webnovel

Serial Killer (Initial K)

Terinspirasi dari Death Note dan Liar Game. *** Sebuah pembunuhan berantai yang disebut-sebut terbesar sepanjang 10 tahun terakhir terjadi. Pembunuh telah menewaskan belasan orang. Meski penyelidikan terus dilakukan, tidak juga memperlihatkan hasil yang memuaskan. Tidak ada saksi, tidak ada bukti. Pembunuhan dilakukan oleh profesional. Sebuah tim investigasi khusus pun dibentuk…

NurNur · Terror
Classificações insuficientes
23 Chs

#Bagian 5 Wolfsbane I : Luka.

Wolfsbane dikenal sebagai Aconite, Monkshood, atau nama lain yang berbeda di setiap negara. Tanaman beracun itu tumbuh subur di tempat asalnya, daerah pegunungan di belahan bumi bagian utara. Semua bagian dari Wolfsbane beracun. Dari bunga, daun, hingga akar.

Sebelum abad ke-10, bangsa Eropa membudidayakan ramuan dari tanaman Wolfsbane karena dapat digunakan sebagai pengobatan beberapa penyakit tertentu. Tentunya dengan melewati berbagai tahapan terlebih dahulu.

Pada abad ke-19 tanaman tersebut mulai banyak diimpor dari Cina, Jepang, dan beberapa negara penghasil lainnya.

Sampai pertengahan abad ke-20, Wolfsbane masih digunakan dalam ilmu kedokteran Barat.

Di Asia racun dari tanaman Wolsbane juga dimanfaatkan. Selain sebagai racun anak panah untuk berburu, juga digunakan sebagai senjata dalam peperangan. Ada juga negara yang masih memanfaatkan racunnya sebagai bahan pengobatan tradisional.

Beberapa pembunuhan dengan menggunakan tanaman Wolfsbane juga pernah tercatat. Wolfsbane dipilih sebagai senjata pembunuh dengan berbagai alasan, salah satunya karena tanaman jenis ini sulit dilacak.

"Em..." Huda berusaha membuka pembicaraan. "Jika benar pola pembunuhannya berubah, menurut senior apa penyebabnya?"

Iwata menghela nafas.

Melihat reaksi Iwata, Huda merasa bersalah karena berbicara. Iwata mungkin sedang tidak ingin diganggu, tidak ingin berbicara. Iwata pasti sangat kesal saat ini. Seharusnya ia diam saja dan tidak mengatakan apapun sampai tiba di tempat yang dituju.

"Karena hasrat membunuh yang semakin besar," Iwata menjawab. "Keadaan jiwa pembunuh yang berubah. Ia tidak lagi bisa menahan hasrat membunuhnya. Jika mengikuti polanya sejak awal, semakin lama jeda pembunuhan akan semakin lama. Begitu menyukai membunuh seseorang pasti sulit buatnya menunggu dan menahan diri."

"Kalau begitu sulit menahan diri, bukannya seharusnya dia membunuh tanpa pandang bulu."

Iwata mendelik ke arah Huda, seolah Huda sedang memberi saran kepada si pembunuh untuk membunuh siapa saja, kapan saja, dan membunuh lebih banyak lagi.

"Bukan, bukan!" Huda yang bisa membaca apa yang Iwata pikirkan menepis. "Hanya saja banyak yang tidak saya mengerti, dan terlalu banyak yang ingin saya tanyakan. Kadang-kadang orang yang terlalu banyak bertanya memang menyebalkan, sih." Huda mengatai dirinya sendiri.

"Prinsip."

"Eh? Apa?" Huda nyaris tertawa. "Pembunuh juga punya prinsip?"

"Karena meski membunuh, aku menghabisi seseorang yang memang layak mendapat hukuman. Dengan kata lain sebenarnya si pembunuh mengharapkan seseorang mendukungnya." Iwata tetap melanjutkan. "Itu asumsiku."

Huda hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Baginya sangat sulit untuk tidak bertanya atau tidak menduga-duga. Ia harus tahu jawabannya. Dan biasanya dengan banyak menduga-duga dan bertanya ia mendapat pencerahan untuk memecahkan kasus.

Mobil yang dikemudikan Iwata berhenti.

"Ini... kenapa kita ke sini lagi?" Huda langsung menyadari telah berada dimana ketika Iwata mematikan mesin mobil.

