"Sebaiknya kamu kembali ke kamar dan temui Tuan Alexander. Tolong bersikaplah seperti kamu tidak tahu tentang kondisi Clarissa supaya dia tidak curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya," seru Pierce kemudian beranjak berdiri.
Daisy hanya mengangguk dengan perasaan lega. Dia melirik Pierce yang berjalan kembali masuk ke ruangan, merasa kagum padanya karena memiliki keberanian untuk mengambil resiko besar demi menyelamatkan Clarissa. 'Apa mungkin Alexander juga tulus seperti Pierce?' batinnya.
"Lebih baik sekarang aku ajak Alexander untuk kembali ke rumah bordil karena aku ingin tahu bagaimana situasi di sana," ucap Daisy dengan tersenyum tipis, membayangkan Nicole yang mungkin sedang marah karena Clarissa tidak kunjung kembali. Gadis itu beranjak berdiri kemudian berjalan menuju masuk kembali ke ruangan.
___
"Aku akan kembali ke California sekitar tiga hari lagi karena di sini aku sangat sibuk," ucap Alexander yang masih berada di kamar dan sedang berbincang dengan seseorang di telepon. Pria yang masih hanya mengenakan bathrobe itu berdiri di dekat dinding kaca sambil menatap pemandangan luar.
"Tapi kenapa ponselmu sangat sulit dihubungi? Setidaknya jika kamu tidak bisa pulang, kamu harus sering menghubungi aku!" ucap seorang wanita dari telepon.
"Aku akan mengirimkan sebuah jadwal yang akan membuat kamu paham kenapa aku sering mematikan ponselku. Aku akan hubungi kamu lagi nanti," ucap Alexander kemudian memutuskan sambungan telepon itu.
Ceklek ...
Alexander menoleh ke arah pintu yang terbuka, mendapati Daisy yang berjalan ke arah ranjang dengan ekspresi wajah yang masih seperti kesal. Dia pun segera mematikan ponselnya kemudian meletakkannya ke dalam lemari yang berisi buku-buku ataupun novel koleksi dan benda-benda hias lainnya.
"Apa kamu masih marah?" tanya Alexander sambil menghampiri Daisy.
"Aku tidak tau, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima nasib atas kelancangan mu," jawab Daisy dengan ketus. Dia berbaring dengan posisi miring memunggungi Alexander, lalu menyilangkan kakinya.
Alexander menghela napas, lalu duduk di samping Daisy. Perlahan tangannya mengusap rambut gadis itu dengan lembut, berharap cara itu bisa membuatnya dulu dan tentu saja dia juga berpikir tentang bagaimana untuk membuatnya tidak marah lagi.
"Maafkan aku karena sikap lancang ku ini sungguh membuatmu kecewa. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa kamu juga ingin kebebasan untuk temanmu," ucapnya.
"Mungkin kamu pikir aku tidak punya teman karena aku pelacur," sahut Daisy.
"Tidak aku tidak berpikir seperti itu. Aku yakin kamu punya teman banyak di sana ... Tapi saat itu aku hanya berpikir ingin membebaskanmu lalu membawaku ke sini ... Aku hanya ingin kamu menjadi milikku tanpa aku berpikir kamu juga milik sahabatmu." Alexander berkata dengan sangat lembut, berlagak seperti kecewa pada dirinya sendiri. "Aku benar-benar minta maaf ... Tapi tolong jangan marah seperti ini ... itu sungguh membuat aku tersiksa. Aku tidak ingin kamu selalu bersikap dingin padaku ... Aku akan berusaha untuk merayu temanku supaya dia mau menebus temanmu karena tidak mungkin aku menebusnya karena keluargaku pasti memantau keuanganku ... Mereka akan curiga jika aku mengeluarkan banyak uang tanpa bukti Aku membeli barang mewah atau investasi."
"Dan mereka akan semakin marah jika mereka tahu bahwa kamu mengeluarkan banyak uang hanya untuk membebaskan gadis sampah sepertiku," ucap Daisy dengan tersenyum sinis.
"Tidak, mereka tidak akan marah karena ketika mereka melihatmu maka mereka akan menerima kamu meskipun sebelumnya kamu adalah pelacur," sahut Alexander, sesekali menunduk untuk mencium pundak Daisy. "Please ... jangan marah lagi."
"Jadi, kamu berencana untuk membawa aku ke rumah orang tuamu?"
"Yeah, suatu hari nanti," ucap Alexander.
Daisy mencibir, merasa sulit untuk mempercayai Alexander yang berani membawanya ke hadapan orang tuanya.
"Jangan marah lagi, aku membawamu ke sini untuk membuatmu bahagia bukan marah," seru Alexander.
Daisy merubah posisinya menjadi berbaring menatap Alexander yang menatapnya dengan sangat intens, lalu memegang lengannya yang kekar tertutup oleh bathrobe.
