Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya sampai di Rumah Sakit Changi, Singapura. Rumah sakit yang berada di ibu kota dan sudah tersohor ke seantero negeri nama baiknya.
Petugas dalam ambulans segera mengeluarkan Revan dari pintu mobil bagian belakang. Mereka terlihat begitu sigap dalam menangani pasien. Tak salah, banyak yang memercayai rumah sakit ini untuk memulihkan kesehatan.
Pak Andi, Bu Regina dan Suster Selina pun ikut turun dari dalam mobil yang ditumpanginya. Sesaat setelah mereka turun, mobil itu pun pergi ke tempat parkiran. Hanya diperbolehkan sesaat diam di depan rumah sakit.
Mereka segera mengikuti para perawat yang membawa Revan. Memasuki areal rumah sakit yang nampak mewah dan bersih. Para perawat berlalu lalang juga orang-orang yang sedang menunggu keluarganya di rumah sakit itu.
Revan dimasukan ke sebuah ruangan, kata salah satu perawat untuk pemeriksaan awal setelah perjalanan jauh. Mereka menunggu di kursi panjang yang sediakan. Tak sedikitpun ada sampah berserak di sini. Begitu terawat dan apik.
"Bu, Pak, mungkin besok saya akan kembali ke Indonesia setelah memastikan keadaan Revan baik-baik saja," ucap Suster Selina.
Ia merasa bertanggung jawab pada keselamatan Revan. Ia yang menjaganya selama di perjalanan dan Samapi ke ambulans tadi.
"Terima kasih banyak, ya, Sus. Kami tak tahu harus bagaimana lagi mengungkapkan rasa terima kasih," ujar Bu Regina dengan mata yang lekat memandang Suster Selina.
"Sudah tugas saya, Bu." Suster Selina tersenyum, namun hatinya ingin bertanya lebih soal mereka, ia merasa mengenal mereka.
"Bu, apa pernah tinggal di Singapura?" tanya Suster Selina ragu.
Bu Regina mengernyit, ia seakan mengingat soal Selina. Dari sebelumnya pun sudah merasa mengenal gadis di hadapannya itu.
"Pe—pernah, ini Selina yang ...." Bu Regina memejamkan mata mengingat yang dulu terjadi.
"Teman kecilnya Revan," pungkas Suster Selina melengkapi ucapan Bu Regina.
"Iya ... kok, bisa ada di Indonesia? Ya ampun, sudah besar dan cantik sekali sekarang." Bu Regina memuji gadis itu.
"Iya, Tante. Setelah lulus kuliah, saya disuruh Mama nemenin nenek di Indonesia," jawab Suster Selina.
"Oh, begitu ya. Mulia sekali kerjamu, Sayang, jadi seorang suster," tandas Bu Regina.
"Alhamdulillah," pungkas Suster Selina.
Dulu, setelah sakit hati dengan keluarga mantan suaminya. Bu Regina kembali ke Singapura untuk mengurus semua aset yang ada di sana. Ternyata ia bertemu dengan Pak Andi dan menikah dengannya.
Pak Andi awalnya bertugas di Singapura sebagai salah satu duta luar negeri dari Indonesia. Maka dari itu selesai tugas, ia membawa keluarga kecilnya kembali ke Indonesia.
Revan dan Selina adalah teman sepermainan saat kecil hingga TK. Orang tua mereka bertetangga. Ibu Selina bernama Sherin, seorang wanita yang baik dan ramah. Seringkali ia memberi makanan untuk tetangganya, termasuk Bu Regina saat itu.
Mereka kadang belanja bulanan bersama dan menjemput anak ke sekolah bersama. Saking dekatnya di siang hari akan mengunjungi satu sama lain.
"Bagaimana keadaan ibumu sekarang?" tanya Bu Regina pada Selina.
"Ibu baik, Tante. Masih ada di sini, kok. Cuma sekarang di desa. Lebih tenang katanya kalau di desa. Mungkin siang ini aku akan ke rumahnya dulu," jawab Selina ramah.
Ia memang gadis yang periang. Wajahnya nampak secantik pualam dengan pahatan yang sempurna. Jika tersenyum lesung pipinya nampak mempermanis wajahnya.
