wajah lonjong itu dipanggil Wawan.
Aku kenyang, sudah lama tak merasakan daging seperti ini. Tempatku tidur tepat di kamar saat aku diborgol tadi, sementara yang lainnya juga memiliki tempat tersendiri.
Mereka menyuruhku untuk tidur, katanya kantung mataku sangat terlihat menghitam. Benar sekali, aku sudah lama tidak tidur, bisa pun hanya sebentar, pikiranku selalu campur-campur, apalagi tasku yang ketinggalan saat aku membakar dua orang itu. Di dalamnya ada foto adikku, itu sangat berharga.
Ketukan pintu membuatku terbangun, padahal belum sempat aku tidur. Seseorang masuk, itu si perempuan bernama Helena.
"Kau ikut kami, kan?"
Aku terpaksa mengangguk, tak ada pilihan.
Mereka semua sudah bersiap. Mengemasi barang yang bisa dibawa menggunakan tas di punggungnya, beberapa senjata tajam pun mereka bawa, jelas sekali mereka sudah terbiasa.
"Ke mana kita akan pergi?" akhirnya aku bersuara juga.
"Mencari teman, dua orang, katanya mereka pergi untuk mencari makanan. Tetapi setelah beberapa jam tidak juga pulang, apa kau pernah melihatnya?" Helena memperlihatkan foto, ada enam orang.
Kutelan ludahku tanpa sengaja. Dua orang dewasa, jelas sekali dua orang itu sudah mati.
Mati terbakar dan yang membakar adalah aku.
To be continued