Makan siang di kafe dekat kantor sepertinya nyaman. Apalagi di meja yang berada di luar ruangan. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi tentunya. Meskipun mesti menaiki lantai dua kafe tersebut, tak menyurutkan langkahnya untuk menikmati makan siang yang nyaman.
"Siang, Mbak Fira, mau pesan apa?" tanya Pramusaji wanita yang telah mengenalinya.
"Seperti biasa aja, lah," jawab Fira tanpa melihat menu yang berada di atas meja.
"Baik, Mbak," ucap Pramusaji yang juga sudah mengerti dan tahu pesanan Fira.
Ia kemudian melenggang pergi untuk menyiapkan pesanan yang biasa dipesan oleh pelanggan kafenya itu.
Fira menatap ke bawah, dari atas kendaraan yang melintas terlihat lebih kecil. Pemandangan alam juga terlihat jelas. Sedikit gunung yang terhalangi gedung-gedung pencakar langit. Perkotaan memang tak bisa bebas dari gedung-gedung itu.
Jam istirahat banyak karyawan yang nampak mencari tempat untuk makan siang. Setelah bekerja sejak pagi, cacing-cacing di perut mereka sepertinya berdemo meminta haknya.
Fira memerhatikan pemandangan itu. Rasa sepi menyusup ke hatinya, biasanya meskipun agak jauh Revan akan mengajaknya makan siang bersama.
Setiap makan siang menjadi momen indah dengan celotehan dua insan yang sedang dimabuk asmara. Seketika rindu dalam hatinya semakin menggebu. Banyak pertanyaan yang tak terjawab dan ingin ia tanyakan pada Revan.
'Bagaimana keadaanmu sekarang, Revan? Lebih baik, kan? Aku selalu berdoa untuk kesembuhanmu,' gumam Fira dalam hati.
"Ini pesanannya, Mbak," ucap Pramusaji yang mengantar pesanan Fira tadi lengkap dengan minuman yang nampak menggugah selera.
"Makasih, ya," tandas Fira dengan senyum manis.
Ia kemudian menikmati makanan dan minuman yang disajikan. Rasanya tak seenak biasanya, ada rasa hambar. Bukan dalam makanannya melainkan dalam hatinya.
Meski begitu ia tetap menghabiskan makanan dan minumannya. Dulu, sebelum mengenal Revan, ia sering menyisakan makanan dan minuman.
"Habiskan, banyak orang di luar sana yang enggak bisa makan, loh. Lagian badanmu juga masih kurus begitu." Komentar Revan setiap melihat makanan yang masih tersisa di piring Fira dengan nada bercanda agar orang kesayangannya itu tidak tersinggung.
"Iya, iya, deh. Tapi gimana nanti kalau aku gemuk?" tanya Fira yang tak percaya diri dengan badan gemuk.
"Asal sehat, memangnya kenapa?" Revan bertanya balik.
"Nanti kamu lirik wanita lain," jawab Fira asal.
"Cuma karena patokan badan, lalu nanti kalau istrinya sudah tak langsing lagi ditinggal lagi, dong. Cantik itu bukan dari badan tapi dari sini." Revan menunjuk dadanya sendiri.
Fira tersenyum sendiri mengingat kenangan manis dengan kekasihnya itu. Kini, ia tengah berjuang hidup dan terbaring di rumah sakit.
Selesai makan, Fira bergegas membayar kemudian kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Pukul satu ia telah kembali menatap layar laptop dan tumpukan kertas ber-map di hadapannya. Dengan teliti dan berusaha fokus ia mengerjakan semua pekerjaan itu.
Satu jam berlalu, tepat seperti dugaannya tadi. Pekerjaan pun selesai, segera ia memanggil sekretarisnya dan menyerahkan semua berkas yang sudah selesai ia kerjakan.
Fira lalu melenggang pergi menuju ruangan ayahnya. Jika makan siang ayahnya punya pilihan sendiri. Lebih suka di restoran sebelah kantor. Selain tempatnya nyaman juga tak perlu naik tangga.
Ia mengetuk pintu, sebelum memasuki ruangan Pak Ferdi.
"Masuk!" Titah suara dari dalam.
Fira masuk dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja ayahnya.
"Pa, sudah beres?" tanya Fira yang tak sabar ingin pulang dan bertemu kekasihnya.