Tempat Bagas bekerja.

"Dibanding mencari tahu kasus itu, bukannya lebih baik kita menyelidiki lagi kasus yang baru terjadi. Siapa tahu ada yang terlewat," usul Huda.

"Luka."

"Apa?"

Beberapa kali Iwata memulai dengan menggunakan kata yang tidak bisa langsung Huda mengerti. Tidak ingin banyak bicara, sebenarnya memang kebiasan Iwata ketika sedang kesal. Tapi rekan di sampingnya tidak juga mengerti. Berulang kali ia harus menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang panjang.

"Di balik lengan baju Bagas yang digulung tidak sama panjang, ada luka. Waktu tertarik sedikit saat bersalaman, saya melihat ada plaster," jelas Iwata.

"Apa itu seperti dia menutup-nutupi lukanya?" Huda berpikir. "Dibanding di telapak tangan yang sudah pasti tertutup sarung tangan di lengan memang lebih memungkinkan."

"Saya hanya ingin memastikan. Karena kita tidak boleh melewatkan segala kemungkinan."

Huda mengangguk mengerti.

Iwata turun dari mobil. Huda mengekor, mempercepat langkahnya untuk mengimbangi langkah Iwata.

Keduanya sengaja menunggu di lobi setelah memastikan pada petugas jaga Bagas belum meninggalkan kantor. Waktu menunjukkan pukul 20.03 dan Bagas memang terkenal sebagai salah satu karyawan yang sering bekerja lembur. Entah untuk mengejar tenggat waktu atau hanya agar pekerjaannya dapat selesai lebih cepat.

Bagas mulai bekerja di salah satu perusahaan surat kabar lokal paling terkenal di kotanya setelah bebas dari kasus salah tangkapnya. Seseorang teman yang memperkenalkannya langsung pada Direktur perusahaan.

Bagas kehilangan pekerjaannya, ibunya yang menjalani perawatan di rumah sakit meninggal, dan adiknya yang beranjak remaja bunuh diri.

Menjadi pembicaraan di sana-sini, dipandang rendah, juga dikutuk semua orang karena kasus yang salah. Pada akhirnya Bagas kehilangan banyak hal, melalui berbagai kejadian buruk.

Bahkan setelah polisi mengklarifikasi kasus salah tangkapnya juga meminta maaf di hadapan media, dan nama baiknya telah kembali, tidak satu pun dari banyak hal yang hilang bisa kembali padanya.

Bagaimana komentar orang-orang di media sosial membuat adiknya terpuruk, bagaimana para tetangga yang seenaknya menyebar gosip hingga membuat penyakit jantung ibunya kumat. Semua itu membuat Bagas marah. Bahkan dengan mengutuki seluruh dunia tidak akan pernah cukup.

"Saya minta maaf sebelumnya karena tahu tidak disukai tapi muncul lagi." Iwata mulai dengan basa-basi singkatnya begitu melihat Bagas muncul.

"Sepertinya mulai sekarang aku akan semakin sering diganggu." Bagas menanggapi dengan nada datar dan dingin.

Iwata tersenyum. Menganggap kalimat Bagas sebagai sebuah pujian.

"Ada dugaan bahwa pelaku pembunuhan yang sedang kami kejar memiliki luka seperti luka bakar di lengannya," Iwata mulai mengatakan maksud kedatangannya. "Hari ini saya melihat ada plaster di lengan Anda. Bisa tolong perlihatkan pada kami untuk memastikan?"

Bagas diam. Terbengong tanpa ekspresi cukup lama. Berpikir. Ia tersenyum sesaat sebelum akhirnya mengangguk dan menggulung lebih tinggi lengan baju sebelah kanannya. Ia membuka plaster yang menempel di tanggannya dan memperlihatkan lukanya pada kedua polisi di hadapannya.

Yang terlihat bukan luka memerah, melainkan luka terbuka. Iwata dan Huda saling pandang. Bukan seperti yang mereka cari.

Bagas menempelkan plaster lagi setelah Iwata dan Huda puas melihat-lihat. Puas memeriksa.

Bagas tidak berencana menceritakan kenapa lengannya bisa terluka. Ia hanya ingin kedua polisi di depannya cepat menyelesaikan urusan dengannya kemudian ia bisa segera pulang ke rumah.

"Terima kasih atas kerja samanya," kata Iwata akhirnya.

