Alexander berjalan memasuki sebuah cafe bernuansa hitam kekuningan dengan pencahayaan lampu berwarna kuning keputihan sambil menggandeng tangan Daisy. Dia tersenyum, melirik suasana cafe yang sangat sepi karena hanya ada para pelayan dan karyawan lain di sana. Pria itu mengajak sang gadis untuk duduk di sebuah kursi lengkap dengan meja, lalu dia duduk di seberangnya.
"Kenapa sangat sepi?" tanya Daisy, celingukan melirik sekeliling, menyadari tidak ada customer lain selain dirinya dan Alexander.
"Karena aku sudah membooking tempat ini hanya untuk kita saja," jawab Alexander dengan tersenyum kemudian melirik beberapa wanita yang memakai gaun berwarna putih datang ke arah mereka sambil membawa biola.
Daisy menatap wanita-wanita yang hendak memainkan biolanya itu, lalu ada beberapa pelayan datang membawa nampan berisi menu makanan, adapula yang membawa box berwarna hitam dengan pita merah pada bagian penutup. Wanita itu menelan salivanya, tak menyangka bahwa Alexander melakukan ini untuknya. Sebelumnya dia tidak pernah bermimpi bahwa dalam hidupnya akan diperlakukan seperti ratu diperlakukan secara istimewa oleh seorang.
"Ini adalah kencan pertama kita. Kencan umumnya dilakukan saat malam tapi aku ingin melakukannya pagi ini juga karena aku tidak sabar ingin selalu membuatmu bahagia dan tersenyum," ucap Alexander dengan tersenyum hangat.
"Ini sangat keren dan kamu gila," sahut Daisy dengan tersenyum tipis, menatap Alexander yang terlalu menunjukkan cinta padanya. "Kamu menghabiskan banyak sekali uangmu hanya untuk gadis sepertiku ... Lalu kamu lakukan hal seperti ini. Kalau ada orang yang tahu siapa aku, maka mereka akan mengatakan bahwa kamu bodoh karena kamu mengistimewakan gadis sampah sepertiku," lanjutnya.
"Itu karena cinta, dan Aku tidak pernah memandangmu sebagai gadis rendah atau gadis sampah," ucap Alexander kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Daisy. "Setiap hari kamu akan tahu betapa aku sangat mencintai kamu, dan kamu tidak akan menyesal membalas cinta itu," lanjutnya.
"Entahlah ... Kata cinta seperti hal yang asing untukku." Daisy menarik tangannya dari tangan Alexander. Entah kenapa dia masih merasa ragu dan tidak pantas mendapatkan semua itu. Mengingat kehidupannya yang penuh dengan lika-liku kesulitan, membuatnya tidak percaya bahwa dia bisa menemukan kebahagiaan semudah ini.
Alexander menghela nafas, mencoba untuk tetap sabar menghadapi Daisy yang masih belum membuka hatinya untuk jatuh cinta. Dia kembali diam membiarkan para pelayan meletakkan hidangan ke atas meja, lalu perlahan wanita-wanita itu memainkan biola mereka dengan membawakan lagu milik John legend yang berjudul all of Me.
Daisy terdiam dengan perasaan tidak nyaman, tidak tau harus mempercayai Alexander atau tidak. Perlakuannya hari ini sungguh membuatnya telah berkesan daripada hari-hari sebelumnya, namun dia juga merasa bahwa yang dilakukan oleh Alexander itu adalah hal yang mudah dilakukan oleh pria kaya. Dia jadi takut, pria kaya di hadapannya itu sengaja memberinya kemewahan supaya dia bisa luluh, jatuh cinta, lalu disakiti. Nyaris sama seperti ibu dan ayahnya.
'Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta padanya ... aku tidak boleh menaruh harapan besar padanya karena itu hanya akan membuatku sakit. Aku harus bersikap biasa saja, mungkin sedikit lebih manis untuk menghargai usahanya yang sudah memberikan aku kebebasan. Tidak boleh ada cinta, kamu harus ingat itu, Daisy!' Daisy bermonolog dengan dirinya sendiri dalam hati, mencoba untuk tetap kuat pada pendiriannya.
"Kurasa kamu akan suka ini," ucap Alexander, menyerahkan box hitam kepada Daisy.
Daisy mengambil box hitam itu, lalu menatap Alexander dengan mengerutkan keningnya. "Apa ini?" tanyanya.
"Itu yang kamu butuhkan," jawab Alexander.