"Sebentar lagi ... dan selesai," jawab Pak Ferdi, ia tersenyum.
Hatinya mengetahui kalau anaknya itu menagih janji bertemu dengan keluarga Pak Andi siang ini.
"Kita tunggu mamamu, ya," ucap Pak Ferdi lagi.
"Loh, bukannya kita yang jemput Mama?" tanya Fira heran.
Tadi pagi ceritanya Fira dan ayahnya yang akan menjemput Bu Alin di rumah. Baru setelah itu ke rumah sakit.
"Enggak, katanya tadi ada urusan ke bank jadi sekalian ke sini," jawab Pak Ferdi.
Fira menganggukkan kepala. Ia mesti menunggu lagi. Kesal rasanya. Mengeluarkan ponsel dan memainkannya, siapa tahu ada yang dapat menghiburnya.
"Pa ...." suara panggilan lembut disertai ketukan pintu.
"Nah, tuh mamamu datang," ucap Pak Ferdi menunjuk asal suara yang berada di balik pintu.
Fira bangkit dan membukanya.
"Wah, sudah nungguin ya, kayaknya," ujar Bu Alin saat masuk.
"Dia sudah tak sabar, dari sejak tadi sudah menagih." Pak Ferdi menimpalinya dengan nada bercanda.
Kemudian mereka keluar ruangan Pak Ferdi menuju mobilnya yang terparkir di parkiran. Pak Parmin telah siap di pinggir mobil ketika melihat keluarga bos-nya itu keluar gedung kantor.
Mereka menaiki mobil Pak Ferdi. Memang tadi pagi Fira sengaja tak membawa mobilnya. Perjalanan dimulai, mobil menyusuri jalanan yang sudah kembali lengang karena waktu makan siang telah berakhir.
Meski begitu terlihat anak-anak kecil usia sekolah dasar yang pulang sekolah. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan hiruk pikuk perkotaan. Menyebrangi jalan dengan menengok ke kanan dan kiri terlebih dahulu.
"Dulu, waktu kamu kecil pasti harus diantar Papa kalau sekolah." Ucap Pak Ferdi dari jok depan mobil.
Sepertinya dengan melihat anak-anak tadi, membuat Pak Ferdi bernostalgia. Masa di mana Fira masih kecil, ia sangat manja pada papanya. Selalu menunggu pulang kerja di teras atau di taman. Jika hujan lebat, Fira seringkali ketakutan dan tidur dengan ditemani papanya.
Fira terkekeh kecil, ia pun tak akan melupakan masa kecilnya yang menurutnya paling menyenangkan. Hanya satu hal yang tak terpenuhi ketika ia kecil, yaitu ingin punya adik bayi. Ketika anak-anak seumurannya berusia TK atau memasuki SD rata-rata dari mereka memiliki adik.
Fira pun seringkali merengek meminta adik seperti teman-temannya yang telah memiliki adik.
"Ma, kapan aku punya adik? Teman-temanku sudah punya adik semua. Elin, Syafira, dan Amel sudah punya adik bayi," tanya Fira saat itu.
"Sabar ya, Sayang. Kan, anak itu pemberian Allah. Kalau Allah enggak kasih ya, kita enggak punya adik bayi." Bu Alin selalu berusaha memberi pengertian pada putrinya dengan bahasa yang ringan agar mudah dimengerti.
Fira tersenyum sendiri dengan kejadian itu. Sampai akhirnya ia tahu kalau rahim ibunya telah diangkat karena pendarahan hebat saat melahirkannya. Pun dengan ditunjukannya bekas Kuala di perut bagian bawa ibunya. Barulah ketika remaja ia mengerti mengapa tak bisa memiliki adik.
Tanpa tahu h sebenarnya terjadi jauh sebelum pengangkatan rahim tersebut.
"Hem, yang senyum-senyum sendiri, lagi mikirin apa, sih?" tanya Bu Alin penasaran.
Ia hanya ingin tahu apa yang membuat anaknya senyum-senyum, sembari berharap bukan Revan yang dipikirkannya.
"Enggak, Ma. Cuma ingat masa kecil aja. Apalagi aku yang dulu pingin banget punya adik," jawab Fira sambil terkekeh kecil.
Pak Ferdi seketika terbatuk mendengarnya.