webnovel

unSpoken

Hanny_One · Adolescente
Classificações insuficientes
42 Chs

BAB 29 : Berusaha Setegar Karang

Liana berjalan masuk kedalam sebuah restoran didekat kantor. Langkahnya berat, hatinya gelisah, wajahnya berusaha menyembunyikan segalanya. Ia mengatur nafasnya yang terasa sesak, beberapa kali menghembuskan nafas kasar. Matanya menyusuri seluruh ruangan berusaha mencari sosok yang membuat janji dengan nya.

Di pojokan dekat jendela,Seseorang meangkat tangan nya, senyumnya tenang. Liana terpaku memandang wajah yang selama ini dia rindukan. Wajahnya itu masih sama seperti dalam ingatan liana. Walaupun sekarang dihiasi dengan kerutan. Tapi kecantikannya masih tergambar pada senyumnya.

Liana menyadari perasaan rindu nya yang memuncak, matanya berkaca-kaca. Sungguh ingin berlari menghampiri dan jatuh dalam pelukan nya. tapi liana menahan diri, lagi-lagi berusaha mengatur ekspresinya dingin.

Wanita paruh baya itu berdiri, membuka kedua tangan nya lebar. bersiap memeluk liana, wajahnya tersenyum rindu. Tapi liana melewatinya, langsung mendudukan diri pada kursi. Ekspresinya sunguh dingin. Bu Nara merasa kecewa, tapi dia memaklumi sifat liana.

"apa kabar mu,sayang?" bu nara membuka pembicaraan

"sehat" isyarat tangan. Liana menjawab singkat.

"kau bekerja diperusahaan yang besar ya? Hebat!" ibu nara melirik tanda pengenal dileher liana

"kehidupan ibu pasti sangat bekecukupan dan bahagia ya sekarang?" isyarat tangan. Liana membalasan dengan sinis sambil melirik pakaian yang dikenakan ibu nara.

"ya, paman jack memperlakukan ku dengan baik" ibu nara menjawab sambil menunduk

"apakah lebih baik dari ayah?" isyarat tangan. Liana bertanya dengan sorot mata tajam.

Ibu nara tersentak dengan pertanyaan liana. Dia menangapinya dengan tersenyum getir.

"liana, kau tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik. Liana tumbuh dengan baik kan selama ini?"

"bagaimana bisa disebut baik? aku di telantarkan oleh mu, dan tumbuh dipanti" isyarat tangan.

Lagi-lagi kata-kata liana begitu pedas,

"tapi aku bersyukur dengan hidup ku ini. tuhan masih berbaik hati pada ku." isyarat tangan. Liana melanjutkan kata-katanya

"syukurlah." ibu nara merasa kan penyesalan. "liana, mama akan tingal disini sampai minggu depan,bolehkah mama menginap dirumah mu?" ibu nara berusaha meakrabkan diri.

"apakah ibu nara tidak salah berucap? Aku rasa rumah ku tidak cukup layak untuk ibu nara yang terhormt ini" isyarat tangan.

"apakah liana harus bersikap seperti ini pada mama? Bukan kah mama bukan orang asing, mama akan senang bermalam dirumah liana. Mama sungguh rindu dengan liana"

"setelah selama ini menghilang, bukan kah ini permintaan yang teramat sulit. Ibu tiba-tiba datang, padahal aku sudah berhenti berharap. Seandainya ibu benar-benar merindukan ku bukan kah seharus nya lebih cepat datang,membawa ku pergi dan tinggal bersama mu."

"liana, bisakah liana memaafkan mama? Mama sunguh ingin memperbaiki hubungan kita?"

"aku sudah memaafkan ibu nara, dan juga merelakan segalanya. Tapi maaf aku tidak bisa lebih dari ini. semua ini begitu menyakitkan, biarkan aku sendiri menjalani hidup ku, dan ibu silahkan pergi seperti dulu." Isyarat tangan. Liana berdiri dan berjalan meningalkan meja

"liana," ibu nara mengengam tangan nya "bisakah liana memangil mama. Jangan seperti orang asing begini." Ibu nara meneteskan air mata, hatinya sunguh sakit mendapat penolakan dari putrinya

Liana melepaskan tangan ibu nara, ingin melanjutkan langkahnya pergi. Tapi ibu nara menghalangi jalan nya.

"liana kan belum makan, ayo duduk dulu kita pesan makan ya?" ibu nara berusaha membujuk liana

Liana Nampak engan,

"jangan seperti ini, kita kan baru ketemu setelah sekian lama. Mama mohon habis kan waktu istirahat siang ini bersama mama, ya? Ya?" ibu nara mengengam kedua tangan liana, dia memohon kepada liana.

