5 #Bagian 4 : Congenital Analgesia.

"Sudah berapa kali saya bilang saya-tidak-tahu!" Sakhi lebih menegaskan dan menekan suaranya.

"Bagaimana bisa tidak tahu. Racun dari Anacotine bekerja dengan cepat. Setelah menyentuh kulit tidak butuh waktu lama pasti akan merasakan sensasi terbakar. Dalam jeda itu seharusnya kamu tahu telah melakukan apa, atau bersentuhan dengan siapa. Kecuali… jika kamu pemilik racunnya."

Haikal mengurung Sakhi di ruang introgasi. Ia menanyakan banyak pertanyaan. Beberapa membuat Sakhi tersudut.

Sakhi telah menjawab semua pertanyaan seperti apa yang ia tahu, yang ia alami. Tapi jawabannya tidak cukup memuaskan untuk polisi yang ada di depannya.

Bagaimana bisa Sakhi memberi jawaban sesuai dengan yang polisi di depannya inginkan jika ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Situasi seperti apa yang tengah dihadapinya.

"Itu karena..." Sakhi ragu. Ia berpikir lama untuk melanjutkan kalimatnya, bahkan terlalu lama.

Sakhi terlihat sedang berusaha menutupi sesuatu dan Haikal membacanya dengan jelas pada sudut itu, semakin mencurigainya.

"Karena kamu pemilik racunnya. Karena kamu seorang pembunuh!" tandas Haikal.

"Pem... pembunuh?" Sakhi tergagap. Hardik Haikal terlalu kejam untuknya.

"Kamu sudah membuat sebelas orang meninggal sampai hari ini," serang Haikal lagi. "Kenapa, kamu merasa bangga karena berhasil menghabisi mereka? Kamu merasa kamu pahlawan sebab yang kamu bunuh adalah orang-orang yang pernah melakukan tindak kejahatan, yang tidak mendapat hukuman seperti yang kamu inginkan?"

Sakhi akan menjawab, namun bibirnya terlalu kelu. Tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan bahwa ia benar-benar tidak tahu. Tidak mengerti. Tuduhan yang ditimpakan padanya semakin tidak masuk akal. Semakin membuatnya kesal.

Sakhi ingin berteriak, mengamuk, tapi otaknya tidak memberi perintah sesuai apa yang hatinya inginkan.

Sakhi kembali mengingat apa yang sudah dilakukannya setelah meninggalkan rumah. Melakukan interaksi atau bertemu dengan siapa. Tapi selama perjalanan menuju kafe ia dihadapkan pada banyak orang. Jalan begitu ramai, entah kenapa terasa berbeda dari hari biasanya.

Sakhi mengingat lagi. Memaksa dirinya untuk berpikir.

Apakah seorang ibu rumah tangga yang tanpa sengaja ia senggol belanjaannya. Tapi dilihat bagaimana pun penampilannya memang terlihat seperti seorang ibu rumah tangga biasa.

Wajah polos tanpa riasan. Raut wajah yang dipenuhi rasa lelah, kerutan yang mungkin terlalu banyak jika dibanding dengan jumlah usianya. Tidak ada yang aneh. Tidak juga mencurigakan. Setidaknya itu yang Sakhi rasakan.

Atau... apakah seorang pria yang Sakhi temui di swalayan. Yang tidak sengaja ia tabrak troli belanjaannya.

Bagi Sakhi pria memiliki kemungkinan lebih besar sebagai seorang pembunuh yang telah berhasil menghabisi 11 nyawa, dibanding seorang ibu rumah tangga atau wanita lemah tak berdaya seperti dirinya.

Tapi dilihat dari kerapian dan kebersihan penampilan pria itu, juga rambutnya yang terlihat sedikit basah, jelas pria itu baru selesai mandi. Jika pun ada racun yang menempel di pakaian atau dimana pun, seharusnya sudah bersih. Jadi pasti bukan pria itu.

Mungkin terjadi saat Sakhi menyeberang jalan. Sakhi menepis tangan seorang pemuda. Benar itu tangan kanan dan dengan punggung tangannya yang sekarang luka.

Tapi... pemuda itu tidak terlihat mencurigakan. Pemuda itu mungkin terlihat sedikit terburu-buru, tapi penampilannya biasa saja. Ia tidak mengenakan pakaian serba hitam, tidak ada masker. Memang mengenakan topi, tapi lidahnya diputar ke belakang. Tidak terlihat seperti sedang menutupi wajahnya agar tidak dikenali. Tidak terlihat seperti telah melakukan kejahatan. Lagi, setidaknya itu yang Sakhi pikirkan.

