webnovel

Propinquity

Yerim adalah seorang gadis dengan senyum manis meneduhkan yang ingin membuka lembaran baru dan menjalani hidup yang lebih baik tanpa dibayangi ketakutan akan masa lalu. "Dont live with the past." Aksa mengenal Yerim. Ia melihat Yerim sebagai gadis lugu yang aneh. Pertemuan pertama mereka memang konyol, tak terduga, tak disengaja, dan tanpa rencana. Tetapi dari situlah mereka terus bertemu di pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

alifyar · Fantasia
Classificações insuficientes
5 Chs

Three : First Meet

Hidup adalah serangkaian kebetulan, kebetulan adalah takdir yang menyamar.

***

"Hai, perkenalkan namaku Yerim Cecylia." Tangan Yerim bergetar hebat. Ia kemudian meremas rok seragamnya, berharap setidaknya dengan itu rasa cemas dan gugupnya berkurang.

"Kalian bisa panggil aku Yerim, sekian." Remasan tangannya mengerat, dadanya juga kian menderu hebat.

Yerim, kamu harus tenang. Tenang oke, tenang.

Kemudian sebuah tepukan halus membuatnya tersadar. "Yerim? Kamu nggak apa-apa?"

"Oh, em, iya bu. Sss...sa...ya nggak apa-apa kok bu." Yerim berusaha memberikan senyuman terbaik kepada wali kelas barunya.

"Kamu nggak usah gugup, Yerim." Bu Ciciㅡwali kelas Yerim tersenyum menenangkan.

"Saya akan berusaha membuat kamu nyaman di kelas saya. Saya juga berusaha menepati janji saya ke bunda kamu." Yerim mengangguk kikuk. Oh, jadi ini yang membuat bunda dan Bu Cici berbincang cukup lama.

Ah, kayaknya bunda bicara banyak tentang aku ke Bu Cici.

"Anak-anak, di sapa dong teman baru kalian, Yerim."

"Hai Yerim." Seluruh siswa kompak menyapa Yerim. Yerim membalasnya dengan senyum canggung. Diam-diam ia memainkan jari kukunya gugup.

"Yerim, kamu bisa duduk di bangku ketiga dari depan. Di samping Kalara." Bu Cici akhirnya mempersilahkan Yerim duduk.

"Bu, nggak ada sesi tanya jawab?" Baru saja Yerim mendudukkan diri di bangkunya, seorang cowok dari bangku paling belakang mengacungkan tangan dan bertanya pertanyaan yang paling ingin Yerim hindari.

"Kalian bisa bertanya kepada Yerim nanti, sekarang waktu nya materi." Cowok itu menghembuskan napas kecewa, diikuti beberapa siswa lainnya. Berbeda dengan Yerim, ia merasa sangat lega. Memperkenalkan diri dikelas saja sudah membuatnya gugup bukan main.

Yerim mengeluarkan buku catatan dan alat tulisnya. Jam pertama, pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan fokus penuh, ia mencatat materi yang di catatkan dan sampaikan oleh Bu Cici. Kali ini materinya tidak terlalu sulit, ia sudah pernah mendapatkannya dari Ms. Anata. Yerim tersenyum kecil.

"Wah, lo nyatet nya cepet banget. Gue aja masih sampai poin pertama." Yerim menghentikan aktivitas catat mencatatya. Menoleh dan mendapati wajah seorang gadis bersurai hitam lurus sebahu dengan mata monoloid yang indah.

Ia menatap buku catatan Yerim dengan tatapan tak percaya. "Tulisan lo juga rapi."

Yerim tersenyum. Mengangguk kemudian menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga, bingung mau memberi respon apa.

"Hai, gue Kalara Shaleeta. Panggil aja Kalara, oke." Gadis itu mengulurkan tangannya. Sejenak Yerim merasa ragu. Menimang-nimang apa yang harus ia lakukan. Diabaikan juga sepertinya tidak sopan. Lagian gadis di sampingnya ini kelihatan baik. Nggak ada salahnya kan menambah teman. Tujuan awalnya juga membuat dirinya lebih terbuka.

"Hai Kalara. Aku Yerim."

"Oke. Kita teman." Kalara tersenyum hingga matanya membentuk garis. Manis sekali. Setelahnya, ia kembali fokus pada catatannya. Ternyata ia tertinggal materi cukup jauh.

Bagus Yerim. Awal yang nggak terlalu buruk.

***

Seorang cowok bertubuh jakung dengan mata bulat dan surai hitam halus berjalan lemas menyusuri koridor kelas IPA yang nampak tenang. Tidak ada jamkos. Hampir semua murid memperhatikan guru yang mengajar. Walaupun ada beberapa diantara mereka yang tertidur pulas atau sekedar memainkan ponsel di loker meja.

