webnovel

Please Fall For Me

warning mature content 21+ Lili, gadis muda sebatang kara yang harus menikahi teman masa kecilnya dikarenakan orang tuanya meninggal. Alan yang semula berhubungan baik dengan Lili entah kapan mulai berubah sangat dingin terhadap Lili, bahkan setelah mereka menikah. apa yang sebenarnya menimpa mereka? mengapa Alan menikahi Lili jika tidak mencintainya? pelan-pelan tabir rahasia mulai terungkap "Mungkin pernikahan kita adalah sebuah kesalahan. bukankah begitu? meskipun aku sangat mencintaimu. mungkin selamanya kau hanya menganggapku sebagai adikmu. mungkin selamanya kau tidak akan pernah mencintaiku. lagipula, bagaimana mungkin pria setampan dirimu, sedewasa dirimu dan semapan dirimu akan tertarik padaku."- Lili "Cinta adalah kelemahan, dan aku tidak mau larut dalam suatu kelemahan yang tak berujung"- Alan follow instagram : Saavana_wn favebook : Saavana

Saavana · Urbano
Classificações insuficientes
124 Chs

Temani Aku!

Hari ini aku tidak ada kelas. Dela baru saja mengantarku setelah aku menginap dirumahnya sepulang dari club tadi malam. Hari ini dia ada kelas untuk dihadiri. Aku menghabiskan waktuku di rumah hanya untuk sekedar memasak makanan untuk makan siang. Kak Alan jarang sekali hadir di meja makan bersamaku. Ia hanya sesekali sarapan di meja makan lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun, begitupun dengan makan siang dan makan malam. Ia lebih sering makan diluar dari pada pulang dan memakan masakanku. Padahal aku sering memasakkan makanan kesukaannya. Dulu aku sering berlatih membuat makanan itu untuk menyenangkannya. Aku ingat bagaimana ekspresinya yang dulu malu-malu namun tetap menghabiskannya di depanku yang berbinar senang.

Sebagian dari diriku masih berharap masakanku itu dapat membawa kenangan yang dulu kembali ke permukaan dan mencairkan hatinya yang beku. Namun harapan tetap menjadi harapan. faktanya tiap kali ia pulang dan mendapati masakanku tersedia di atas meja makan yang dilakukannya hanyalah menatap makanan itu datar lalu melengos pergi begitu saja. Pedih memang, tapi itulah kehidupan yang kujalani selama setengah tahun lamanya. itulah kenyataan pahit yang harus kuterjang setiap hari demi melanjutkan hidupku.

"Hai om, apa kau sedang sibuk?" Tanyaku pada seseorang di ujung telepon.

"Sudah ku katakan jangan panggil aku om! Panggil aku kak Genta!" Aku menertawainya yang marah-marah dengan suara kencang. Aku menjepit ponselku diantara bahu dan telinga karena tanganku sedang sibuk membuat makanan.

"Apa yang kau butuhkan adik kecil?" Cepat sekali dia merubah nada suaranya seceria itu. Aku terkikik geli.

"Aku sedang mencoba resep baruku. Datanglah dan bantu aku menghabiskannya"

"Resep apa? Kau bisa memasak?" Ho, dia terdengar antusias sekarang.

"Kau meremehkanku om?" Aku masih fokus dengan bumbu terakhir yang akan ku taburkan. Aku berhasil membuat sepiring besar dendeng khas sumatera barat yang beraroma lezat. Ya, Aku memang senang membuat masakan-masakan nusantara. tapi sayang aku tak terlalu bersemangat menghabiskannya sendirian. Masakan seenak apapun tak akan terasa sedap jika menyantapnya seorang diri tanpa ada yang menemani.

"Aku akan segera kesana" jawabnya. aku mematikan sambungan telepon

***

Lima belas menit setelahnya kak Genta datang dengan senyum sumringah. Ia mengenakan kaos polo hijau dan celana pendek yang membuatnya tampak segar.

"Duduklah" aku menarik kursi meja makan mempersilahkan kak Genta. Ia duduk dengan nyaman disana. Ia memandang semua masakan yang tersaji di atas meja dengan takjub dan mulut menganga lebar.

"Waah, kau hebat!" kak Genta bergumam pelan. Aku tertawa melihat tingkahnya yang konyol.

"sudah lama sekali sejak terakhir ada yang mengundangku makan masakan rumahan" takjubnya yang terlihat tidak sabar ingin mencicipi masakanku. aku menarik kursi meja makan untuknya, aku mempersilahkan kak Genta duduk di sana.

Ah, sudah lama sekali dapurku tidak terasa hidup seperti ini, biasanya hanya ada aku seorang diri dengan suara denting sendok yang terasa semakin sunyi menyesakkan dada.

aku mengambilkan piring lengkap dengan nasi untuknya sebelum akhirnya mengambil bagianku sendiri.

"Silahkan dicoba" kepulan asap dari masakanku menyebarkan aroma sedap mengundang selera.

dengan cepat kak Genta langsung menyendokkan nasi dengan sepotong daging kemulutnya. Aku mengernyit heran ketika suapan itu tiba-tiba terhenti tepat di depan mulutnya. Lambat laun pandangannya beralih ke arahku. Aku mengernyit bingung.

"kenapa?" Tanyaku heran.

"Kau tidak meracuniku kan?. Aku ingin kau mencobanya duluan" kak Genta mengarahkan sendok itu ke mulutku. Aku mendelik tak suka.