Bukankah memakai pakaian serba hitam, mengenakan masker, dan topi yang terlalu rendah adalah ciri khas penjahat yang sering ditampilkan dalam film-film.

Saki tidak tahu, benar-benar tidak tahu. Ia melewati banyak orang siang ini. Siapa tahu bukan tiga orang yang kebetulan bersinggungan dengannya. Tapi bagaimana cara Sakhi mencari tahu. Ia bahkan tidak mengenal orang-orang itu.

Sakhi mengusap wajahnya kemudian membenamkannya di antara lipatan tangannya. Frustasi.

***

Di tempat lain, Iwata dan Huda sibuk mencari bukti. Keduanya mendatangi rumah Sakhi. Lebih tepatnya panti tempatnya tinggal.

Tiba-tiba didatangi banyak petugas, tentu saja merupakan kejutan tidak diinginkan bagi Kak Hania dan Kak Alan. Belum lagi saat diperlihatkan surat perintahnya dan dikatakan bahwa Sakhi kemungkinan terlibat sebuah kasus kejahatan, Kak Hania nyaris ambruk mendengarnya.

Bagaimana bisa adik mereka dituduh melakukan hal gila seperti itu. Benar-benar konyol. Dibanding Sakhi, ada banyak orang di luar sana yang lebih mungkin bisa melakukan kejahatan. Yang jelas bukan Sakhi. Bukan adiknya.

Tapi memang seperti itulah keluarga. Orang yang akan selalu ada di barisan terdepan untuk percaya, untuk membela. Tanpa ragu.

Kak Alan berulang kali menanyakan keadaan Sakhi disela tanya jawab yang diajukan padanya. Ia sangat ingin melihat adiknya. Mengetahui bagaimana keadaannya. Dicurigai telah melakukan kejahatan pasti sangat mengguncangnya.

Sakhi memang wanita yang kuat, tapi tidak ada yang tahu batas kekuatan seseorang sebelum ia berhasil melalui cobaan terberatnya.

"Maaf, tapi selama proses penyidikan berlangsung siapa pun belum diizinkan membesuk."

"Tapi Sakhi baik-baik saja, 'kan? Kalian tidak memukul atau melakukan hal kasar lainnya, 'kan?" Kali ini Kak Hania yang bertanya.

"Kami tidak akan melakukan hal seperti itu," Iwata meyakinkan, berusaha mengerti perasaan keluarga. "Sekarang saya akan bertanya lagi. Apa kalian pernah melihat tingkah Sakhi yang aneh atau tiba-tiba menghilang saat malam?"

Kak Hania dan Kak Alan sama-sama menggeleng. Tidak perlu dipkirkan lagi, memang bukan Sakhi pelakunya. Meskipun pernah tiba-tiba menghilang, itu bukan karena ia pergi untuk membunuh seseorang.

Tidak menemukan bukti petunjukan apapun, Huda justru menemukan catatan kesehatan yang aneh. Segera setelah menunjukkannya pada Iwata, Huda bergegas memastikannya sendiri dengan menemui dokter yang bersangkutan.

Tidak hanya bertanya pada keluarga Sakhi, para petugas juga menanyakan banyak pertanyaan yang sama kepada teman-teman di tempat Sakhi bekerja.

Semua orang tentu saja sangat terkejut, tidak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang sangat menyukai waktu luang dan bersantai melakukan sesuatu yang begitu merepotkan, sesuatu yang mengerikan.

Keseharian Sakhi sama sekali tidak mencurigakan. Ia seorang pekerja keras, rajin, dan sangat suka memasak meski tidak ditempatkan di dapur.

Minggu lalu Sakhi baru saja menciptakan menu baru. Sakhi sangat rajin meski tidak jarang datang ketempat kerja terlambat.

"Apa Sakhi sering bertanya tentang rasa masakannya?"

"Iya. Biasanya Sakhi selalu bertanya pada saya. Setiap menyelesaikan menu baru dia juga meminta semua orang mencoba, kemudian bertanya apa ada yang kurang, apa terlalu pedas, apa terlalu asam," Rin menjawab. "Tapi apa hubungannya?" tambahnya balik bertanya.

"Apa… di antara kalian ada yang tahu kalau Sakhi memiliki penyakit?" Iwata bertanya hati-hati.

"Penyakit?" Semua orang yang berada di kafe mengulang bersamaan. Dengan ekspresi yang sama, mereka bertukar pandangan, kemudian saling menggeleng.