"Oh begitu, titip salam, ya, untuk ibumu. Tante kayaknya enggak bisa mampir untuk sekarang-sekarang." Bu Regina memegang tangan Selina sambil mengelusnya.
Rasanya ia menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri. Setelah hampir satu jam menunggu pintu ruangan terbuka. Seorang dokter luar dari sana dan meminta orang tua pasien menemuinya di ruangan sekarang juga.
Pak Andi dan Bu Regina bangkit dan mengikuti dokter tersebut ke ruangannya. Rupanya ruangannya berada tak jauh dari sana. Masih berada di lantai satu rumah sakit.
Dokter itu memasuki sebuah ruangan bertuliskan Dokter Richard tersebut. Di dalam terdapat sebuah meja dan kursi kerja sang dokter, juga lemari besar yang tertutup.
Dokter Richard mempersilakan Bu Regina dan Pak Andi untuk duduk di hadapannya. Kemudian, ia menyapa mereka dan menjelaskan kondisi Revan saat ini dengan bahasa internasional yaitu Inggris.
Pak Andi dan Bu Regina nampak mengangguk-angguk, ada perasaan lega karena kondisi Revan tidak kembali kritis. Seperti yang ditakutkan pada awal keberangkatan.
"Terima kasih banyak, Dok," ucap Pak Andi setelah mereka selesai berkonsultasi.
Mereka bangkit dan pergi meninggalkan ruangan dokter tersebut. Kembali ke depan ruangan, rupanya Selina masih berada di sana.
"Selina, kenapa belum berangkat? Bukanya kamu mau menemui ibumu," tanya Bu Regina saat sampai ke kursi yang diduduki Selina.
"Iya, Tante. Saya ingin tahu dulu kondisi Revan. Untuk laporan juga nanti," jawab Selina lembut.
Bu Regina ber-oh ria, kemudian menjelaskan kondisi Revan seperti yang dijelaskan tadi oleh Dokter Richard.
"Kalau begitu, saya juga lega. Saya pamit dulu ya, Tante, semoga kondisi Revan segera pulih dan sehat seperti sedia kala," pamit Selina sambil mendoakan kebaikan untuk Revan.
"Amiinn, terima kasih ya, Sel." Mereka berpelukan, lalu Selina menyalami tangan Pak Andi. Barulah pergi meninggalkan rumah sakit.
Seperti biasa Fira berangkat ke kantor pada pagi hari. Memasuki ruangan telah banyak berkas yang mesti diperiksanya. Padahal semalam berkas yang ia kerjakan pun begitu banyak.
Akhir-akhir ini kantornya memang sedang banyak tender yang dimenangkan. Itu semua atas tangan dingin Fira dan arahan Pak Ferdi. Kantor tersebut semakin maju dan berkembang. Bahkan rencananya akan membuka cabang di luar kota.
Fira menduduki kursi kerjanya. Menarik napas panjang sebelum melakukan pekerjaannya.
"Duh, kerjaan sebanyak ini apa akan selesai nanti siang?" Fira bergumam pelan.
Siang nanti ia telah berjanji untuk berangkat ke rumah sakit bersama kedua orang tuanya. Menjenguk Revan, ia tak berani lagi berangkat sendiri sejak kejadian tempo hari. Meski begitu, ia tak menceritakan kejadian itu pada kedua orang tuanya.
Jari jemari lentik itu menari-nari dengan lincah di atas keyboard yang ada di hadapannya. Matanya tertuju pada layar laptopnya, sambil sesekali membuka berkas yang ada di sampingnya.
Pukul dua belas siang, waktu istirahat kantor tiba. Benar saja pekerjaannya belum beres, ada tiga berkas lagi yang mesti diperiksanya.
Rasanya ia ingin terus mengerjakan. Tapi, ia tak bisa menahan rasa lapar yang menderanya. Fira mengalah dengan cacing di perutnya. Ia bangkit dan berjalan keluar dari ruangannya.
Makan siang di kafe dekat kantor sepertinya nyaman. Apalagi di meja yang berada di luar ruangan. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi tentunya. Meskipun mesti menaiki lantai dua kafe tersebut, tak menyurutkan langkahnya untuk menikmati makan siang yang nyaman.
"Siang, Mbak Fira, mau pesan apa?" tanya Pramusaji wanita yang telah mengenalinya.