"Kamu sangat cantik ... Aku sungguh terobsesi pada kamu sehingga aku ingin kamu jadi milikku," ucap Alexander dengan tatapan sendu.
"Yeah, aku milikmu," sahut Daisy datar.
Alexander tersenyum. "Apa itu berarti kamu tidak marah lagi? Kamu tidak keberatan untuk meninggalkan rumah bordil lalu tinggal di sini bersamaku?"
"Yeah, mau tidak mau." Daisy mengaggukkan kepalanya dengan tatapan malas.
Alexander tersenyum merona, menggigit bibir bagian bawahnya lalu menunduk untuk mengecup bibir Daisy. Dia langsung mengungkung di atas tubuh gadis itu,manatapi wajahnya yang cantik dengan penuh rasa lega.
"Aku janji tidak akan mengecewakan kamu," ucapnya.
"Hmm ..," sahut Daisy dengan malas, menatap Alexander yang ada di atasnya. "Aku punya permintaan," lanjutnya.
"Apa itu?"
"Bawa aku ke rumah bordil untuk terakhir kalinya. Aku perlu berpamitan pada temanku supaya dia tidak menunggu aku terus-menerus. Selain itu aku juga ingin mengambil beberapa barang penting milikku," jelas Daisy, lalu mendorong Alexander supaya menyingkir dari atas tubuhnya. Gadis itu beranjak duduk sambil berkata, "sekarang aku harus bersiap."
"Okay, kita akan ke sana setelah sarapan," sahut Alexander.
Daisy hanya diam, lalu berjalan menuju sofa untuk mengambil pakaiannya, lalu membawanya ke arah kamar mandi.
Alexander beranjak berdiri, berjalan menuju lemari dan mengambil ponselnya di sana. Dia segera mengaktifkan benda canggih itu kemudian mengirimkan sebuah jadwal melalui email kepada seseorang.
'Aku harus pandai mengatur waktu sekarang. Aku tidak ingin Karina tahu tentang apa yang aku lakukan di sini dan aku juga tidak ingin Daisy tahu tentang Karina,' batin Alexander kemudian berjalan menuju ke arah pintu kamar. Hmm, lalu siapa sebenarnya Karina? Apa mungkin yang bernama Karina itu adalah istrinya, yang sempat berbincang padanya di telepon sebelum Daisy masuk kamar?
Di ruang tengah, Pierce sedang duduk santai sambil menikmati teh buatannya, lalu melirik Richard baru keluar kamar. Pria itu menyapa rekannya yang tampak tidak bersemangat meski sudah memakai seragam security.
"Kurasa kamu butuh pacar untuk menemani kamu di sini," ucap Pierce, melirik Richard yang kini duduk di sofa lain.
"Kurasa itu tidak perlu," sahut Richard datar.
"Tapi kamu tidak terlihat bersemangat, seperti tidak punya tujuan hidup," ucap Pierce dengan terkekeh.
Richard menghela nafas panjang. "Aku memang sudah kehilangan tujuan hidup. Aku tidak bisa tenang karena aku sering memikirkan bagaimana nasib adikku di rumah sakit," ucapnya.
"Kamu tidak perlu khawatir, tuan Alexander sudah menjamin biaya pengobatannya... Dia pasti selalu dijaga oleh suster," sahut Pierce, mengingat Richard memiliki adik perempuan yang mengalami kecelakaan hingga akhirnya koma.
"Yeah, tapi situasi itu membuat aku tidak bisa bebas. Aku selalu merasa berhutang pada Tuan Alexander," ucap Richard dengan cemas.
"Aku tau, tapi mau bagaimana lagi? Kamu harus bersyukur karena Tuan Alexander mau menanggung semua biaya pengobatan adikmu ... Dia sangat baik meskipun ..."
"Pierce, Richard ..."
Pierce menghentikan kalimatnya saat mendengar seseorang memanggilnya. Dia pun menoleh ke samping, melihat Alexander datang menghampirinya dengan sorot mata yang begitu serius.
"Kita perlu bicara," ucap Alexander, lalu duduk di sofa lain. Dia menatap Pierce dan Richard secara bergantian, lalu melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat.
Pierce dan Richard hanya diam, menunggu Alexander bicara. Namun mereka yakin bahwa ini semua berhubungan dengan adanya Daisy di penthouse itu.
___
Di rumah bordil, Nicole berjalan mondar-mandir di teras depan rumah bordilnya, sesekali melirik ke arah gerbang yang tertutup rapat dan dijaga oleh satu preman. Wanita paruh baya yang memakai celana pendek abu-abu dipadu dengan tanktop hitam dan membiarkan rambutnya tergerai begitu saja itu sangat gelisah karena Clarissa tak kunjung kembali sedangkan seharusnya sudah kembali sejak 1 jam yang lalu.
