Aku dan Aurell pamitan, kepada pendeta. Gadis itu menatap pintu gereja yang terbuka.
"Ibu ... aku ... pulang dulu, ya ... " ucapnya dengan terisak, aku menariknya kembali dalam pelukanku.
"Ibu, mulai sekarang ... dia akan menjadi tanggung jawabku dan juga yang lainnya! izinkan aku ya bu ... " ujarku, aku merasakan angin lenbut menerpa kami berdua. Aku mengajaknya pergi.
"Ayo, Nathalie ... Tom ... kita pergi ..." ajaknya pelan. Kedua anak itu menatapku dan kemudian mengangguk.
"Maafkan, aku ..." ucapnya ketika kami berjalan keluar dari gereja.
"Simpanan uangku habis, untuk biaya perawatan dan juga hal lainnya! dan ... aku janji akan melunasinya ... !" ujarnya, aku menghentikan langkah, dan berhadapan dengannya.
"Aurell ... apa kamu, tak mendengar apa yang aku katakan kepadamu tadi ?" tanyaku lembut.
"Tentu saja, tapi ... " matanya terbelalak, ketika aku mengecup bibrnya dengan lembut, dan melepaskannya kemudian, mukanya memerah.
"Tak perlu, kamu pikirkan hal itu lagi... oke ?" ucapku, dia pun mengangguk malu.
"Kakak ... aku lapar ..." ujar si kecil tiba-tiba.
"Tom ... kamu ini ..." ucap kakaknya. Aurell pun menunduk sedih, aku tersenyum.
"Bagaimana, kalau kita ke Cafe? mudah-mudahan temanmu belum menutupnya !" ajakku, Aurell tertegun.
"Merry ?" tanyanya, aku mengangguk, dan kuceritakan kenapa bisa sampai disini. Aku menunjukan sebuah mobil yang terparkir tidakl jauh dari gereja.
"Aku, juga sempat kerumahmu, tapi ternyata ada di sini! kata pria disana .." kataku lagi.
"Mr Hennry ?' tanyanya lagi, Aku mengangguk.
"Dia ... pemilik rumah kontrakanku! dia baik, tapi ... tidak dengan istrinya ..." ucapnya sambil menunduk kembali.
"Oh, miss Aurell ?" tiba-tiba ada yang menyapa kami dan itu adalah lelaki yang tadi.
"Mr Hennry ... maafkan aku, aku ... belum membayar rumah kontrakan bulan ini ... anu ..." ucap Aurell kemudian membungkukkkan tubuhnya meminta maaf.
"Aurell ... eh, anak muda yang tadi ya ?" tanyanya sambil melirik dan menatapku, aku mengangguk.
"Jadi ... kalian pacaran ya ?"
'Mr Hennry ... " Aurell menyela dengan muka memerah.
"Ha ... ha .... miss Aurell! jangan khawatir, aku mengerti !" tiba-tiba aku menyelipkan uang ke tangannya.
"Apa ini cukup? biarkan sampai semua selesai pak !" kataku, dia terkejut.
'Oh ... tentu saja !" ujarnya, lalu dia pamitan. Aurell menghela nafas panjang.
"Ayo, Aurell naiklah ke mobil... anak-anak kalian juga !" ajakku sambil membuka pintu mobil.
"Horeee ... " seru mereka berdua dan berlari masuk ke belakang. Aku menatap Aurell sambil menutup dan membuka pintu depan, dan dia pun masuk. Kemudian aku menyusul dan sudah berada di belakang kemudi, mobil pun berjalan.
"Waw ... ini punya abang ?" tanya anak-anak dengan senang. Aku mengangguk.
"Anak-anak, bisa kah kalian tenang ?" ujar Aurell, dan keduanya terdiam dan duduk sambil menatap keluar jendela.
"Kamu kelihatan lelah ... " kataku sambil melirik ke arahnya. "Pasti, berat ..."
"Aku, tidak apa-apa Arthur !" jawabnya, aku hanya mengangguk mengerti.
-----------
Akhirnya kami tiba dan ternyata Cafe masih buka, rupanya tadi masih belum terlalu malam aku pergi. Kami pun turun, anak-anak berlari masuk.
"Astaga, aku berantakan sekali ...." ujar Aurell ketika melihat dirinya di kaca Cafe, cepat-cepat dia merapikan rambutnya dan aku mengulurkan sapu tanganku, dia tertegun dan mengambilnya kemudian mengusap wajahnya yang agak sembab karean menangis tadi.
"Terima kasih ... " ucapnya, aku mengangguk dan mengambil tangannya yang agak dingin untuk aku hangatkan. Kami berdua pun masuk.
"Aurell ... maafkan aku !" ucap perempuan itu keduanya berpelukan dan menangis.
"Tidak apa-apa Merry ... " kata Aurell dengan mata sembab.
"Aurell, aku hanya mendapat 60 pound saja hari ini... padahal uang itu untuk uang muka, biaya pemakaman ibumu ..." ujarnya menunduk sedih.