Cowok itu mengulum bibirnya sembari mengernyit. Membuat satu lesung kecil tercipta di pipi kirinya.

Jimy is calling.

Cowok itu berdecak. Ia kemudian menggeser tombol hijau begitu mengetahui siapa yang menelpon.

"Apa."

"Lo kemana aja Sa. Jangan bilang mampir ke kantin. Tadi Nyai Hajar nyariin." Cowok bernama Aksa itu mendengus.

"Lo budek? Gue ke toilet."

"Buru balik kek. Jangan sampe lo ketemu sama doi. Lagian ke toilet kek ndaki gunung aja. Lama banget."

"Perut gue sakit sat." Aksa mengakhiri panggilannya sepihak. Ia mengacak rambutnya gusar. Dia bahkan sudah berjongkok lebih dari tiga puluh menit. Tapi kenapa sakit perutnya tak kunjung hilang?

"Gue kemarin kebanyakan nyemil sambel kali." Tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Aksa mendesis kencang.

"Jimy ngapain lagi sih!"

"Bangsat! Eh astagfirullah!" Reflek, ia memukul mulutnya sendiri. Aksa memang suka khilaf. Jadi ia buru-buru bertaubat.

Aksa mengecek tangannya. Ia menghembuskan napas lega karena ponsel kesayangan masih aman di genggaman.

"Heh! Jangan di tengah jalan dong!" Ia menghampiri seorang gadis yang kini tengah berjongkok dan diam membatu.

"Lo ngapain disitu? Semedi?" Gadis itu perlahan berdiri. Kepalanya menunduk, tubuhnya terlihat bergetar. Ia memilin rok seragamnya hingga terlihat kusut.

"Heh. Malah diem." Gadis itu tetap menunduk. Terlihat enggan menyahut atau bahkan sekedar mengangkat kepala.

"Mohon maaf nih mbak, hp gue hampir kebanting dan lo masih mau diem aja?" Aksa berkata sarkastik. Menatap gadis di depannya dengan gusar. Ia hanya perlu permintaan maaf. Apa susahnya sih?

"Lo budek? Apa gue harus pakai bahasa isyarat?" Gadis itu semakin bergetar hebat, kepalanya semakin ditundukkan. Mulut Aksa emang minta di colok cabe rawit.

Tak lama setelah mengatakan itu, Aksa mengusap tengkuknya.

Apa gue terlalu kasar ya.

"M...ma...maaf." Gadis itu kemudian mendongak. Netra coklat madunya berair dan tubuhnya bergetar lebih hebat. Aksa jadi kelimpungan. Ia memijat pangkal hidungnya frustasi.

"Gue nggak maksud bikin lo nangis. Aduh, yaudah, gue minta maaf. Jangan nangis dong. Ntar nggak enak kalau ada yang liat. Maafin gue ya." Aksa menepuk pelan pundak gadis di depannya. Berharap tangisannya reda sebelum ada yang melihat. Niatnya kan hanya ingin mendengar permintaan maaf. Aksa hanya benci orang yang tidak bertanggung jawab.

"Udah dong. Gue nggak kasar banget padahal" Gadis itu merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia juga menghapus air matanya seraya mengumpulkan oksigen dengan satu tarikan napas panjang. Lalu membuka mata dan menghembuskannya perlahan. Tiba-tiba ia tersenyum tipis.

"Maaf, hp kamu hampir jatuh gara-gara aku. Maaf juga aku nangis nggak jelas kayak gini. Permisi." Gadis itu kemudian buru-buru meninggalkan Aksa yang masih mematung dengan ekspresi bingung.

"Ha? Dia ngapain sih?" Aksa menggaruk dahinya yang tidak gatal. Tak lama, ia pun menjentikkan jari. "Dia akting biar gue merasa bersalah gitu? Sialan! Jadi gue dibohongin?"

"Jagat Saguna Aksara!" Kali ini pribahasa yang tepat bagi Aksa adalah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mampus !

Otaknya kini bekerja keras. Ia bergerak cemas, dan akhirnya memutuskan untuk tetap diam karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk kalau ia malah kabur dan menghindar.

Gue nggak salah, ngapain harus ngehindar?

Tanpa menoleh pun, Aksa sudah bisa tahu siapa pemilik suara yang membuat bulu kuduknya merinding. Siapa lagi kalau bukan Bu Hajar. Guru ekonomi sekaligus guru tatib yang paling killer sesekolahan, setelah Pak Bagus lebih tepatnya.

"Bu Hajar." Aksa membalikkan tubuhnya, tersenyum kikuk sambil mengusap gugup surai hitamnya.

"Kamu bolos jam saya ya!" Lebih terdengar seperti kalimat tuduhan bukannya kalimat tanya. Aksa meneguk ludah.