Daisy semakin penasaran dan segera membuka box itu. Dia meletakkan box itu ke pangkuannya, lalu melihat isinya adalah sebuah ponsel berwarna pink keemasan, kartu identitas dan paspor dan kunci mobil. Gadis itu menggeleng, tidak mengerti apa maksud benda-benda itu. Dalam hatinya bertanya-tanya apakah mungkin benda-benda itu untuknya? Dan jika memang itu untuknya terasa sangat berlebihan karena pasti membutuhkan uang untuk mendapatkan semua itu.
"Aku tahu kamu butuh ponsel supaya kita bisa berkomunikasi dan mungkin kamu juga Bisa mendapatkan hiburan dengan ponsel itu," ucap Alexander, menatapi Daisy yang terdiam memeriksa benda-benda pemberiannya. "Aku juga memberikan kartu identitas untuk kamu karena aku yakin Madam tidak membiarkan kamu mempunyai kartu identitas selama ini," lanjutnya.
"Lalu untuk apa paspor dan kunci mobil ini?" tanya Daisy, kembali menatap Alexander.
"Itu mobil untuk kamu supaya kamu bisa pergi kemanapun kamu mau karena aku tidak selalu di kota ini," jelas Alexander dengan tenang. "Aku harus tetap mengelola perusahaanku di California, sehingga aku harus membagi waktu. Aku hanya akan ada di kota ini selama 3 hari dalam seminggu karena perusahaanku di California membutuhkan perhatian lebih dariku. Aku harap kamu tidak keberatan dengan hal ini. Aku memberikan paspor untuk kamu supaya kita bisa jalan-jalan ke luar negeri saat aku benar-benar punya waktu luang," lanjutnya.
Daisy terdiam semakin mencoba untuk percaya dengan hal gila ini. Diberi mobil, ponsel, paspor, ditebus dari rumah bordil dengan harga 5 juta dolar ... Ini semua terasa sangat gila untuknya, membuatnya berpikir apakah mungkin ini semua hanya dikarenakan cinta? Apakah mungkin Alexander bersungguh-sungguh mencintainya sehingga mau melakukan hal ini padanya? Atau mungkin ini adalah hal yang mudah bagi Alexander, mengeluarkan banyak uang untuk memikat hatinya?
"Aku ingin kamu jadi pacarku," ucap Alexander, membuyarkan lamunan Daisy. Dia merogoh saku jasnya, mengambil sebuah kotak cincin berwarna putih dengan bagian atas transparan.
"Pacar?"
"Iya, pacar ... Aku ingin kamu jadi pacarku lalu tinggal bersamaku, lalu suatu hari nanti kamu akan menjadi istriku," jelas Alexander, menunjukkan tatapan penuh permohonan lalu menunjukkan cincin dalam kotak itu. "Terima cincin ini jika kamu menerima cintaku, tapi jika tidak... Abaikan saja dan aku tidak akan pernah mengejarmu. Tapi aku akan tetap membiarkan kamu hidup dalam kebebasan karena cinta tidak pernah memaksa," lanjutnya.
Daisy menelan salivanya, merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Dia sangat heran kenapa Alexander mau memberikan banyak hal kepadanya meskipun dia tidak menerima cintanya? Tentu saja hal ini membuatnya merasa sungkan untuk menolak, tapi merasa takut untuk menerima.
"Kamu ... Kamu tidak marah jika aku menolakmu? Kamu akan tetap membiarkan aku bebas?" tanyanya spontan.
"Yeah ... Karena kebebasan yang kamu butuhkan," jawab Alexander dengan menekuk wajahnya. "Aku memang sangat ingin memilikimu, tapi jika aku tidak bisa, setidaknya aku bisa membuatmu bahagia dengan memberimu kebebasan dan semua yang kamu butuhkan," lanjutnya.
"Tapi kamu sudah mengeluarkan banyak uang untuk semua ini, Alexander! Kenapa ... Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Daisy.
"Karena aku cinta kamu," jawab Alexander. "Tapi cinta tidak bisa dipaksakan ... Mungkin kamu masih belum percaya padaku sehingga kamu tidak mau aku ... Aku memahami mu, Daisy. Mungkin trauma membuatmu sangat waspada," lanjutnya.
Daisy menghela napas, berpikir keras apakah dia harus menerima Alexander atau tidak. Dia sungguh senang dengan kebebasan ini apalagi Clarissa juga sudah bebas, namun untuk bisa mencintai itu adalah hal yang sulit.
'Tapi ... Tidak ada salahnya jika aku menerimanya Karena kami hanya bersama selama tiga hari dalam seminggu, itu berarti aku tidak perlu harus berpura-pura mencintainya setiap waktu. Setidaknya aku harus menerimanya sebagai tanda terima kasih ... Karena mungkin dia memang baik, tapi aku tidak boleh terlalu terbawa perasaan,' batin Daisy.