Para pegawai berkumpul di ruang karyawan. Mereka memiliki tukang masak tetap. Sakhi hanya sesekali masuk ke dapur. Entah untuk membantu, menggantikan tukang masak yang libur, atau membuat menu baru.

Jadwal kafe yang sudah dipesan untuk sebuah acara tetap dilanjutkan. Pemiliknya berencana menutup kafe setelah acara selesai. Tidak seperti biasa yang buka sampai larut.

***

"Bagaimana dengan kuku?" Ketua tim bertanya ketika semuanya telah kembali dan berkumpul dalam ruangan.

"Tidak ada dimana pun. Racun atau apapun yang mematikan juga tidak ditemukan. Juga sepatu yang dikenakan saat pembunuhan korban kedelapan. Kamarnya hanya dipenuhi tumpukan komik dan novel." Iwata memberikan laporannya.

"Dipakaiannya juga tidak ditemukan peralatan membunuh, atau serbuk racun. Petugas lain masih menyisir daerah yang dilewati untuk menemukan kemungkinan dia membuang barang bukti, tapi sampai saat ini masih tidak ditemukan apa pun." Haikal juga memberikan laporannya.

"Ini." Huda memberikan catatan kesehatan Sakhi dan membagikannya pada ketua tim, Haikal, juga Iwata.

"Congenital Analgesia?" Ketua tim bertanya-bertanya setelah selesai mendapatkan inti dari kopian catatan kesehatan yang Huda bagikan.

"Penyakit dimana penderitanya kehilangan indra perasanya." Huda menjelaskan dengan singkat. "Menurut dokternya, Sakhi mengalami Congenital Analgesia sejak kecil. Saya juga bertanya di klinik tempat Sakhi mengobati tangannya setelah terkena racun dan dokter di sana bilang Sakhi memang tidak mengatakan ada keluhan seperti rasa terbakar di tangannya. Itu aneh dan dokter di klinik juga memikirkan kemungkinan Sakhi telah kehilangan indra perasanya."

Congenital Analgesia adalah hilangnya rasa sakit akibat terganggunya jaringan syaraf antara panca indra dan otak sementara orang tetap dalam keadaan sadar. Biasanya terjadi akibat cidera yang menggangu syaraf sehingga menghilangkan semua bentuk rasa atau hanya sebagian rasa saja.

"Jadi masuk akal. Itu sebabnya dia tidak sadar tangannya terkena racun," Iwata berasumsi.

"Tapi bukannya aneh, seseorang tanpa indra perasa bekerja menjadi juru masak dan tidak satu orang pun teman kerjanya yang sadar." Huda bergumam dengan suara yang bisa didengar semuanya.

"Itu pasti kamuplase." Semua orang dalam ruangan menatap Iwata bersamaan. "Untuk menyamarkan kekurangannya."

"Tapi bukannya itu aneh, kita tidak menemukan sidik jari dimana pun di TKP, itu artinya pelaku menggunakan sarung tangan tapi kenapa bisa punggung telapak tangan yang terkena racun?" Huda bergumam lagi dengan volume suara yang sama, yang cukup bisa didengar orang lain di sekitarnya.

"Menggunakan sarung tangan atau pelaku menghapus sidik jari yang tertinggal." Haikal menimpali.

"Kalau seperti itu bukannya terlalu berisiko?"

Haikal mendelik ke arah Huda dan seketika itu juga Huda merapatkan mulutnya. Haikal sedang tidak ingin mendengarkan terlalu banyak dugaan-dugaan yang tidak ada penjelasannya.

"Bagaimana dengan penyelidikan latar belakang korban?" Ketua tim kembali mengajukan pertanyaan.

"Ah!" Haikal kembali teringat tugasnya. Ia memberikan laporan yang didapatnya.

"Rahmadi pernah diduga melakukan tindak asusila. Tapi bukan itu penyebab ia dikeluarkan dari personel TNI. Dia pernah melepaskan tembakan dengan asal dan melukai seorang wanita tengah baya hingga kritis."

Terdengar helaan nafas bersamaan.

"Setelah sekian lama kita memiliki terduga tersangka tetap saja berujung buntu." Huda kembali dengan gumamannya.

Iwata merenung, memikirkan apa yang harus dilakukannya, langkah apa yang harus diambil. Begitu mendapat pencerahan, ia beranjak meninggalkan ruangan.

Langkah Iwata cepat, tegas. Ia menuju ruang introgasi tempat Sakhi masih dikurung.

Setelah meminta kunci pada petugas yang berjaga, Iwata masuk, dan menggebrak meja. Sakhi yang terkejut berdiri seketika. Mengira akan dipukul, Sakhi mundur memberi jarak. Waspada.

