webnovel

The Twin Lions

Aslan, seorang petarung jalanan yang besar di pinggiran kota Jakarta. Mendadak dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita muda di sasana tempatnya berlatih. Wanita itu mengaku sebagai sahabat Leon, kembarannya. Dia meminta Aslan untuk menggantikan posisi Leon setelah ia mengalami kecelakaan hebat dan kini terbaring koma. Akankah Aslan menerima tawaran wanita tersebut dan berpura-pura sebagai Leon yang sangat jauh berbeda dengannya? Ikuti kisahnya hanya di The Twin Lions. ***** Terima kasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa tambahkan ke dalam daftar bacaan dan berikan dukungan kalian dengan memberikan vote, review dan komentarnya. Terima kasih.. ^^

pearl_amethys · Realista
Classificações insuficientes
471 Chs

Face In The Mirror 3

"Leha, lu ngapain ngepost video berantemnya Bang Aslan sama Bang Ucok," seru salah satu temen Juleha.

"Banyak yang minta, Pit," sahut Juleha.

"Delete aja, Ha. Gue takut Bang Aslan marah," ujar pipit.

Juleha menatap Pipit agak lama sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya. "Gue juga sebenernya ngga mau nge-post itu. Cuma karena banyak yang minta akhirnya gue post. Lu liat aja tadi, langsung banyak yang like."

"Iya, gue liat," sahut pipit.

"Ngomong-ngomong, Pit. Sekarang Bang Ucok gimana, yak?"

Pipit mengangkat bahunya. "Kalo Bang Aslan gimana? Semalem, kan, lu yang foto dia setelah menang."

"Ya, lu liat aja foto hasil jepretan gue. Mukanya serius gitu. Biasanya dia kalo abis menang ketawa-tawa, semalem boro-boro ketawa, pas gue foto aja dia judes banget," timpal Juleha.

Keduanya kemudian menghela napas bersamaan. Mereka lalu saling tatap. "Mau nengokin Bang Ucok, ngga?" tanya Pipit.

Juleha langsung mengangguk cepat. "Bawain apa enaknya, ya?"

"Emang punya duit?" Pipit kembali bertanya pada Juleha.

Kali ini Juleha menggeleng.

Pipit mendengus. "Ya udah, ngga usah bawa apa-apa."

"Kita mampir aja ke warteg Emak gue, pasti dia mau kalo kita minta makanan buat dikasih ke Bang Ucok. Makanan rumah sakit pasti ngga enak," seru Juleha.

Pipit manggut-manggut. "Boleh juga ide lu."

Juleha langsung memainkan alisnya. "Siapa dulu. Juleha gitu, loh."

Pipit langsung menyipitkan matanya. "Dasar jumawa."

"Ayo," seru Juleha. Ia kemudian bangkit berdiri dari dipan di bawah pohon mangga yang sedang ia tiduri bersama Pipit. Matanya menengadah menatap ke arah pohon mangga yang menaunginya. "Kalo dia lagi berbuah, kita bisa langsung manjat terus bawa ke Bang Ucok."

"Dia capek, berbuah mulu tapi masih kecil udah dipetikin ama kita terus dipake buat ngerujak," sela Pipit.

"Pohon aja bisa ngambek," ujar Juleha sembari terkekeh pelan. Ia kemudian menyambar motornya yang menaikinya. Pipit langsung duduk di belakangnya. Setelah Juleha menyalakan mesin motornya, mereka langsung melesat menuju warteg tempat Ibu Juleha bekerja.

-----

"Lan," Bang John menepuk pelan kaki Aslan untuk membangunkannya. Aslan tetap diam tidak bergerak. Bang John akhinya kembali menepuk kaki Aslan.

Aslan mulai mengerjap-ngerjapkan matanya begitu merasakan sebuah tepukan di kakinya.

"Lan," Bang John kembali memanggil namanya.

Kali ini Aslan langsung beringsut dari sofa butut yang menjadi tempat tidurnya setelah mendengar suara Bang John. "Gue kesiangan ya, Bang? Sorry banget, Bang."

"Ngga apa-apa, Lan. Lu pasti capek," ujar Bang John. Ia masih melihat wajah Aslan yang nampak kacau. "Bersihin luka lu dulu, deh. Baru kita ngomong abis ini." Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke arah lemari loker. Bang John kemudian mengeluarkan kotak P3K dari dalam loker. Setelah itu, ia kembali menghampiri Aslan.

Bang John langsung membuka kotak P3K dan mengeluarkan kapas serta alkohol untuk membersihkan luka pada wajah Aslan.

"Gue sendiri aja, Bang," ujar Aslan ketika Bang John hendak akan membersihkan lukanya.

