webnovel

Propinquity

Yerim adalah seorang gadis dengan senyum manis meneduhkan yang ingin membuka lembaran baru dan menjalani hidup yang lebih baik tanpa dibayangi ketakutan akan masa lalu. "Dont live with the past." Aksa mengenal Yerim. Ia melihat Yerim sebagai gadis lugu yang aneh. Pertemuan pertama mereka memang konyol, tak terduga, tak disengaja, dan tanpa rencana. Tetapi dari situlah mereka terus bertemu di pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

alifyar · Fantasy
Not enough ratings
5 Chs

Two : Begin

"Rim!" Bola mata Yerim bergerak mencari asal suara yang memanggilnya. Sebuah tepukan halus membuat tubuh Yerim berbalik sempurna. Mendapati seorang gadis yang lebih tinggi darinya tersenyum manis dengan deretan gigi putih yang rapi.

"Shahna?"

"Suprise!" Gadis cantik itu berdiri di depan Yerim dan merentangkan kedua tangannya gembira.

"Nggak sekolah? Kali ini apa? Pemotretan?" Gadis bernama Shahna itu mengangguk manis.

"Pemotretannya masih jam satu, jadi aku mau mampir dulu ke rumah kamu. Eh kata Bi Sona kamu ada kontrol." Yerim tersenyum tipis, "Yaudah, ayo masuk lagi."

"Shahna?"

"Eh tante Tania." Shahna menghampiri Tania dan menyalaminya. "Bukannya hari ini sekolah Na?" Shahna mengangguk seraya tersenyum, "Udah ijin tadi sama wali kelas, Te."

"Kamu masih sibuk aja ya." Tania tertawa sambil mengelus halus surai tebal Shahna. Shahna terkekeh mendengarnya.

"Tante mau ke butik dulu. Masuk sama Yerim ya."

***

"Kenapa masih milih pemotretan di jam sekolah sih?"

"Baru ketiga kalinya kali Rim." Shahna mengambil sepotong puding coklat dengan vla stoberi dan memakannya dengan lahap. Ia mengabaikan begitu saja tatapan menyelidik Yerim.

"Baru tiga kali?! Tiga kali menurut kamu itu baru ya, Na?" Yerim menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Kamu sekolah baru tiga bulan, Na. Kan bisa ambil janji di weekend. Katanya mau fokus sekolah dan cuman ambil job di waktu senggang." Yerim menerocos lagi membuat Shahna menjadi sedikit kesal.

"Rim, itu kan mau papa aku. Aku nya nggak mau. Aku maunya lanjut home schooling kayak kamu tau! Lagian sekolah itu bosenin. Belajar, belajar, belajar. Disana juga nggak ada yang bisa diajak ngomong kayak kamu."

"Senin aku mulai sekolah." Shahna menghentikan aktivitas menguyah puding coklatnya. Pandangannya kini berfokus pada sosok Yerim yang masih duduk manis dengan senyumㅡyang menurutnya aneh. Shahna mendengus.

"Iya! Mulai sekolah di rumah sama Ms. Anata, rutinitas kamu kayak biasanya kan."

Yerim tertawa renyah. "Nggak. Ini beneran. Aku sekolah di sekolahmu. Mulai senin besok." Shahna membelalakkan matanya hingga hampir tersedak. Buru-buru ia mengambil segelas air putih yang tersedia di meja dan meneguknya dengan rakus. Yerim tersenyum geli melihatnya. "Kan kaget."

"Tiba-tiba banget." Shahna membersihkan sisa puding di mulutnya, "Jadi, kamu udah nggak cemas atau takut lagi gitu?"

Tangan Yerim mengepal, napasnya tiba-tiba menderu. Tangannya bergetar dan mulai berkeringat. Bayangan ketakutan itu tiba-tiba muncul. Yerim tidak bisa mencegahnya.

"Yerim?" Shahna menyentuh punggung tangan Yerim. Menepuk perlahan sambil menenangkannya. "Maafin aku."

Yerim mengatur napasnya, membuat tubuhnya kembali rileks. Getaran tangannya pun mulai mereda. Yerim akhirnya membuka mata. Netra madunya menatap Shahna seraya tersenyum. "Aku udah baikan kata dokter Fanya." Shahna menarik dirinya memeluk Yerim.