"Saya kan ijin toilet Nyaㅡeh Bu."

"Tadi kamu bilang apa?!" Mampus. Pakai acara keceplosan segala. Ini bukan sedang berbicara dengan Jimy atau Taqiy. Ia berhadapan langsung dengan Nyai, sebutan yang dibuat Jimy untuk Bu Hajar, guru kesayangannya. Aksa akui Jimmy memang sering kurang ajar.

"Maksud saya, saya kan ke toiletnya sudah ijin, Bu. Masa Ibu lupa sih."

"Kamu nyedot WC atau ke toilet?! Kenapa lama sekali?! Dan ada apa jauh-jauh ke toilet anak IPA kalau di seberang kelas juga ada toilet?! Saya nggak bisa dibohongi ya Aksa!" Buset. Apa ini rasanya jadi orang yang nggak bersalah tapi dituduh bersalah dan diintrogasi polisi seakan-akan ia bersalah. Kenapa rasanya setegang ini.

"Nyedot WC kan juga di toilet, Bu." Spontan Aksa menutup mulutnya.

Ini mulut kenapa ngelunjak mulu sih.

"Jagad Saguna Aksara!" Aksa juga heran kenapa anggota tubuhnya sering memberi reaksi spontan tanpa melihat sinkon. Dasar.

"Eh nggak Bu. Perut saya ini sakit beneran kok. Saya juga nggak suka toilet seberang kelas. Lebih suka toilet di sini soalnya toiletnya jongkok, Bu. Lebih puas." Aksa terkekeh.

Bu Hajar geleng-geleng. Kemudian menatap lamat-lamat Aksa yang masih setia memegang perutnya. Beliau pun menghembuskan napas.

"Saya pantau kamu dari jauh Aksa." Bu Hajar pun meninggalkan Aksa yang masih terdiam. Padahal dalam hati ia bersorak. Alhamdulullah selamat!

***

"Ada Yerim nggak?" Hampir semua siswa yang berada di kelas pada jam istirahat hari itu melongo tak percaya. Ada apa gerangan seorang Shahna Sanata Alexis repot-repot ke kelas XI IPA 7 yang jelas-jelas berada di pojok sekolah dekat lab biologi yang rumornya angker.

"Ada. Masuk aja, Na." Cewek yang berada di bangku paling depan terlihat mempersilahkan. Walau wajahnya masih nampak terkejut.

Shahna berjalan anggun memasuki kelas. Tak luput dari sorotan kagum dari beberapa siswa yang diam-diam memperhatikan. Dari bangkunya, Yerim tersenyum.

"Rim. Kamu nggak apa-apa kan?" Shahna duduk manis di bangku kosong depan Yerim. "Keliatannya sih oke. Kamu ada temen baru ya." Ia menatap Kalara, kemudian tersenyum tipis.

"Bagus deh."

"Hai, gue Kalara." Kalara jadi orang pertama yang mengulurkan tangan. Shahna pun tanpa ragu membalasnya. "Hai juga Kalara. Aku Shah..."

"Shahna Sanata Alexis. Bener kan?"

Siapa sih yang tidak mengenal seorang Shahna Sanata Alexis? Model dan selebgram ternama yang namanya sedang naik daun. Terkenal dengan imagenya yang imut tapi tetap menampilkan kesan dewasa membuat Shahna digemari banyak kalangan. Memiliki tubuh ramping juga kaki yang jenjang membuatnya terlihat cocok dengan pakaian apapun. Kulitnya yang bersih dan bening terlihat cocok dengan rambut panjang yang sedikit bergelombang. Bentuk wajahnya diamond dengan sepasang mata bulat yang indah. Ditambah lagi hidungnya yang lurus dan tinggi dengan bibir medium yang ranum membuat sosok Shahna semakin terlihat Perfecto!

"Iya." Shahna mengangguk canggung.

"Lo, temennya Yerim?"

"Iya, kami temenan lumayan lama." Shahna melirik Yerim sebentar kemudian kembali menatap Kalara. "Karena aku udah kenal kamu dan kamu juga udah kenal Yerim, aku titip Yerim ya."

"Em?" Kalara nampak sedikit terkejut dengan perkataan Shahna barusan.

"Na." Yerim memberi tatapan memohon. "Jangan gitu. Aku bisa sendiri." Shahna menggeleng sembari mengayunkan telunjuknya pelan.

"Kal, Yerim harus banyak beradaptasi, kamu bantu dia ya biar di nggak kesulitan. Oke?" Kalara mengangguk kecil, sedikit ragu tapi merasa tidak enak menolak permintaan Shahna. "Em, oke."

"Makasih." Shahna tersenyum manis. "Oh ya, Rim. Pulang bareng aku yuk. Aku udah bilang ke bundamu, katanya boleh."

***