webnovel

Episode; Melihat ke Bawah, di Atas Hanya Ada Langit!

Bumi sedang terbalik. Perputarannya memusingkan kepala Prolet. Dia merasa hidup di angkasa luar. Asing dan terasing. Itu perasaan Prolet waktu dia memasuki kantor tempatnya bekerja setelah keputusan bebas di terimanya. Dua bulan lebih dia tidak menginjakkan kaki di tempat ini.

Semua mata memandangnya dengan aneh. Dia seolah-olah makhluk langka yang tiba-tiba muncul saat orang sedang makan siang bersama. Prolet menjadi risih. Salah tingkah.

"Hai Prolet, selamat ya. Aku sangat senang kamu dibebaskan dari segala tuduhan.."

Suara bening dari surga itu mengejutkan Prolet. Menyadarkannya bahwa bumi masih berputar dengan benar. Tuan Puteri!

"Eh..ah, ter...terimakasih Tuan Putri." Prolet heran kenapa dia mendadak gagap. Ditatapnya wanita puteri Bos Besar yang ayu itu dengan wajah berubah ungu.

----

Hari itu dilalui Prolet dengan kegemparan dan kehambaran. Gempar karena Tuan Puteri. Hambar karena pandangan sinis Sahwat, Bos Pantry dan para tumbilak, kutu kupret yang tidak diketahui darimana asalnya lalu tiba tiba menggigit pantat.

Tugasnya hari ini sederhana saja. Seperti biasa. Bersih-bersih kantor, mentransfer galon-galon air, membeli makan siang untuk para bos dan Tuan Puteri. Prolet sangat bersemangat ketika Tuan Puteri meminta dibelikan gado-gado yang sangat disukainya. Gado-gado, hmmm...ini mengingatkan saat dia disapa cinta.

Prolet berangkat ke gado-gado Mak Somah dengan keceriaan. Bekal senyum dari Tuan Puteri melipatgandakan tenaganya yang terkuras oleh pandangan sinis dari teman-temannya. Sambil sedikit melamunkan rasa bahagia, bersiul-siul pendek, dia berangkat menaiki motor tuanya.

----

Gado-gado Mah Somah memang cukup ngetop di berbagai kalangan. Murah, enak dan Mak Somahnya sendiri ramah. Pernah dalam suatu kesempatan, pada saat pelanggan sedang sepi, Prolet berbincang dengan wanita tua sederhana itu. Mak Somah berjualan gado-gado sepanjang hari di halaman rumahnya yang kecil di sudut gang sempit daerah Setiabudi. Itulah penopang hidup satu-satunya bagi dia dan 5 orang anak-anaknya yang masih sekolah semua. Suaminya sudah berpulang terlebih dahulu saat kecelakaan jatuhnya gondola di tempatnya bekerja beberapa tahun yang lalu.

Wanita sederhana itu berjuang agar anak-anaknya tetap sekolah. Itu adalah tujuan hidupnya. Membekali anak-anaknya dengan ilmu. Karena meninggalkan harta warisan sepertinya sama saja dengan melangkahi kata mustahil. Prolet terkagum-kagum. Ini adalah Kartini sebenarnya dari gang sempit Setiabudi. Waktu itu, Prolet sempat membuat catatan di buku kecilnya; perjuangan seorang ibu, seperti melangkahi pintu neraka. Namun tujuannya jelas, sebuah surga bagi anak-anaknya.

----

Prolet terbelalak begitu tiba di warung Mak Somah. Para pembeli berderet-deret seperti ular raksasa dalam film anaconda. Waduh, alamat antri lama nih, pikir Prolet sambil membayangkan Tuan Puteri kelaparan. Kasihan. Paling tidak dia harus mengabari dengan mengirimkan WA. Untunglah dia sudah mengantisipasi kemarahan dengan membeli terlebih dahulu pesanan para bos lainnya. Nasi padang dan Soto Betawi.

Sambil ikut mengantri, Prolet mengedarkan pandangan kesana kemari. Matanya terpaku pada seorang anak yang sedang duduk di bawah pohon. Tidak jauh. Tepat di depan parkiran motor yang disediakan Mak Somah di halaman rumah tempatnya berjualan. Tatapan mata si bocah laki-laki itu nanar. Umurnya mungkin 10 atau 11 tahun. Wajahnya pucat. Nampak ada butiran keringat sedang mengaliri leher. Bajunya basah.