"Udah, santai aja. Lu kaya ama siapa," sahut Bang John.

Aslan akhirnya membiarkan Bang John untuk membersihkan lukanya. Sesekali ia meringis kesakitan karena lukanya bersentuhan dengan alkohol.

"Semalem gue abis dari tempatnya Ole," ujar Bang John sembari membersihkan luka pada wajah Aslan.

Aslan langsung terkesiap dengan ucapan Bang John. "Abang ngapain kesana? Gue aja ngga kesana karena Abang larang."

Bang John menghela napasnya. "Gue juga ngga tau kenapa gue bisa sampe kesana. Mungkin karena lu berdua anak didik gue yang udah gue anggap kaya anak gue sendiri."

"Terus Abang ngga macem-macem sama Bang Ole, kan?"

Bang John menggeleng. "Gue ngga tahan sama kelakuannya yang udah bikin lu sama Ucok terluka, gue bikin dia ngerasain hal yang sama."

Aslan melongo mendengar ucapan Bang John. "Abang mukulin dia?"

"Dikit," jawab Bang John sambil menempelkan plester di dahi Aslan.

"Terus?" Aslan kembali bertanya Bang John.

"Terus apanya?" ujar Bang John seraya merapikan isi kotak P3K. "Dia pasti ngga akan tinggal diam. Dan sekarang gue mulai nyesel kenapa semalem gue datengin tempatnya dia."

Aslan menghela napasnya. Ia melirik Bang John yang kini sedang berjalan menuju loker untuk mengembalikan kotak P3K ke tempatnya. "Nasib tempat ini gimana kalo sampe Bang Ole macem-macem?"

Bang John menoleh. Ia mengangkat bahunya. "Mungkin lu harus pertimbangin saran gue buat pindah ke tempat yang lebih layak."

"Ngga semudah itu gue bisa dapet sponsor, Bang. Pengalaman gue jadi petinju ilegal bukan jaminan mereka mau sponsorin gue. Apalagi yang gue lakuin selama ini ilegal semua," sahut Aslan.

Bang John kembali duduk berhadapan dengan Aslan. Ia menatapnya lekat-lekat. "Kali ini, tolong lu pertimbangin saran dari gue. Kalo perlu gue bisa jual sasana ini buat modalin lu."

"Gimana Abang mau jual tempat ini, kalo sertifikatnya masih di tangan Bang Ole," timpal Aslan.

"Gue bisa ngelakuin apa aja buat rebut sertifikat itu. Asalkan lu bisa keluar dari tempat ini. Gue ngga mau lu berakhir kaya gue," pinta Bang John.

Aslan menggeleng. "Udah telat, Bang." Aslan menunjukkan pesan singkat yang dikirimkan Bang Ole padanya. Ia mengirimkan jadwal pertandingan untuk Aslan.

"Dengan uang dari seluruh perbandingan ini, gue bisa bantuin Ucok dan Abang. Cuma itu pilihan gue sekarang," ucap Aslan tegas.

Ia kemudian bangkit berdiri. "Setelah gue bersih-bersih, gue bakal langsung latihan," ujarnya pada Bang John seraya berjalan keluar sasan untuk sedikit merasakan sinar matahari yang sudah menjelang siang.

----

Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemennya, Leon lebih banyak dia dan hanya memandangi gemerlap lampu-lampu yang ada di luar mobil yang sedang ia naiki. Nadia yang duduk disampingnya untuk pertama kalinya ikut diam dan tidak banyak bicara.

Begitu mobil yang mereka naiki tiba di apartemen Leon, tanpa basa-basi Leon segera masuk ke dalam apartemennya. Begitu sampai di unit apartemennya, ia segera menuangkan segelas scotch ke dalam gelasnya.

Setelah melihat video pertarungan Aslan di tengah gedung terbengkalai, Leon akhirnya mengetahui asal usul luka yang menghiasi wajah Aslan. Ia pun akhirnya tahu kehidupan seperti apa yang dijalani Aslan selama ini. Ia berjalan ke arah ruang gantinya sembari membawa gelasnya. Ia kemudian memandangi pantulan dirinya di cermin panjang ada di ruang gantinya.

Leon memandang dingin ke arah tubuhnya sendiri. Namun tiba-tiba ia tertawa pelan. Ia tertawa sambil sesekali menyesap minuman yang ia pegang. Tidak lama kemudian, tawanya terhenti dan ia melemparkan gelas kosong yang ada di tangannya ke arah cermin tersebut.

Kini Leon memandangi tubuhnya pada cermin yang retak akibat lemparan gelasnya. Cermin itu kini membentuk dua pantulan dirinya. "See you soon, Aslan."

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys

and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..

Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^

pearl_amethyscreators' thoughts