____
"lebih baik kita makan sekarang. Aku tidak memaksamu untuk memberikan jawaban sekarang," ucap Alexander hendak meletakkan kotak cincin itu ke atas meja namun Daisy mencegahnya.
"Aku akan terima," ucap Daisy dengan cepat.
"Maksudmu kamu mau jadi pacarku?" Alexander memastikan.
"Yeah..." Daisy menganggukkan kepalanya. "Kurasa tidak ada alasan bagiku untuk menolak kamu. Kamu terlalu baik padaku meskipun kamu tahu betapa aku sangat buruk... Jadi, aku akan menerimamu dan menjadi gadismu yang akan membuatmu selalu bahagia."
Alexander tersenyum tipis, sedikit menundukkan kepalanya dengan tatapan mengarah pada cincin dalam kotak. "Jika kamu menerima aku karena aku sudah melakukan banyak hal untukmu, itu sama saja kamu terpaksa,"ucapnya sambil menatap Daisy lagi.
"Ini sama sekali bukan karena keterpaksaan, dan aku tidak mungkin langsung mengatakan bahwa aku mencintaimu karena perlu waktu untuk menimbulkan kemistri diantara kita. Cinta tidak sederhana, dan butuh waktu untuk bisa jatuh cinta setelah setiap hari aku melihat pria-pria penikmat gadis tanpa cinta," sahut Daisy dengan tatapan meyakinkan. "Selama ini aku hanya merasa nyaman di dekatmu karena kamu selalu bersikap lembut. Kuharap itu bisa jadi cinta ... Aku yakin itu bisa terjadi," lanjutnya.
"Apa kamu serius?" tanya Alexander.
Daisy mengangguk.
"Kamu akan belajar mencintai aku meskipun ada banyak pria yang mungkin akan meggodamu?" Alexander memastikan.
"Tentu saja ... Aku hanya akan berusaha mencintaimu tanpa membuka hati atau tertarik pada pria lain ... Aku bukan gadis yang suka mengumbar pesona untuk dicintai," ucap Daisy dengan sangat serius. Entah itu sandiwara atau bukan, yang pasti dia terlihat tidak ingin membiarkan Alexander menyerah begitu saja. "Untuk apa aku tertarik pada pria lain sedangkan pria baik sudah ada di depanku? Bukankah lebih baik aku belajar mencintainya? Sepertinya sangat mudah karena pria itu sangat tampan dan penuh dengan kelembutan."
Alexander tersenyum merona karena baru kali ini Daisy memujinya.
"Sekarang aku yang harus memohon supaya kamu percaya padaku," ucap Daisy dengan tersenyum meyakinkan.
"Aku percaya kamu," sahut Alexander, lalu segera memasangkan cincin berlian itu ke jari manis Daisy. Setelah itu, dia beranjak berdiri, mencondongkan tubuhnya ke arah sang gadis dan mencium keningnya. "I love you," ucapnya.
"Thank you," sahut Daisy.
Alexander kembali duduk dengan tenang, segera mulai makan steak sambil menikmati suasana tenang dengan suara biola yang terus menggema. Sesekali dia melirik Daisy yang makan steak dengan santai, seolah tidak begitu terkesan dengan apa yang dia berikan.
'Mungkin aku harus selalu sabar karena dia masih berhati batu. Aku yakin ketika dia sudah jatuh cinta, maka dia akan selalu setia,' batinnya, mencoba untuk tetap optimis.
"Ngomong-ngomong, sebenarnya aku tidak bisa mengendarai mobil," ucap Daisy, memecahkan keheningan.
"Aku sudah menduga itu," sahut Alexander dengan tersenyum tipis.
"Lalu kenapa kamu beli mobil untukku?"
"Karena aku ingin ..."
"Tapi itu berarti mobil itu tidak akan terpakai karena aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya mengemudi ... Itu hanya seperti kamu membuang-buang uang saja," ucap Daisy kemudian kembali melahap steak itu.
Alexander memotong steak, kemudian menusuknya dengan menggunakan garpu lalu menyodorkannya pada Daisy.
Daisy pun langsung melahapnya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan meminta Richard berhenti menjadi petugas keamanan gedung karena aku akan meminta dia untuk selalu setia membantu kamu termasuk mengantar kamu kemanapun kamu ingin pergi. Anggap saja dia adalah asisten pribadimu," ucap Alexander dengan santai.
Seketika Daisy tersedak ...
Uhukkk ... Uhukkk ...
Alexander segera berdiri, menghampiri Daisy lalu memberikan minuman kepadanya.
Daisy langsung minum, sambil mengingat tentang Richard yang sudah mengungkapkan rasa cinta padanya lebih dulu daripada Alexander. Dia tidak habis pikir Alexander malah mempercayai Richard untuk jadi asisten pribadinya.