"Madam, Saya rasa pria yang membawanya ingin memilikinya hingga tidak ingin mengembalikannya ke sini lagi," ucap Jacob yang berdiri di dekat pintu.
"Kalau begitu dia harus membayar mahal. 5 juta dolar dia harus berikan padaku jika ingin memiliki Clarissa!" sahut Nicole dengan tegas, merasa takut jika yang dikatakan oleh Jacob itu adalah benar. Kehilangan Clarissa sama saja kehilangan tambang emasnya, mengharuskannya mencari tambang emas lain untuk membuat dirinya jadi mucikari kaya raya.
"Dan tentu saja dia tidak ingin memberikan uang sebanyak itu Karena sekarang ini dia sudah bersama Clarissa. Saya yakin dia sudah membawa Clarissa pergi jauh!" Jacob bersikeras dengan tatapan ambisius. "Tapi Anda tidak perlu khawatir. Saya akan menghubungi preman-preman lain yang berkeliaran di kota ini untuk menghubungi kita jika mereka tidak sengaja bertemu Clarissa atau pria itu," lanjutnya.
"Yeah, lakukanlah!" sahut Nicole dengan kesal, kembali menatap ke arah gerbang. "Dia adalah satu-satunya pelacur idola para customer kita Karena sekarang Daisy sudah resmi bersama Tuan Alexander. Jika dia benar-benar kabur dan kita tidak menemukannya lagi, berarti kita akan kehilangan banyak customer yang kaya raya. Sangat sulit untuk menemukan gadis seperti mereka di luar sana ... Terlalu beresiko," lanjutnya dengan tatapan kosong, membayangkan bagaimana respon Xavier dan Orlando yang sudah menjadi langganan Clarissa selama ini. Dia membayangkan dua pria itu akan marah padanya karena tidak bisa bersama Clarissa, sedangkan dua pria itu adalah customer yang paling berpengaruh dalam karirnya sebagai mucikari.
Tin ... tin ...
Terdengar suara klakson dari seberang gerbang. Dua preman yang menjaga gerbang pun segera membuka gerbang itu, lalu sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki halaman.
"Tuan Alexander?" Nicole menatap ke arah mobilnya itu, menyadari bahwa mobil itu adalah milik Alexander Maxwell. "Kenapa dia ke sini lagi? Apa mungkin Daisy berbuat kurang ajar padanya seperti saat bersama Tuan Orlando? Akan sangat fatal jika dia mengembalikan Daisy lalu meminta uangnya .... Aku Sudah memakai uang itu untuk bersenang-senang dan investasi!"
Jacob melihat Daisy yang keluar dari mobil bersama Alexander, lalu datang ke arahnya.
Nicole pun segera menyambut Alexander dan Daisy, lalu mengajaknya untuk memasuki ruang tamu.
"Aku datang ke sini hanya untuk berpamitan pada Clarissa dan mengambil pakaian ku," ucap Daisy dengan tatapan datarnya, berhadapan dengan Nicole sementara Alexander duduk di sofa bersama Pierce.
"Daisy, kamu tidak perlu berpamitan pada Clarissa karena aku sudah memberitahunya tentang kebebasanmu sekarang. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya," sahut Nicole dengan tersenyum manis, seolah bersikap begitu baik pada Daisy. "Lebih baik sekarang kamu nikmati kebebasan mu. Aku yakin Tuan Alexander bisa merubah nasibmu."
Daisy tersenyum masam. "Aku tahu kamu berkata begini karena dia sudah membayar aku terlalu mahal. Sekarang yang aku inginkan hanyalah Clarissa ... Aku perlu bicara padanya!" ucapnya dengan tegas kemudian berjalan menuju ke arah kamar Clarissa.
Nicole pun mengikuti Daisy hingga mereka tiba di depan kamar Clarissa yang berada di samping kamar Daisy. Dia meraih tangan gadis itu hingga gagal membuka pintu kamar temannya.
"Dia tidak ada di sini!" ucap Nicole dengan kesal.
Seketika Daisy terdiam, menahan senyum karena dia tau di mana Clarissa sebenarnya. Dia pun menarik tangannya dari Nicole, lalu menatapnya dengan mengerutkan keningnya.
"Ke mana dia? Apa kamu sudah mengusirnya?" tanyanya basa-basi.
"Aku tidak pernah mengusirnya tapi dia pergi begitu saja bersama Tuan Gery," jawab Nicole dengan kesal, lalu memalingkan wajahnya. "Tuan Gery membawanya dengan membayar 10 ribu dolar, lalu sampai sekarang dia tidak mengembalikannya!"