"Apa kamu benar tidak tahu dari mana racun itu berasal?" Iwata menanyakan pertanyaan yang sama, yang sudah ditanyakan Haikal berulang kali.

Sakhi mengangguk. Ia masih berdiri memberi jarak, masih waspada.

"Jadi, itu artinya bukan kamu pembunuhnya, iya, 'kan?" tanya Iwata lagi.

Meski merasa aneh dengan sikap polisi yang ada di depannya, Sakhi mengangguk untuk kedua kalinya.

Iwata memperhatikan Sakhi lekat. Otot-otot mata, sudut bibir, bagian alis, tidak ada bagian yang luput dari pandangannya. Ia sedang melakukan identifikasi dengan caranya sendiri sebelum memutuskan sesuatu.

Dipandangi selekat itu sebenarnya membuat Sakhi salah tingkah. Tapi ia tahu ini bukan saatnya untuk merasa seperti itu.

"Baik."

"Apa?!" Sakhi tersentak. Matanya membulat dipenuhi keterkejutan.

Baik. Sakhi tidak mengerti kenapa Iwata hanya mengatakan 'baik', bukannya membentak seperti yang dilakukan Haikal dan berkata 'bohong'.

Baik. Sakhi bertanya-tanya apa arti satu kata yang baru didengarnya. Apa artinya Iwata percaya ia tidak bersalah. Tapi bagaimana bisa seorang polisi percaya begitu saja hanya dengan memelototinya beberapa waktu.

Iwata telah keluar dari ruangan tempat Sakhi dikurung. Tanpa berkata apapun. Tanpa penjelasan. Sakhi duduk kembali di tempatnya dengan wajah kosong, masih bertanya-tanya.

"Apa ini?! Apa kamu pikir ini lucu?!" Haikal yang tidak terima meninggikan suaranya. Ia juga menarik kerah kemeja Iwata.

"Tidak ada bukti lain yang mengatakan bahwa orang di dalam sana adalah pelakunya! Racun di tangannya bisa hanya kebetulan saat berpapasan dengan pelaku tanpa sengaja, bisa juga hanya pengecoh. Lagi pula penyakitnya sudah menjelaskan kenapa dia tidak segera sadar setelah terkena racun," Iwata menjawab.

"Tapi tidak ada penjelasan kalau wanita tidak mungkin melakukan pembunuhan. Semua korbannya diserang dari belakang. Itu artinya kalau berhadapan secara langsung pelaku jelas tidak bisa menang," Haikal mendebat.

"Bisa jadi karena pelaku ingin menghemat waktu." Iwata mematahkan kalimat Haikal dengan kemungkinan lain.

"Tapi kita tidak boleh melewatkan segala kemungkinan." Haikal mengembalikan kalimat yang pernah Iwata katakan padanya. "Demi menangkap pelaku dan demi tidak ada lagi korban yang jatuh," tambahnya tegas.

"Sudah, hentikan!" Ketua tim angkat bicara.

Haikal melepas cegkramannya. "Kita harus menahan wanita itu. Apa komandan bisa meminta surat penangkapannya?"

"Apa?!" Iwata menyalak. "Itu gila. Kita bahkan tidak punya bukti yang cukup!"

"Hanya itu satu-satunya cara agar kita bisa tahu dia bersalah atau tidak. Jika pembunuhan tetap terjadi itu berarti bukan dia pelakunya, jika berhenti..."

"Sampai kapan?" Iwata memutus. "Kita sendiri sepakat kalau pola penetapan waktu pembunuhan mungkin berubah. Kita tidak tahu kapan pembunuhan akan terjadi lagi."

Tidak ada jawaban.

"Baiklah. Saya yang putuskan. Saya akan mencoba meminta surat penahanan," ketua tim memutuskan.

Meski kesal dan tidak setuju dengan keputusan gila rekan dan komandannya, Iwata tetap tidak membantah atau memperpanjang perdebatan. Ia tidak akan menang, tidak ada sekutu yang mendukungnya.

"Huda, ikut saya!" kata Iwata kemudian berlalu.

"S…siap!" Huda menyahut dengan suara lemah.

Merasa tidak enak, Huda melempar pandangan kepada Komandan dan Haikal. Begitu Komandan mengangguk, Huda lekas menyusul Iwata.

Meski tidak tahu apa yang akan Iwata lakukan, atau mereka akan pergi kemana, Huda tetap mengekor dengan patuh.

avataravatar
Next chapter