'Mungkin jika dia tahu bahwa Richard adalah pria yang pernah menjadi customer ku, Mungkin dia tidak akan melakukan ini,' batinnya.
"Are you okay, Baby?" tanya Alexander, sedikit membungkukkan tubuhnya dan menyentuh pundak Daisy.
Daisy hanya mengangguk.
Alexander kembali duduk di kursi, melanjutkan aktivitas makan sesekali diselingi dengan minum sampanye yang tersedia dalam gelas cantik.
"Kenapa kamu ingin Richard yang menjadi asisten ku? Apa kamu tidak punya kandidat lain selain dia?" tanya Daisy.
"Tidak ada ... hanya dia yang terbaik karena dia bisa menjagamu dan melakukan apapun yang kamu inginkan. Aku sudah mengetahui kualitasnya," jawab Alexander dengan tenang.
Daisy mengangguk, lalu teringat Richard pernah memiliki niat untuk mengajaknya kabur dari kota itu.
"Apa kamu tidak takut jika Richard membawa aku pergi dari kota ini? Aku khawatir dia akan tergoda karena aku cantik sehingga dia ingin membawa aku kabur," ucapnya dengan penuh percaya diri, dan tentunya merasa heran karena Alexander begitu mempercayai Richard dan dirinya.
"Itu tidak akan terjadi karena dia adalah asisten yang sangat setia," sahut Alexander.
"Bagaimana kamu bisa bergitu yakin?" tanya Daisy dengan tersenyum tipis. "Apa kamu tidak takut dia akan membawa aku kabur saat kamu sedang ke California?" tanyanya lagi.
"Jika dia melakukan itu, maka aku akan membiarkan itu terjadi," jawab Alexander dengan santai. "Jika dia membawa kamu kabur itu berarti kamu juga bersedia dan itu berarti kamu sudah tidak ingin bersamaku. Sejak awal aku mengatakan bahwa aku tidak akan memaksa orang untuk bersamaku ... Maka, aku akan biarkan itu terjadi," lanjutnya.
"Apa kamu tidak akan sedih?" tanya Daisy.
"Sangat sedih tapi akan lebih menyedihkan jika aku bersama kamu tapi kamu ingin kabur dariku," jawab Alexander.
Daisy tersenyum tipis, menatap Alexander yang selalu menunjukkan bahwa dia memberi kebebasan padanya. Dia ingin percaya itu tapi dia pikir ini semua hanya cara supaya dia merasa sungkan untuk meninggalkannya.
"Aku tidak akan melakukan itu karena aku bukan wanita yang tidak tahu caranya berterima kasih," ucapnya kemudian memotong steak, lalu menusuknya dengan menggunakan garpu. Dia menyodorkan steak itu ke arah Alexander sambil berkata, "lagi pula untuk apa aku bersusah payah melarikan diri sedangkan kamu sudah memberikan apapun yang aku butuhkan? Ini sudah paket komplit. .. tidak mungkin aku meninggalkan."
Alexander melahap steak itu, lalu memakannya hingga habis. Dia tersenyum karena merasa berhasil membuat Daisy tak bisa berpaling darinya. Pria itu pun minum
Sampanye sebentar, lalu beranjak berdiri dan menghampiri sang gadis.
"Ayo dansa bersamaku," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Daisy.
"Okay ... Mungkin akan menyenangkan," sahut Daisy, meraih tangan Alexander kemudian beranjak berdiri.
Alexander membawa Daisy ke tengah-tengah aula, lalu musik mulai menggema sementara para pemain biola meninggalkan tempat itu. Mereka berdansa dengan diiringi lagu milik Lana Del Rey yang berjudul Gun and Rose.
"Apa kamu pernah berdansa seperti ini sebelumnya?" tanya Alexander.
"Beberapa kali," jawab Daisy yang mengalungkan tangannya ke leher Alexander.
"Dengan pacar, atau customer?" tanya Alexander lagi.
"Selalu customer karena aku tidak pernah punya pacar sebelumnya," jawab Daisy, menatap Alexander yang juga menatap dengan sangat intens.
Alexander tersenyum. "Jadi, aku pacar pertama mu?"
"Ya."
"Aku sangat beruntung," ucap Alexander, lalu mencium bibir Daisy dengan lembut.
Daisy hanya pasrah membiarkan lidah Alexander menjelajahi bibirnya. Dia memejamkan matanya, mencoba untuk menikmati ciuman dan keintiman yang membuatnya nyaman itu, namun tiba-tiba dia kembali terbayangkan masa kecil saat ayahnya meninggalkan ibunya begitu saja. Bayangan itu membuatnya segera mengakhiri ciuman dan meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu hanyut dalam pesona Alexander.