"Aku tidak melakukan sesuatu seperti itu pada makanan!" Aku kembali mengarahkan sendok itu kemulutnya.

"Tapi kenapa tiba-tiba kau baik padaku?"

"Memangnya salah?"

"Tidak sihh" ia memutuskan melanjutkan makannya.

"Ini enak sekali!" suapan pertama mampu membuatnya ketagihan. Aku tersenyum bangga memamerkan keahlianku. Aku hanya mengamatinya sambil sesekali menyendok sasuap nasi kemulutku. Ah, apa begini rasanya memiliki seorang saudara lelaki? Dulu aku memang selalu dekat dengan kak Alan, tapi ini rasanya berbeda.

"apa kau selalu memasak sebanyak ini setiap hari?" aku mengangguk menjawabnya.

"tapi kak Alan jarang sekali makan bersama denganku" aku tak bisa menyembunyikan raut sedihku darinya. Kak Genta terdiam sejenak memandangku. Ia mengela napas panjang.

"lain kali bawakan saja makanan ini ke kantornya. Mungkin dia cuma sibuk" aku tahu perkataannya hanya menghiburku saja. Aku mengangguk lemah.

"Heii.. " suaraku terdengar lembut.

"Hmm?" Responnya singkat masih dengan aktifitasnya menyendok nasi.

"Apa kau benar-benar tidak mau memberitahuku apa-apa tentang kak Alan?" Tanyaku hati-hati

"Tidak" jawabnya cepat.

"Tapi kenapa?"

"Ku bilang tidak ya tidak!" Jawabnya membuatku mendengus. Aku mengerucutkan bibirku kesal. Percuma saja berbicara padanya.

"cihh, aku tidak menyesal menaburkan racun disitu" ujarku melotot ke arahnya.

"uhuuuk uhuuk" sontak Kak Genta yang mendengar perkataanku langsung tersedak sambil memegang tenggorokannya.

"ehh, kak. Kau tidak apa-apa?" tanyaku langsung menyodorkan air putih padanya. Aku membantunya minum melalui gelas kecil yang ku sodorkan.

"uhuuk. Uhukk.." dia masih terbatuk-batuk dengan hebohnya, aku jadi panik takut dia tersedak sampai mati. astaga, apa yang kupikirkan?

"ma..maafkan aku. Aku hanya bercanda. Kak Genta tidak apa-apa kan?" aku menghampiri kak Genta yang sudah berdiri di wastafel. Aku membantu mengurut tengkuknya. Aku melihat jakunnya naik turun mengatur napas. Ia masih terdiam setelah puas terbatuk-batuk dan meredakan sesak di dadanya. Tak lama dia akhirnya mengangkat wajah dan melihat ke arahku.

"apa kau gila? kau mau membunuhku pelan-pelan?!" omelnya dengan wajah konyol.

"pffftt" aku menahan tawaku sekuat tenaga wajah marahnya sangat kontras dengan penampilannya yang malah membuat kak Genta terlihat lucu.

"kenapa? ada yang lucu?" sungutnya.

"pppfft... buahahahahaha" seketika aku tergelak. tawaku pecah menunjuk ke arah wajahnya.

"aa.. apa yang kau tertawakan?" tanyanya kikuk.

"ada cabe di gigimu!" aku tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutku. Wajah kak Genta memerah dan buru-buru menggunakan ponselnya sebagai cermin untuk memastikannya.

"sialan, kadar ketampananku berkurang!" aku terkikik geli melihatnya berusaha menyingkirkan cabe merah di giginya. Dasar narsis

"EHEEM!" aku dan kak Genta yang sedang asik dikejutkan dengan suara seseorang di belakang kami. kami menoleh ke sumber suara.

aku melihat kak Alan berdiri tegap sambil memasukkan kedua tangan ke kantong celananya. iris hitamnya memandang kami tajam. Aku yang sempat terpaku di tempa buru-buru beralih bersembunyi ke belakang tubuh kak Genta yang tinggi tegap.

"hai bos" sapa kak Genta dengan santainya. Ia benar-benar tidak peka dengan aura membunuh kak Alan yang kental. Apa dia bodoh? Lihat itu, dia malah nyengir tanpa dosa.

"Kenapa kau disini?" Tanya kak Genta heran. Akupun juga penasaran dengan kehadirannya di tengah-tengah jam kerja seperti ini. seharusnya dia sedang sibuk di kantor berkutat dengan kerjaannya yang menumpuk. yah, dia kan orang sibuk.

"Itu pertanyaanku untukmu, apa yang kau lakukam disini" balasnya sinis. Kak Genta terdiam lalu mengangguk-angguk seperti orang mabuk.

"Benar juga" gumamnya. Aku hanya memperhatikan mereka dengan seksama. Aku bingung dengan wajah kak Alan yang bertampang tidak suka melihat kami. Apa aku melakukan suatu kesalahan lagi?

"Aku akan segera menagih tawaranmu semalam. Ku harap kau tidak lupa" kak Alan mengalihkan pandangannya dari kak Genta padaku. aku tertegun dengan perkataan kak Alan barusan. Tanpa sadar aku mencengkeram baju kak Genta takut. Aku hampir lupa dengan tawaran itu. tawaran untuk meladeninya berhubungan suami istri. aku bergidik ngeri mendengarnya.

Setelah mengatakan itu kak Alan melengos ke ruang kerjanya. Kurasa ia meninggalkan dokumen pentingnya tadi pagi. Aku menghela napas berat. Belum lagi aku memikirkan cara untuk menemui Chris nanti malam. Astaga...