Pengunjung yang berada disana melihat dan memperhatikan mereka berdua. Liana sadar akan hal ini. dia pun tidak ingin terlihat sebagai anak yang kejam. Liana kembali duduk. Menahan hati nya.

Mereka makan dengan kesunyian, suasana yang teramat tenang seperti akan terjadi ledakan besar seandainya salah satu diantara mereka memulai pembicaraan. Ibu nara terus memandang putri yang makan dengan cepat,sepertinya liana ingin segera berlalu. Ibu nara tersenyum, mengambil tisu dan mendekat pada liana. Liana terkejut. Ternyata ibu nara membersihkan sisa makanan pada ujung bibir liana.

"aku selesai. Aku pergi sekarang!" liana berdiri

Ibu nara mengiyakan,tidak lagi menahan liana.

"terima kasih atas makan siangnya" isyarat tangan. Liana berkata sopan dan formal,lalu melangkah pergi

Ibu nara Nampak tidak rela, "liana" pangil nya

Liana membalikkan badan,tiba-tiba pelukan erat didapatnya. Ibu nara memeluknya dengan penuh kasih.

"mama sayang liana,maafkan mama atas segala kesalahan mama selama ini. mama sunguh menyesal sayang." Ibu nara setengah berbisik,suaranya parau menahan air mata yang mengalir.

"mama berharap kamu akan berbahagia dan baik-baik saja." Ibu nara melongarkan pelukannya,menatap liana dalam,sambil membelai rambutnya lembut "mama sayang liana"

Liana segera berbalik, melanjutkan langkah nya pergi. Berusaha terlihat acuh. Ia sudah tidak mampu membendung air matanya lagi, Ia tidak ingin terlihat menyedihkan dihadapan mama nya. jika lebih lama mungkin ia akan terisak disana.

Ia kembali kekantor dengan mata sembab. Disepanjang jalan air matanya tidak mau berhenti. Dia tidak perduli tatapan orang dijalan yang melihatnya aneh. Mungkin mereka berpikir bahwa gadis ini habis diputuskan kekasihnya.

. . .

Marcello sedang fokus mengejar targetnya. Dia berencana hari ini harus segera kembali. Dia ingin menemani liana. Tapi sepertinya pekerjaan nya cukup rumit. Dia sadar paling cepat pun besok pagi dia baru bisa menyelesaikan semuanya. Itu pun dengan catatan dia akan begadang bahkan tiak tidur malam ini.

Reza dan pak Handoko ikut menjadi korban dalam hal ini. marcello benar-benar mengebut keduanya untuk membantunya mempercepat jadwal kepulangan. Sebenarnya yang paling banyak dibebani disini adalah reza. Sepertinya marcello masih menyimpan dendam padanya. Dia yang seharusnya hanya bertugas untuk mengawal sekarang harus ikut berurusan dengan berkas-berkas yang menumpuk. Dan juga angka-angka yang memusingkan.

"cinta itu buta" reza setengah berteriak dari sofa tempat dia berkutik dengan laptopnya kearah marcello. "bahkan sahabat sendiri pun tidak terlihat lagi, dijadiin korban kaya begini." Reza menyinggung marcel.

"pak Han, kaya gini ini termasuk penyalah gunaan wewenang nga sih?" reza berteriak pada pak handoko yang berada didepannya "bisa kan saya masukkan kasus ini kekepolisian gitu? Saya mau nuntut si sultan itu" reza sengaja agar kata-katanya didengar marcel

pak handoko hanya tersenyum.

"ini tu kan bukan tugas saya, dan juga nga ada tuh didalam kontrak. Pokok nya nanti kalo pulang saya mau masukin berkas tuntutan. Pak Han mau kan jadi pengacara saya?" reza melanjutkan sambil melirik marcello

Marcello menyandarkan punggungnya, mengalihkan pandangan nya,dia menatap reza.

"apa?" reza menantang

"berani nuntut aku?" marcel menjawab dengan tenang.

"hehe… nga lah. Becanda cel' reza cenggegesan. "kamu itu terlalu tegang makanya bikin pengalihan sedikit"

Bagi reza yang sudah bertahun-tahun bersama marcello tahu bahwa Ekspresi tenang marcello lebih menakutkan dari pada marahnya. Karena ketika dia berekspresi seperti itu dia tahu bahwa dirinya tidak akan rugi apa pun atas masalah yang akan datang. Malahan lawannya lah yang akan rugi besar dan menderita berlipat-lipat.

"ya udah kembali kerja. Nanti aku beri bonus deh" marcello kembali menatap layar komputernya

Reza berteriak dan melompat kegirangan mendengar kata-kata marcello.