Daisy bergeser beberapa langkah hingga kembali berhadapan dengan Nicole. "Jadi, sebenarnya Clarissa diculik?" tanyanya dengan tatapan shock.
"Ya," singkat Nicole.
"Ya Tuhan ... Lalu bagaimana jika pria yang bernama Gerry itu menyiksanya? Bagaimana jika dia dijual ke mujikari yang lebih kejam atau mungkin dijual untuk diambil organ tubuhnya lalu dijual secara ilegal?" Daisy bertanya-tanya dengan sendu, seolah sedih atas hilangnya Clarissa.
"Aku juga tidak tahu. Aku merasa rugi karena dia dibawa pergi begitu saja!" jawab Nicole. "Pria sialan itu hanya membayar sepuluh ribu dollar lalu tidak mengembalikannya ke sini lagi ... Dia sudah mencuri Clarissa yang sudah menjadi primadona di sini!"
"Kalau begitu, biarkan aku tetap di sini supaya aku yang menjadi primadona di sini supaya kamu tidak kehilangan customermu," ucap Daisy berlagak sedih. "Percuma saja aku bisa hidup bebas jika ternyata Clarissa diculik. Dia adalah teman terbaikku ..."
Nicole terdiam, melirik Daisy yang ingin kembali menjadi pelacur di rumah bordil itu. Ada rasa senang karena dia tidak perlu memaksa Gadis itu lagi akan tetapi itu sangat sulit karena dia tidak bisa mengembalikan uang yang sudah diberikan oleh Alexander. Mau tidak mau dia harus membiarkan Gadis itu hidup bebas daripada dia harus bertengkar dengan Alexander yang bisa saja bertindak buruk padanya.
"Kamu tidak perlu tinggal di sini lagi. kamu harus tetap bersama Tuan Alexander!" ucapnya dengan tegas lalu memalingkan wajahnya. "Mengenai Clarissa, aku akan meminta Jacob untuk mengontak semua teman-temannya supaya membantu mencari Clarissa. Aku tidak akan biarkan dia berlama-lama meninggalkan tempat ini," lanjutnya kemudian berjalan menuju ke ruang tamu.
Daisy hanya diam dengan perasaan lega karena tidak ada yang curiga bahwa Clarissa dibawa oleh Pierce. Akan tetapi dia juga khawatir jika preman-preman itu berada di sekitar apartemen Pierce, bisa saja mereka melihat Clarissa yang mungkin sedang berkeliaran di sekitar luar ruangan.
'Aku harus memberitahu Pierce supaya mengingatkan Clarissa untuk selalu berada di dalam ruangan sampai Jacob dan madam Nicole berhenti melakukan pencarian padanya,' batinnya dengan gusar.
"Sayang, Kenapa kamu tidak segera berkemas?"
Daisy menoleh ke arah lain, mendapati Alexander yang datang menghampirinya. Dia merasa malas menghadapi pria itu namun dia harus tetap menghadapinya karena pun bagaimanapun pria itu adalah orang yang sudah membebaskannya.
"Eh, aku tidak bisa tenang karena temanku diculik oleh customer," ucapnya dengan tatapan sendu.
Alexander menghela napas, lalu menangkup kedua rahang Daisy dengan kedua tangannya yang kokoh. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku yakin temanmu akan ditemukan dalam keadaan baik-baik saja. Dia pasti juga berusaha untuk kabur dari customer itu atau mungkin customer itu adalah pria seperti aku yang mencintai kamu yang ingin membuatmu bebas. Mungkin dia menginginkan Clarissa namun dia tidak punya banyak uang untuk menebusnya."
"Bagaimana kamu bisa berkata begitu?" tanya Daisy, khawatir Alexander mengetahui tentang Clarissa.
"Aku hanya menduga saja. Sangat masuk akal jika dia begitu dicintai karena dia sangat cantik seperti kamu ... Kamu tahu cinta itu memiliki power yang bisa membuat orang rela melakukan apapun demi mendapatkan cinta itu," jelas Alexander dengan segala sikap lembutnya supaya Daisy tidak gelisah lagi. "Sekarang ayo kita ke kamarmu. Aku akan membantumu berkemas," lanjutnya.
"Okay," sahut Daisy lirih, segera berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Alexander.
Alexander mengikuti Daisy dengan tersenyum puas, karena ternyata Clarissa tidak ada di rumah bordil itu lagi. Baginya dengan hilangnya Clarissa, akan membuat Daisy pasrah dan memilih untuk tetap bersamanya.
'Mungkin aku hanya perlu berpura-pura melakukan pencarian pada Clarissa supaya dia merasa kagum padaku,' batinnya dengan tersenyum licik.
Sambil nungguin aku update, mending kalian baca novel aku yang satunya dijamin seru dan udah tamat. Judulnya the replacement bride love after marriage. Ditunggu komentarnya di sana..