"Tenang, aku nggak di diagnosis agoraphobia kok. Hampir sih, tapi makin kesini aku makin menunjukkan kemajuan." Shahna melepaskan pelukannya, ditatapnya Yerim dengan tatapan sendu. "Aku juga udah pintar ngendaliin ketakutanku lho. Level handal." Shahna pun tersenyum tulus.

"Yey! Nanti kita bisa lebih sering ketemu dong!"

"Tapi sayang kita beda kelas." Shahna melotot. "Lha! Kenapa nggak minta sekelas sama aku aja sih?! Kan kalau ada apa-apa jadinya gampang." Yerim menggeleng pelan.

"Nggak, aku bisa sendiri kok, Na. Lagian aku nggak minat tahu di jurusanmu."

Shahna mendengus kesal. "Terus jadinya jurusan apa?"

"IPA! Hasil ngerayu-rayu ayah bunda. Tadinya emang disuruh se jurusan sama kamu. Kelas bahasa disana kan cuman ada satu kelas. Otomatis kalau aku masuk jurusan bahasa, bakalan sekelas sama kamu." Shahna memanyunkan bibirnya. "Kepala batu!"

"Dibilangin, aku bisa jaga diri, Na. Aku juga noob tau kalau tentang bahasa-bahasa gitu apalagi sastra."

"Iya deh iya! Suka-suka kamu!" Yerim terkekeh. "Idih ngambek."

"Gimana kalau ikut aku. Beli peralatan sekolah?" Shahna melirik Yerim sekilas. Kemudian tersenyum kecil, tidak membiarkan Yerim melihatnya.

"Ayo." Dan meninggalkan Yerim begitu saja dengan gaya sok cool-nya. Yerim lagi-lagi dibuat tersenyum geli.

Dasar gengsian.

***

"Dari dua dus notes yang ayah beliin, ini yang terbaik!" Mata Yerim berbinar menatap salah satu notes ukuran 10 x 5 bergambar langit dengan bintang-bintang yang nampak sangat cantik.

Bagi Yerim hadiah dari ayahnya ini sangat bermanfaat. Memiliki gangguan Short Term Memory Lost atau lebih mudahnya disebut sydrom Dory, membuatnya sulit untuk mengingat kejadian-kejadian yang baru ia alami. Ia tidak kehilangan memori lamanya, tetapi kesulitan mengingat detail yang terjadi 20 menit sebelumnya.

"Baguskan. Bunda yang pilihin tadi." Tania dari arah dapur menyahut. Membawa secangkir teh hijau dan ikut bergabung di sofa ruang tengah.

"Tapi kan duitnya ayah." Tania mendengus.

"Kasih apresiasi dong, Rim. Kamu mah."

"Di iyain aja, Rim apa kata bundamu. Biar nggak ngambek." Berto ikut menggoda membuat Yerim tertawa renyah.

"Ya pantes lo habis banyak notes. Cerita Shahna yang nggak penting aja sering lo catetin." Yoga menyahut sambil tetap sibuk dengan ponselnya. Yoga dan freefire memang tidak bisa dipisahkan.

"Katauan! Pasti sering baca notesku diem-diem, ya kan!" Mata Yerim menatap nyalang ke arah Yoga. Yang ditatap tak menjawab ataupun berkomentar.

"Suka-suka aku dong. Ya kalau nggak dicatet, aku nggak bisa bangun topik pembicaraan sama Shahna. Udah tau kondisi adiknya juga. Kenapa sih sewot mulu tuh mulut heran!" Yerim tak mau tinggal diam. Ia melempar bantal sofa ke arah Yoga yang sama sekali tidak mengalihkan atensinya dari ponsel. Kali ini ia melempar dua bantal sekaligus.

"Rim! Ntar gue kalah lo tanggung jawab?!" Yerim mendecih. "Dasar kulkas ngeselin."

Tania tertawa mendengarnya. "Kulkas? Kenapa kamu bilang kakak sendiri kulkas sih Rim?"

"Soalnya kak Yoga tuh bun, sok cool. Sok cuek juga. Ngeselin apalagi."

"Diem lo bantet."

"Hah?! Tadi bilang apa?! Ngeselin banget heran!" Yerim beranjak dari duduknya dan menghampiri Yoga. Tangan kanannya dengan nakal ikut menyentuh layar ponsel kakaknya, berusaha membuatnya kalah dari permainan.

"Lah! Rim! Buset ni anak!"

"Mampus! Rasain!" Yerim pun berlari begitu saja.

"Kan! Kalah! Resek lo mah!"

***