Ini hari Senin. Hari dimana orang-orang memilih mempertaruhkan energi dan nyawa untuk berjubel dan berdesakan. Di kereta, bus, jalan tol, kendaraan pribadi. Hari Senin seperti mata iblis yang mengintai setiap keterlambatan. Hari Senin seperti sebuah perintah bagi para bos untuk berdiri di depan pintu, melotot, bertolak pinggang, memastikan tidak ada yang terlambat datang.
Orang-orang menjadi sangat terburu-buru. Tidak peduli lagi terhadap bahaya yang setiap saat bisa garang menyapa. Prolet tidak terkecuali. Pukul 7 pagi dia sudah beranjak dari tempat kosnya di bilangan Tebet. Sekarang 7.45 dan dia masih berkutat dengan kebuntuan di perempatan Mampang. Lampu merah sedang error. Sepertinya lupa bahwa menyala itu harus bergantian. Sementara yang terjadi semua menyala bersamaan.
Akibatnya dahsyat. Arus kendaraan saling mengunci. Tak bisa bergerak. Suara klakson memekik berulang-ulang dari segala penjuru. Ini semua seperti karnaval kemarahan. Pak polisi yang mencoba mengurai kemacetan justru menjadi bulan-bulanan makian. Prolet menatap kasihan. Polisi muda itu terlihat putus asa. Ini mungkin salah satu jenis neraka yang jatuh ke bumi, pikirnya kalut.
Prolet memotret keadaan chaos ini dengan mata hatinya. Kesemrawutan sebenarnya bisa saja indah jika tidak tercampur dengan kemarahan dan caci-maki. Dia mengeluarkan buku catatan kecilnya; amarah manusia lebih menggentarkan daripada setan yang sedang sakit hati...
----
Pukul 8.30. Keadaan makin menjadi-jadi. Gerah yang merambati hati naik ke kepala setiap orang. Tanduk dan taring bermunculan di mana-mana. Sinar matahari mulai mengirimkan terik yang membutakan. Ini membuat semua orang turun dari kendaraan. Mimpi buruk! Prolet setengah panik. Bos pantry pasti memberondongnya dengan seribu tuduhan. Kericuhan di tempat ini sepertinya juga menjadi hal yang tak terhindarkan.
Prolet melihat sesuatu yang menarik. Berduyun-duyun pedagang asongan memadati lokasi kemacetan. Wajah-wajah ceria mereka berpadu dengan kerut dan cemberut para pengemudi. Menjadikan sebuah potret yang lebih kaya nuansa. Prolet sedikit tersenyum sekarang. Rejeki bagi para pedagang asongan adalah hiburan kecil yang menyenangkan. Biarlah dia menerima resiko ledakan guntur Bos Pantry. Ada kisi-kisi bahagia yang jarang diperhatikan orang dalam situasi semengerikan ini.
Seorang bapak yang menggendong keranjang asongan terlihat tertawa lebar setelah air mineral dan minuman dingin yang dia bawa, habis terjual. Pemuda lusuh dengan rambut sedikit gondrong, tersenyum tak henti-henti. Rokok dagangannya tandas terbeli. Gadis kecil usia belasan melonjak-lonjak girang. Tissue yang dibawanya tak bersisa. Dia bisa beli buku pelajaran matematika. Betapa bahagianya emak jika dengar. Tadi pagi dia merengek minta dibelikan. Ibunya hanya menjawab sambil menunjuk tumpukan hasil memulung yang belum terjual.
Prolet melihat semua ini dengan jantung berdentam-dentam. Tuhan memang tak terkalahkan Maha Adilnya. Di setiap kesunyian, ada keramaian yang diciptakan. Di antara keluh kesah membabi buta, ada rejeki yang dialirkan. Di banyaknya keburukan merajalela, kebaikan akan didatangkan dengan sukarela. Luar biasa!
----
Akhirnya horor itu berakhir saat beberapa orang polisi mengatur dengan penuh kesabaran. Lampu lalu lintas juga berjalan normal setelah dilakukan perbaikan. Suara klakson kembali bersahutan. Kali ini dengan riang. Mendung ikut mendukung dengan memayungi tempat itu agar para polisi kelelahan itu tidak terlalu kepanasan.
Prolet memacu motornya. Sekarang 9.30. Dia sudah membayangkan omelan sepanjang ciliwung akan diterimanya begitu tiba di kantor. Dia harus mempersiapkan hati. Kejadian pagi ini memberinya kekuatan luar biasa untuk menghadapi apapun nanti yang terjadi.
Prolet naik lift dengan hati berkedut-kedut cemas. Tetap saja cercaan dan serapah adalah sesuatu yang tidak menyenangkan bagi telinga. Tabah. Bekal senyum dari anak perempuan penjual tissue tadi terus dibawanya.
Begitu memasuki pintu kantor, suasana lengang membuat Prolet tercengang. Tidak ada siapa-siapa. Bahkan resepsionis yang biasanya selalu berjaga di depan, juga tak nampak. Nafasnya yang sudah melega beberapa saat, kembali masuk ke paru-paru dengan cepat saat Prolet masuk ruang tengah kantor.
Semua orang sedang berdiri menunggunya. Bos Kecil dan Bos Pantry berdiri paling depan. Muka mereka yang biasanya selalu bersungut-sungut, terlihat seperti setan yang mau mengamuk. Duh, ini lebih gawat dari yang dikiranya. Pecat! Pikiran paling buruk ini melintas di otak Prolet yang menciut sekarang.
Bos Kecil dan Bos Pantry tidak berkata apa. Mereka malah melangkah ke samping untuk memberi jalan seseorang yang menyibak kerumunan. Prolet terpana. Ini lebih menyakitkan! Tuan Puteri berdiri di sana. Menatapnya dengan maksud yang sulit diterka. Hukuman pecat dari Tuan Puteri secara langsung akan membuatnya seperti dicambuk oleh malaikat. Semua otot-otot tubuh Prolet lemas. Dia hampir pingsan! Suara bening lembut itu sekarang seperti ledakan petir.
"Prolet! Kamu sangat terlambat! Sebagai hukuman dari keterlambatanmu, baca surat ini olehmu sendiri...." wajah ayu itu merengut kesal.
Blaarrr! Ledakan petir itu lebih maut lagi! Dia harus membacakan surat pemecatannya sendiri! Ya Tuhan.
Prolet maju beringsut. Dia merasakan dirinya mengecil sebesar kutu kelambu. Diambilnya surat itu dengan perasaan yang sudah hampa sepenuhnya. Tangannya bergetar. Mulutnya juga bergetar.
"Atas jasa dan pengabdiannya. Manajemen memutuskan Prolet diangkat menjadi staf administrasi sejak tanggal ditetapkan. SK menyusul kemudian melalui manajer HRD...."
Prolet terbelalak hebat. Tidak terdengar lagi bagaimana semua orang bertepuk tangan memberikan selamat. Tuan Puteri bahkan maju menggenggam tangannya yang sedingin es. Lututnya menggigil tak karuan. Ini semua terlalu mengejutkan!
Prolet tersenyum. Persis seperti senyum bahagia para pedagang asongan....