Iwata dan Huda menuju parkiran lebih dulu. Dari dalam mobil mereka mengamati Bagas yang berlalu dengan kendaraan beroda duanya. Iwata menghela nafas, kemudian menyalakan mesin mobil.

"Bagaimana kalau dia segaja membuat luka lain untuk menutupi luka bakar di tangannya. Dia mempermainkan kita. Bukankah dia membenci polisi?" Huda membuka mulut setelah cukup lama mereka hanya terlibat diam.

"Apa kamu terlalu banyak menonton drama?" Iwata memasukkan gigi dan mulai meninggalkan area parkir. "Pembunuhnya jelas sangat berhati-hati. Jika membenci polisi, seharusnya dari awal dia mempermainkan kita. Mempermalukan kita. Menunjukkan bahwa pelaku benar-benar membenci polisi."

Huda tidak mendebat. Kali ini ia benar-benar menutup rapat mulutnya sampai mereka kembali ke kantor. Tidak ada lagi yang bisa dikatakannya.

"Surat perintah penahannya keluar."

Ketua tim datang ketika Iwata dan Huda baru saja duduk. Ia membawa sebuah amplop dan memperlihatkannya pada ketiga anggotanya yang lain.

"Apa?" Iwata benar-benar tidak habis pikir. "Ini benar-benar..." Iwata kehabisan kata-kata. Tidak tahu bagaimana harus menyebutnya.

Iwata yang baru duduk, merapikan mejanya dan hendak beranjak lagi. Tapi Haikal kemudian menahannya.

"Kamu mau kemana?!" tandasnya. "Jika kamu yakin wanita itu bukan pelakunya seharusnya kamu mencari petunjuk untuk menangkap pelaku yang sebenarnya, bukannya terus-terusan merajuk seperti anak kecil."

"Siapa yang merajuk?!" Iwata tidak terima. Ia memaksa lepas dari cengkraman Haikal. "Saya mau pergi karena memang ada yang harus saya urus!"

Haikal tidak berencana melepaskan Iwata begitu saja, tapi Iwata bisa menepis tangan Haikal. Ketua tim untuk kesekian kalinya menjadi penengah. Iwata pergi dengan ekspresi yang semakin kesal.

"Senior Iwata bukan tipe yang kekanak-kanakan seperti itu." Huda berusaha menjelaskan."Tadi kami pergi menemui Bagas."

"Kasus itu lagi?" Haikal menanggapi dengan malas.

"Bukan!" Huda mengklarifikasi cepat. "Menurut perkiraan, kematian korban antara pukul 14.00 sampai 15.30. Nah, dari keterangan petugas jaga, Bagas meninggalkan kantor 14.00 dan baru kembali saat hampir pukul 16.00. Juga... Bagas memakai sepatu yang kita temukan jejaknya di TKP korban kedelapan. Dan... ada luka di tangannya."

"Jadi kalian pergi untuk memeriksa luka di tangannya?" Ketua tim menimpali.

"Dan ternyata lukanya luka yang berbeda. Benar?" Haikal menambahkan dengan prediksinya. Huda mengangguk.

Ketua tim menghela nafas. Penyelidikan mereka masih akan sangat panjang.

***

Pulang dari bekerja, Bagas tidak langsung menuju rumahnya. Ia mampir ke sebuah swalayan yang akhir-akhir ini sering ia datangi.

Sebenarnya letak swalayan dan arah menuju rumah Bagas bertolak belakang. Tapi ia selalu memiliki alasan untuk datang. Jelas, ia harus membeli beberapa barang untuk menyamarkan tujuannya.

Setelah mengambil beberapa mie instan, minuman kaleng, dan banyak camilan, Bagas menuju meja kasir. Sesuai dugaannya. Yang bertugas jaga di sana adalah seorang pria dua tahun lebih muda darinya.

"Apa maksudmu tiba-tiba memanggil dan melukai tanganku?" Bagas bertanya dengan suara rendah yang hanya mereka berdua saja yang bisa mendengarnya. Ia menyerahkan belanjaanya untuk dihitung.

Pria yang lebih muda darinya mengenakan topi dengan lidahnya diputar ke belakang, berkulit putih pucat. Ciri khas yang paling mudah dikenali adalah tahi lalat yang ada di ujung hidungnya.