"Tidak apa-apa mam, aku sudah membayar semuanya !" selaku, wanita itu melirik Aurell dan mengangguk.
"Syukurlah ... Aurell sudah cukup berat menanggung beban hidup ..."
"Merry...sudahlah ...." Aurell menggeleng kepalanya, wanita itu mengangguk.
"Kamu pasti lapar dan adikmu juga, aku akan membuat makanan spesial untuk kalian semua !" serunya, sambil mengusap air mata dan tersenyum.
"Horreee ..." teriak anak-anak.
"Aku, akan membantu ..." ujar Aurell.
"Tidak sayang, kamu istirahat saja! atau buatkan teh hangat untuk kita semua! udara malam dingin sekali hari ini !" ucapnya, Aurell mengangguk dan dia pamitan ke dapur, sedang Aurell menuju meja lainnya untuk memanaskan air. Aku mengajak anak-anak untuk duduk. Tak lama Aurell datang dan dia bersikap seperti pelayan menuangkan teh ke dalam cangkir.
"Duduklah, Aurell ... " pintaku, ketika dia hendak pergi, dia tertegun dan kemudian duduk di sampingku.
"Minumlah, dari tadi kamu duduk di luar gereja, pasti kedinginan ..:" kataku lembut, dia pun mengangguk dan mengambil cangkir teh dan meminumnya.
"Panas ...: " katanya pelan, aku tersenyum.
"Tentu saja, kan baru kamu masak ... aku tiupkan ya ?" ujarku sambil mengambil cangkirnya dan meniup agar teh hangat, mukanya kini memerah.
"Terima kasih ..." ucapnya ketika menerima kembali minuman cangkir teh dariku dan meminumnya.
"Ayo, anak-anak di minum !" kataku, mereka mengangguk dan meniup teh dan meminumnya.
"Hangat ..." seru keduanya, Aurell pun tersenyum.
"Waduh ... lama ya, menunggu ... ayo kita makan !" tiba-tiba Merry datang membawa dua piring dan meletakan di hadapan kedua adik Aurell, bau harum daging panggang dan pure kentang menyeruak.
"Aku bantu ..." Aurell bangkit berdiri.
"Bawa saja piring bagianmu dan pacarmu, sedang aku bisa mengambilnya sendiri !" ujar wanita itu dan Aurell mengangguk malu.
Akhirnya kami pun makan bersama, saling mengobrol. Aurell pun tertawa, untuk sesaat dia melupakan kesedihannya. Merry menatapku dan dia dengan pelan mengucapkan terima kasih kepadaku, aku mengangguk. Dan setelah makan dan beberes, kami membantu menutup Cafe, aku ajak Merry ikut dengan kami pulang dengan mobil. Setelah tiba dia pamitan.
"Arthur, terima kasih atas semuanya ..." ucapnya di halaman depan rumahnya.
"Abang menginap saja di sini ...!" ajak si bungsu tiba-tiba sambil memegang tanganku.
"Tom ... " seru Aurell.
"Boleh kah ?' tanyaku kepadanya.
"Arthur ... kamu lihat rumahku ... seperti apa ?" ucapnya sambil menunjuk kondisi rumahnya, yang agak berantakan, tapi aku mengerti.
"Aku, tak keberatan Aurell !" jawabku.
"Ya, sudah terserah ..." ujarnya.
"Lagi pula, besok upacara pemakaman ibumu kan? jadi aku bisa membantu dan tak perlu jauh-jauh kesini lagi !" kataku beralasan. Aurell hanya mengangguk.
"Asyik, abang tidur denganku ya ?" tanyanya, aku mengangguk sambil tertawa.
"Awas, kalau ngompol !" seru kakaknya, dia menggeleng kepalanya. Kami pun masuk ke dalam.
"Maaf, berantakan ..." ujar Aurell malu, melihat rumahnya yang memang sederhana.
"Tidak apa-apa !" jawabku.
"Aku akan membereskan kamarmu, Nathalie mau kah mencuci piring? biar yang lainnya oleh mba ..." katanya, Nathalie mengangguk. Aurell mempersilahkan aku duduk dan dia pun pergi ke sebuah kamar, tapi aku hanya sebentar saja duduk dan kemudian membantu anak-anak.
"Arhur ... apa yang kamu lakukan ?" tanyanya terkejut ketika melihatku ikut bekerja.
"Membantumu, tentu saja! tidak apa-apa. aku sudah biasa mandiri Aurell! kamu tahu kan? aku sejak kecil di titipkan di tanteku, kemudian nenekku? sedang ayahku malah sibuk bisnis dan akhirnya menikah lagi !" kataku, Aurell tertegun mendengarnya.
"Aku dan kamu sama! walau aku anak orang kaya tapi hidupku tidak seperti dibayangkan orang, bahkan olehmu sendiri !" lanjutku.
"Ibumu ?" tanyanya.
"Pergi, karena pernikahan mereka sesuai perjanjian ..." jawabku.
Bersambung ...