Prolet tertegun dan tersentuh hatinya. Dia ingin menghampiri dan menanyai anak yang sedang memegangi perutnya itu. Tapi dia ragu. Meninggalkan antrian sama saja dengan membuat Tuan Puteri makan jam 3 sore! Prolet kebingungan. Antara kasihan menyaksikan rona kehidupan di depannya, dengan rasa iba membayangkan wajah Tuan Puterinya kelaparan.

"Heiiii....kamu mau apa bocah! Kenapa kamu memegang-megang motorku! Kamu mau mencuri ya!"

Suara hardikan keras itu kontan memecahkan lamunan Prolet. Dilihatnya seorang pria tampan, gagah dan rapi. Menghampiri si bocah laki-laki yang sekarang memegang setang motor Ninja mewah miliknya. Si bocah semakin pucat wajahnya. Buru-buru dilepaskan pegangan pada motor itu. Ketakutan setengah mati. Tapi dia tidak lari. Sepasang mata beningnya meringkuk seperti kelinci.

"Sa..saya..bukan pencuri om..." ujarnya terbata-bata.

Pria gagah itu mendengus. Omelannya masih terdengar panjang pendek oleh orang-orang saat dia menstarter motornya dan meraung meninggalkan kejengkelan. Si bocah hanya terlongong-longong. Namun setidaknya terlihat raut lega di wajahnya yang pasi.

----

"Sini nak...kamu bantu emak sini...!" terdengar suara Mak Somah melambaikan tangan kepada si bocah yang kembali duduk di bawah pohon.

Si bocah seperti tersengat kalajengking. Buru-buru dia lari mendekati Mak Somah.

"Nah...ini nak. Makanlah dulu. Setelah itu cuci tangan lalu bantu emak kupas bawang putih dan petik tangkai cabai ya..." Mak Somah menyodorkan sepiring nasi dengan lauk telur dadar. Si bocah menerimanya seperti mendapatkan parcel lebaran dari tuan besar. Memakannya dengan lahap cepat-cepat. Setelah itu buru-buru mencuci tangan dan membantu si emak sesuai permintaannya tadi. Wajahnya sudah dialiri darah lagi. Segar dan bersemangat.

Prolet menyaksikan ini dengan debaran sekencang bedug dhuhur. Terharu. Dia sudah dekat ke gilirannya dilayani. Sambil setia mengantri, Prolet tertarik mendengarkan percakapan si emak dengan bocah yang mengalir di sela-sela kesibukan ngulek dan potong-potong lontong.

"Nak...namamu siapa? Kamu tinggal dimana? Apakah kamu tersesat?"

"Saya sendirian mak...nama saya Anggara. Orang tua saya sudah tidak ada tahun lalu. Sebelumnya saya mengamen di perempatan...tinggal dengan para pemulung di kolong jalan layang. Tapi pagi tadi Satpol PP menggusur semuanya mak. Saya bingung mencari cari kerjaan apa saja yang bisa untuk makan mak. Gitar kecil saya rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi...terimakasih untuk makannya mak."

"Kamu tidak sekolah?"

"Saya putus sekolah kelas 5 SD sejak kedua orang tua saya meninggal mak."

Mak Somah menyeka peluh di dahinya dengan saputangan kusam. Dihentikannya aktifitas ngulek. Ditatapnya sosok kecil ringkih dan wajah polos di depannya yang masih mengupas bawang putih dan memetik tangkai cabai. Sedikit embun meruam di sudut mata wanita tua ini.

"Kamu mau tinggal sama emak? Membantu emak berjualan, tapi paginya kamu harus sekolah. Bagaimana nak?"

Si bocah tertegun. Memalingkan wajah menatap Mak Somah. Ada sebuah kehidupan memancar kembali di mata kecil itu. Tidak sanggup berkata-kata saking bersyukurnya. Hanya memeluk si emak dengan keharuan yang menghentak-hentak udara.

----

Prolet menyeka tetesan airmata yang berjatuhan di hatinya. Debarannya tidak lagi seumpama bedug Dhuhur. Tapi bertalu-talu seperti bedug yang ditabuh saat takbir di malam Idul Fitri. Dia menyaksikan sebuah keajaiban kecil di kota besar! Sambil menunggu satu orang lagi di depannya selesai dibungkus gado-gadonya, Prolet meraih buku kecilnya; Melihatlah selalu ke bawah, di atas hanya ada langit!