Pria yang berdiri di balik meja kasir mengambil belanjaan Bagas, men-scan satu persatu. Mendengar pertanyaan Bagas, ia mengangkat wajahnya dan tersenyum. Senyum yang terlalu lebar. Seperti baru mendengar kabar paling menarik.

"Bukannya menyenangkan melihat polisi-polisi itu salah menebak. Bukannya bisa sedikit memuaskan kebencianmu?" katanya tersenyum lagi.

"Bukannya terlalu mencolok?"

"Enggak. Ini hanya permainan kecil. Sesuatu yang memang perlu dilakukan sekali-kali agar kita bisa bersenang-senang." Lagi-lagi pemuda itu tersenyum.

Orang lain mungkin melihatnya sebagai tipe yang ramah karena begitu mudahnya tersenyum dan begitu murah senyumnya diobral pada siapa pun. Tapi tidak bagi Bagas.

Bagas sudah begitu mengenal watak pemuda di depannya dibanding beberapa orang di sekitarnya yang mengaku akrab. Bagas cukup tahu bahwa senyum itu palsu. Sama sekali tidak terlihat manis. Tidak ramah.

Pemuda yang berdiri di balik meja kasir tersenyum bukan karena ia senang atau ingin membuat orang lain senang. Senyumnya adalah topeng. Ia tidak melibatkan hati atau perasaan apa pun saat menarik sudut-sudut bibirnya.

"Total Rp132.500." Kasir menyebut nominal yang harus Bagas bayar.

"Mereka menangkap seorang wanita yang diduga sebagai pelaku. Kalian sudah tahu?" Seseorang yang ikut mengantri di belakang Bagas, berbicara.

Bagas menghela nafas. "Padahal aku sudah mengatakan untuk melakukan tugas dengan baik."

"Wah, seperti biasa, ya. Bagas yang baik hati." Si kasir tersenyum lagi.

Sebelum pergi, Bagas melihat ke arah si kasir lagi. Senyumnya masih saja begitu lebar dan mengerikan.

Terkadang Bagas kesal dan merasa muak setiap kali melihat pemuda itu tersenyum padanya. Tidakkah seharusnya pemuda itu hanya memasang topeng pada orang-orang yang tidak mengenalnya.

Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya.

Begitu Bagas meninggalkan swalayan dengan kendaraan kesayangannya, Iwata datang. Masuk untuk berbelanja.

Iwata hanya mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas dan membayarnya di kasir.

Sebenarnya Iwata sama sekali tidak ada niat untuk berbelanja. Ia sedang menelusuri sepanjang jalan yang hari ini Sakhi lewati sebelum sampai di tempatnya bekerja. Iwata melakukan semuanya mendetail seperti keterangan yang Sakhi katakan. Iwata bahkan berdiam beberapa saat disuatu tempat seperti yang Sakhi lakukan, mencocokkan waktu. Iwata juga datang ke swalayan tempat Sakhi membelikan barang belanjaan titipan kakaknya.

"Rp 3.500."

Diam-diam Iwata memperhatikan kasir di depannya. Ia melakukannya sekilas dan dengan cepat. Berpikir sesaat, mengingat ulang semua keterangan Huda mengenai pemuda yang mengenakan sepatu sport, yang jejaknya tertinggal di kasus kedelapan.

Pemuda itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih setelah mengembalikan kembalian pada Iwata. Iwata tidak segera beranjak meski tidak ada yang ingin ia tanyakan.

Senyum pria di balik meja kasir membuat Iwata terpaku beberapa saat. Bukan terpesona karena ia bukan tipe penyuka sesama jenis. Sama sekali. Iwata normal, masih sangat normal. Ada yang lain. Yang menarik perhatiannya.

Jelas itu senyum. Tapi Iwata tidak merasakan apa-apa saat melihatnya. Perasaan seperti ikut senang atau seperti perasaan orang yang tengah diperlakukan ramah. Senyum itu jelas tidak dipaksakan.

Berpikir, Iwata kemudian langsung menyerah di detik berikutnya. Ia harus menghentikan pikiran-pikirannya. Ada hal lain yang belum selesai ia kerjakan. Jangan menambah pekerjaan baru sekarang.

Setelah menegak air mineralnya, Iwata kembali mengikuti jejak-jejak yang ditinggalkan Sakhi. Menyelesaikan apa yang sudah ia kerjakan.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

NurNurcreators' thoughts